Bab 2. Satu Atap

267 13 0
                                    

Mulai nanti malam kamu tinggal di rumah Abang sama Mbak Nayla. Bersiaplah, nanti sore Abang jemput kamu.

Nabila menatap pesan yang dikirimkan oleh suaminya dengan tatapan nanar. Dia tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi bila ia seatap dengan istri pertama suaminya.

Mungkin dia akan semakin terluka karena melihat kemesraan suaminya dengan istri pertamanya, tapi lebih dari itu rasa bersalahnya lah yang lebih mendominasi.

Selama ini Nayla bersikap baik padanya, meski wanita itu selalu mendominasi waktu Ali. Namun bukankah itu hal yang wajar mengingat Ali adalah suaminya.

Seorang istri pasti ingin selalu bersama suaminya, dia mengerti itu meskipun berarti hubungannya dengan Ali sebagai kakak dan adik semakin berjarak.

"Kenapa, Nak?"

Nabila menolehkan kepalanya pada sang ibu yang datang dengan sebuah nampan bersisi dua cangkir teh di tangannya.

"Kamu kelihatan murung, apa ada sesuatu yang membuatmu sedih?" Kamila meletakan tehnya di meja, wanita paruh baya yang masih tampak ayu diusianya yang tak lagi muda itu mendudukkan tubuhnya di kursi samping putrinya.

Nabila menggeleng pelan dengan senyum kecilnya. "Enggak kok, Ma. Cuman tadi Abang baru aja kirim pesan minta aku bersiap."

Kamila mengernyit. "Bersiap? Memangnya mau kemana?" tanyanya penasaran.

"Abang bilang mulai nanti malam aku bakal tinggal di rumahnya dan Mbak Nayla," ucap Nabila lirih.

Kamila terbelalak, "Sayang, kamu jangan khawatir yah. Nanti biar Mama yang ngomong sama Ali supaya kamu tinggal di sini saja," ucap Kamila setelah meredakan keterkejutannya.

Nabila meraih jemari ibunya dan menggenggamnya lembut. "Enggak usah, Mah. Aku enggak papa kok kalau harus tinggal seatap dengan Mbak Nayla. Lagipula aku juga bisa belajar mandiri kan? Ya walaupun aku tahu enggak akan mudah sih, tapi aku yakin kalau aku dan Mbak Nayla akan bisa bekerja sama dengan baik," ucapnya disertai senyuman lembut yang meneduhkan.

Kamila menghela nafasnya, kalau sudah begini ia tak bisa memaksa. "Baiklah kalau memang menurut kamu itu yang terbaik untuk kalian. Tapi kalau nanti kamu merasa tidak nyaman, jangan sungkan buat ngomong ke Mama atau Papa. Nanti biar Mama sama Papa yang coba ngomong ke suami kamu."

Nabila mengangguk pelan, "Iya, Mah. Doakan saja yang terbaik buat kami bertiga."

Kamila melepaskan genggaman tangan Nabila dan beralih memeluk erat putrinya. Jemarinya bergerak mengelus sayang rambut sang putri. "Maafin Mama udah buat kamu berada disituasi yang sulit. Tapi kamu harus tahu kalau tujuan Mama menikahkan kamu dengan Ali itu bukan semata karena Mama menginginkan seorang cucu."

Nabila melepaskan pelukannya, matanya menatap penasaran pada sang ibu. "Ada hal lain? Hal lain apa? Apa selama ini ada yang Mama sembunyiin dari aku, dari kami semua?" tanya Nabila dengan tatapan yang menuntut.

Kamila tersenyum, jemarinya mengelus lembut pipi tirus putrinya. "Belum saatnya untuk kamu tahu. Suatu saat nanti semua pasti akan terbuka dengan sendirinya tanpa Mama harus menjelaskan," ucap Kamila membuat Nabila terdiam dengan rasa penasarannya.

"Ayok, Mama bantu kamu berkemas."

***

Jam lima sore, Ali tiba di rumah orang tuanya. Lelaki berjambang tipis itu melangkah masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Saat langkahnya sampai di ruang keluarga, hati Ali menghangat melihat pemandangan yang tersaji di depannya.

Orang tuanya tengah asik mengobrol diselingi canda tawa bersama Nabila. Hal yang tidak pernah dia lihat ketika orang tuanya bertemu dengan Nayla, padahal itulah yang sejak dulu selalu dia impikan.

Terpaksa Jadi MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang