"Kayanya anak kita cowok, deh." Ali mendudukkan tubuhnya di samping Nabila yang tengah merajut. Selama hamil gadis itu memang menghabiskan waktunya dengan merajut dan merawat kebun bunga yang ada di taman belakang rumah orang tuanya.
"Kalau menurut kamu, anak kita cowok atau cewek?" tanya Ali, tubuhnya menyerong menghadap Nabila yang sama sekali tak merespon kedatangannya.
Ali menghela nafasnya dalam, namun senyum hangatnya masih tersungging di bibirnya yang merah muda karena tak merokok. Bukan hal baru istri keduanya itu mendiaminya, bahkan setiap kali datang berkunjung dia tak pernah dianggap ada.
"Istri Abang enggak pengen sesuatu gitu, kan biasanya ibu hamil suka ngidam?" Ali mengelus Surai panjang istrinya. Semenjak dia mendapatkan saran dari dokter Galuh, dirinya memang membiaskan diri untuk benar-benar menganggap Nabila sebagai istrinya, melepas status adik yang bertahun-tahun melekat di diri Nabila.
Nabila membereskan alat-alat rajutnya dan beranjak berdiri. Baru saja kakinya hendak melangkah, lengannya dicekal oleh Ali. Lelaki itu ikut beranjak berdiri dan menatap sendu pada istrinya.
"Mau sampai kapan kamu diemin Abang kaya gini? Abang salah, Abang udah nyakitin kamu banget. Abang tahu itu. Tapi apa enggak bisa sedikit saja kamu berikan maaf untuk Abang? atau paling tidak, berikan Abang kesempatan untuk menjaga kamu dan anak kita," ucap Ali lirih, netra hitamnya berkaca-kaca menatap istrinya.
"Demi anak kita."
Deg
Tubuh Nabila menegang merasakan jemari Ali mengelus lembut perutnya. Matanya berkaca-kaca, ini kali pertama lelaki itu melakukannya. Ada perasaan haru yang menyeruak begitu saja di hatinya meski perasaan marah, kecewa, dan benci masih mendominasi.
"Abang mohon, Dek. Kasih Abang kesempatan untuk menjaga kamu dan anak kita," pinta Ali dengan raut wajah penuh permohonan.
Nabila mendongakkan wajahnya hingga tatapannya beradu dengan netra Ali yang juga berkaca-kaca. Gadis itu menelan ludahnya gugup, ia gelisah. Kedua tangan yang menggantung di sisi tubuh mengepal kuat menahan debaran menyesakkan dalam dada.
"Lalu setelah itu apa?" tanya Nabila dengan suara paraunya, air mata yang telah menggenang kini pecah menghadirkan hujan deras di pipinya.
Ali menatap Nabila tak mengerti, keningnya mengkerut dalam mencerna ucapan istrinya. Belum sempat dirinya memahami, jawaban Nabila membuat hatinya terhenyak sakit penuh rasa bersalah.
"Setelah itu apa, Bang? Setelah Abang jagain aku dengan anakku, Abang bakal pisahin kita? Mengambilnya dari tanganku demi untuk menyempurnakan rumah tangga kamu. Begitu, kan?"
Ali menggeleng lemah, ingin menyangkal namun lidahnya terasa kelu hanya untuk mengucap sebuah kata. Detak jantungnya bertalu cepat saat kalimat menyakitkan itu terlontar dari bibir istrinya. Sungguh, dia tak pernah berniat melakukan hal sekejam itu.
Dia mungkin mengajukan kontrak dengan akhir perceraian diantara merek, namun bukan berarti ia setega itu memisahkan seorang anak dengan ibunya. Bahkan dikontrak itu tak ia tuliskan kalau Nabila harus menyerahkan anak mereka, dia hanya meminta Nabila untuk membiarkan Nayla ikut merawat anak mereka.
"Sebaiknya Abang pulang, bukankah sekarang waktunya Mbak Nayla? Aku enggak mau nanti dia salah paham dan berujung menyalahkan aku seperti dulu," ucap Nabila sebelum berlalu meninggalkan Ali yang terpaku.
Beberapa saat kemudian lelaki itu tersadar dari kerpakuannya. Langkahnya bergerak menyusul sang istri masuk ke rumah namun tak mengikuti sampai ke kamar. Dia cukup sadar diri kalau kehadirannya tak diinginkan oleh sang istri.
Ali duduk di ruang tengah rumah orang tuanya, kepalanya menyandar dengan kedua mata terpejam. Helaan nafasnya terdengar berat dengan kening yang mengernyit. Terlalu rumit masalah yang tengah dia hadapi membuatnya merasa lelah. Lelah fisik karena terus bolak-balik antara rumahnya sendiri dengan rumah orang tuanya, lelah batin karena terus memikirkan bagaimana caranya untuk membuat Nabila merasa tenang tanpa melukai perasaan Nayla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Jadi Madu
RomanceNabila pernah patah hati saat Ali, kakak angkat sekaligus lelaki yang dicintainya menolak perjodohan dengannya dan lebih memilih menikahi wanita lain. Meski sakit, Nabila pasrah dan memilih mengikhlaskan. Namun saat hatinya mulai pulih dari luka, or...