Bab 11. Menjalani Seorang Diri

275 9 0
                                    

Nayla membuka matanya saat matahri mulai meninggi. Senyumnya mengembang saat yang pertama kali dilihatnya adalah dada bidang sang suami yang selama ini selalu mampu menjadi sandaran ternyaman untuknya.

Nayla mengangkat tubuhnya sedikit dengan bertoapng pada sikunya, sebelah tangannya mengelus lembut rahang tegas suaminya lalu memainkan bulu mata lentik sang suami yang selalu membuatnya iri.

Kecupan-kecupan ringan Nayla berikan diseluruh wajah suaminya. Mulai dari kening, pelipis, ujung alis, hidung, pipi, rahang dan terakhir di bibir membuat lelaki yang larut dalam lelap itu terusik dan membuka matanya.

"Kamu udah bangun dari tadi?" tanya Ali dengan suara serak khas bangun tidur yang terdengar seksi di telinga Nayla. Wanita itu tersenyum dan kembali memberikan ciuman di bibir suaminya.

"Belum terlalu lama untuk merhatiin wajah kamu," ucap Nayla setelah melepaskan tautan bibirnya dengan Ali.

Ali terkekeh pelan dan membenamkan wajahnya di dada istrinya, kecupan-kecupan basah lelaki itu berikan di kedua buah kenyal yang menggantung itu membuat deshan lirih terus mengalun indah dari bibir istrinya hingga pergulatan panas penuh gairah dan cinta kembali terulang lagi dipagi hari yang cerah itu.

Aakkhh...

"Terimakasih, Sayang..." Ali merbahkan tubuhnya di samping sang istri yang masih terengah. Sebuah kecupan manis lelaki itu berikan di kening sang istri. Sungguh, demi apapun dia teramat mencintai istrinya.

"Hari ini kamu ke kantor?" tanya Nayla seraya merapatkan tubuhnya pada Ali, jemari perempuan itu bergerak abstrak di dada telanjang suaminya.

"Sayang, jangan menggodaku." Ali menahan jemari istrinya, membawa jemari lentik itu ke bibirnya dan menciuminya membuat senyum di wajah sang istri semakin mereka. Hidup bersama Ali, tak pernah membuat Nayla merasa kurang. Suaminya selalu melimpahinia dengan cinta dan kasih sayang, bahkan ... harta.

Hanya satu kesalahan Ali yang fatal dan membuatnya terluka parah yaitu mennghadirkan madu untuknya, namun itupun tak sepenuhnya salah sang suami. Dia sendiri sebagai istri memiliki andil besar damllam berlangsungnya pernikahan kedua suaminya itu.

"Yah, aku ke kantor. Tapi agak siang, mungkin jam sepuluhan karena nanti ada pertemuan dengan klien dari Jerman." Ali membelai wajah istrinya, menyingkirkan helai rambut yang menghalangi mata istrinya.

"Emmhh... Sayang, Baba..."

Ali terkekeh dan mencium gemas pipi istrinya, pelukannya di tubuh sang istri semakin mengerat. Sudah lama rasanya ia tak mendengar sang istri memanggilnya dengan panggilan kesayangan itu, dan ketika mendengarnya lagi rasanya kebahagiaannya membuncah ruah dalam dada.

"Baba juga sayang Mama..."

***

Hoek ... hoek ... hoek...

Berbeda dari Ali yang memulai paginya dengan memadu kasih penuh kenikmatan, Nabila memulainya dengan rasa mual diperutnya. Wajah gadis itu tampak pucat Dangan tubuh lemas. Sudah hampir satu jam dia berdiri di depan wastafel namun yang dimuntahkannya hanya cairan bening.

Nabila membasuh bibirnya dengan air, jemari gadis itu lalu bergerak mengusap lembut perutnya. "Jangan nakal, yah. Kamu tahu kalau keadaanku sulit, aku bukan perempuan hamil yang akan mendapatkan penjagaan ketat dari suaminya. Aku akan menjalaninya seorang diri. Papamu bukan milik kita, jadi jangan banyak tingkah, yah."

Setelah merasa perutnya sudah lebih baik, Nabila keluar dari kamar mandi dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tubuhnya terasa begitu lemas hingga untuk sekadar turun ke bawah dan membuat teh hangat saja dia tak sanggup.

Terpaksa Jadi MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang