Bab 7. Jeritan Tengah Malam

495 9 0
                                    

"JANGAAAAN..."

Ali membuka matanya terkejut mendengar teriakan Nabila yang histeris. Tubuh gadis itu terlonjak duduk dengan keringat dingin membasahi wajahnya. Dadanya naik turun dengan nafas yang memburu membuat Ali menatapnya penuh kekhawatiran.

"Dek, kamu baik-baik aja? Mimpi buruk lagi yah?" tanya Ali dengan kekhawatiran yang terlihat jelas dari raut wajahnya. Tangan lelaki itu bergerak menyentuh bahu Nabila, namun langsung ditepis kasar hingga membuatnya tersentak kaget.

Ali menelan ludahnya gugup, wajahnya pias saat Nabila menatapnya dengan tatapan yang ... membunuh. Lelaki itu bahkan sedikit memundurkan tubuhnya karena terkejut dengan reaksi istrinya yang menepis tangannya. Dia bahkan sempat terbengong karena Nabila kembali bersikap depensif terhadapnya padahal sebelumnya gadis itu sudah bisa menerima sentuhannya meski tak bereaksi apapun.

"Dek, kenapa?" tanyanya gugup, kedua telapak tangannya saling meremas dengan keringat dingin yang mulai mengucur. Melihat tatapan Nabila seolah mampu melumpuhkan syaraf-syaraf dalam tubuhnya.

Tatapan Nabila yang semula tajam berubah redup dalam sekejap. Gadis itu lalu menundukkan kepalanya dengan bahu yang bergetar hebat. Isakannya yang mengalun lirih terdengar memilukan di telinga Ali membuat lelaki itu merasa menjadi manusia paling bodoh karena tak dapat melakukan apa-apa untuk orang yang disayanginya.

"Apa salah aku?" Nabila bergumam pelan disela isakannya yang semakin pilu membuat Ali tanpa sadar meneteskan air matanya. Sungguh dia tersiksa melihat kehancuran Nabila.

"Apa salah aku?" Nabila mendongak menatap Ali dengan tatapan kosongnya. Lalu tubuhnya melemah dengan kesadaran yang hilang sepenuhnya membuat Ali berteriak panik memanggil namanya.

"Dek, hey... Buka matanya, sayang... Abang mohon, bangun Dek. Jangan kaya gini, ayok bangun!" ucap Ali dengan suara paraunya. Lelaki itu lalu membenarkan posisi Nabila agar berbaring nyaman.

Tangannya mengusap lembut pipi Nabila yang dirasanya semakin tirus. "Harus dengan cara apa agar trauma kamu sembuh, Dek. Abang benar-benar merasa menjadi manusia paling menjijikan karena sudah membuat kamu seperti ini. Tolong ampuni Abang, Dek. Ampuni kebejatan Abang yang sudah membuat kamu jatuh terperosok dalam lubang kehancuran ini..." Ali menggenggam lembut jemari Nabila dengan sebelah tangan yang masih membelai pipi gadis itu.

"Abang janji akan melakukan apapun untuk kesembuhan kamu. Abang akan dampingi kamu melewati semua ini sampai waktunya nanti kamu sembuh dan kembali seperti dulu."

Ali membenarkan selimut Nabila, lelaki itu menyandarkan kepalanya pada headbad. Sudah dapat dipastikan kalau malam ini dirinya akan kembali terjaga, seperti biasa setiap kali hal ini terjadi.

Nabila yang terbangun di tengah malam dengan jeritan histeris memang bukan pertama kalinya terjadi. Selama dua Minggu setelah kejadian mengerikan itu, terhitung sudah sembilan kali Nabila terbangun dengan menjerit histeris.

Sebagai seorang kakak dan pastinya seorang suami, Ali sudah berusaha untuk menyembuhkan trauma Nabila. Namun luka batin bukanlah luka fisik yang akan terlihat dimana letak sakitnya, luka batin tak dapat di jamah oleh siapapun bahkan oleh si pemilik luka itu sendiri hingga yang bisa Ali lakukan hanyalah mendampingi Nabila.

"Kamu harus sembuh, Dek. Setelah kamu sembuh nanti kalau kamu mau pukul Abang atau bahkan bunuh Abangpun Abang siap. Asal jangan benci Abang, Abang enggak akan sanggup menerima kebencian dari kamu."

***

"Sepertinya kamu betah tidur di kamar Nabila. Oh iya wajar sih, secara dia masih muda dan lagi ranum-ranumnya. Wajar kalau kamu betah berlama-lama di sana."

Ali yang baru saja memasuki kamarnya dengan Nayla mendelik saat istrinya itu menyambutnya dengan sindiran pedas.

"Masih terlalu pagi untuk kamu memulai pertengkaran, Nay. Lagipula aku hanya nemenin dia, Nay. Tolong mengerti, dia butuh support terutama dari aku yang membuat dia jadi seperti itu."

Nayla mendengus dan terkekeh sinis. Wanita itu beranjak menghampiri Ali dan berdiri dmtepat di hadapannya. "Sepasang manusia berbeda kelamin, terikat dalam ikatan yang halal. Tidur di kamar yang sama selama berhari-hari, apa kamu pikir aku akan percaya kalau kamu tidak melakukan apapun di sana?" tanya Nayla dengan tatapan menantang.

Ali menghela nafasnya dalam, lelaki itu meraih jemari istrinya dan mencium punggung tangannya penuh perasaan. Berharap Nayla dapat mengerti kesulitan dan perang batin yang kini dirasakannya.

"Aku hanya menemaninya tidur dan membantunya makan, tidak lebih. Tolong jangan bersikap seolah-olah aku menikmati situasi ini. Kamu enggak tau betapa tersiksanya aku dengan semua ini ditambah dengan rasa bersalah yang seakan mencekik leher ku." Ali menunduk, dirinya berusaha menyampaikan kalimat selembut mungkin agar istri pertamanya itu merasa tenang dan tak lagi cemburu.

"Tolong jangan salah paham." Ali sebisa mungkin menekan suaranya, dia tahu kalau kekeras kepalaan istrinya tak akan bisa ia kalahkan dengan kekeras kepalaan juga.

"Kamu terlalu sibuk ngurusin dia sampai kamu lupa kalau masih ada aku di rumah ini. Istri pertama kamu yang juga butuh perhatian kamu. Aku tahu dia lagi sakit, tapi bukan berarti kamu bisa mengabaikan aku seperti ini," ucap Nabila parau. Air matanya sudah mengucur deras dari balik kelopak matanya. Sorot mata penuh luka dan kecewa yang terpancar di mata Nayla membuat Ali terhenyak melihatnya.

Bodoh, entah sudah berapa ratus kali kata itu tersemat untuk dirinya. Sikapnya yang tidak peka membuatnya berakhir selalu melukai hati orang-orang yang disayanginya?

Ali menarik lembut tubuh Nayla, membawa istrinya itu dalam dekapan hangatnya. Rasa bersalah kini kembali menghinggapi dirinya, ternyata dia bukan hanya menyakiti Nabila namun juga sikapnya membuat Nayla merasa tersakiti dan tersisih dari hidupnya meski kenyataannya itu tak benar sama sekali.

"Maaf, sayang... Maaf kalau aku terkesan mengabaikan kamu, aku enggak bermaksud kaya gitu. Sumpah. Aku hanya ingin Nabila bisa secepatnya terlepas dari rasa trauma itu, aku enggak sanggup lebih lama lagi melihat kehancurannua lebih lama lagi. Aku tersiksa setiap kali melihat kerapuhannya, Nay."

"Kamu maukan maafin aku, aku janji akan berusaha menjadi pasangan yang lebih baik lagi buat kamu," bisiknya pada Nayla. Kepala wanita itu mendongak dengan bibir yang masih mengerucut membuat Ali merasa gemas dan tak tahan untuk menciumnya.

Nayla yang menyadari ke mana arah tatapan Ali, wanita itu menutup mulutnya dengan telapak tangan membuat Ali kecewa dibuatnya. "Kok di tutup sih," ucapnya seraya berusaha melepaskan tangan Nayka dari mulutnya.

"Gimana perkembangan psikis Nabila?" tanya Nayka lembut, wanita itu sudah melunak hingga bersedia duduk di pangkuan Ali.

"Masih belum ada perubahan yang siginifikan, tapi setidaknya dia tidak selalu menjerit histeri." Ali menghentikan ucapannya sejenak dan memberikan senyum lembut pada istrinya. Jemarinya mengusap pelan pipi istrinya yang terhalang rambut.

"Nabila masih sering kebangun tengah malam dengan jeritan histeris. Sekarang aku mulai bingung memikirkan cara bagaimana agar Nabila bisa sembuh dan kembali seperti dulu," gumam Ali lelah Lelaki itu menyandarkan kepalanya di bahu istrinya, pelukannya pada pinggang Nayla semakin mengerat.

Nayla menghela nafasnya dan memberikan senyum teduh pada suaminya. "Semoga Nabila bisa segera pulih," ucapnya yang mendapat senyum tulus dari suaminya.

"Oh iya..." Ali mengernyitkan dahinya,

menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan sang istri. Tangannya bergerak menyentuh dahi istrinya yang berlipat dalam.

"Apa orang tua kamu sudah tahu kondisi Nabila saat ini?"

Deg

NOTE : DI FIZZO SUDAH TAMAT. CARI DENGAN JUDUL YANG SAMA ATAU KETIK NAMA AUTHOR 'SULENI'. JANGAN LUPA MAMPIR YAH 😊

Terpaksa Jadi MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang