"Dek, tolong bicara. Jangan diam saja," ucap Ali dengan wajah memelas. Sudah dua hari setelah Nabila dinyatakan hamil, respon istrinya itu sungguh diluar dugaan.
Dia pikir Nabila akan mengamuk dan memakinya namun ternyata yang dilakukan Nabila hanya diam. Dia sama sekali tak merespon siapapun yang mengajaknya bicara, termasuk kedua orang tua mereka. Hal itu tentu saja semakin menambah kekhawatiran mereka terhadap kondisi psikis Nabila saat ini.
Ali duduk berlutut di depan Nabila, lelaki itu memeluk kaki istrinya yang duduk di kursi taman belakang rumah orang tuanya. Kepalanya tertunduk, bertumpu pada lutut Nabila. Bahu lelaki itu bergetar dengan isakan yang lirih. Seandainya bisa memilih, dia lebih baik dicaci maki dan dipukul hingga mati dari pada harus kembali menerima kebisuan Nabila.
"Apa yang kamu tangisi, Bang?" tanya Nabila dengan suara paraunya. Pandangan matanya masih menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.
Ali mendongak menatap Nabila penuh haru, akhirnya istrinya itu mau membuka suaranya lagi setelah dua hari hanya berdiam tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya yang semakin pucat dan kering.
"Akhirnya, Ya Allah...."
Nabila menunduk, kini tatapannya bertemu dengan Ali. Netra bening gadis itu berkaca-kaca menatap lelaki yang dicintai sekaligus dibenci. "Apa yang kamu tangisi? Bukankah memang ini tujuan pernikahan kita?"
Ali mengernyit, menatap Nabila bingung. "Maksud kamu apa, Dek?"
Nabila mengalihkan tatapannya, kembali menatap lurus ke depan. Bibirnya terkekeh miris dengan air mata yang mulai menetes di sudut mata bulatnya. "Yah, bukankah yang terjadi padaku saat ini adalah tujuan pernikahan kita? dinikahi, dihamili, lalu diceraikan. Seperti itukan yang tertera di surat perjanjian yang dulu kamu kasih ke aku?"
Ali terhenyak mendengar ucapan Nabila, batinnya seolah ditikam benda yang amat tajam. Sakit, sakit sekali mendengar ucapan Nabila yang sarat akan luka. Setiap kata yang meluncur dari bibir tipis istrinya itu laksana racun yang membunuhnya hingga mati dalam penyesalan dan rasa bersalah.
***
Ali duduk termenung di ruang kerjanya, tangan lelaki itu menumpu dagunya. Pandangan matanya menatap lurus pada potret pernikahannya dengan Nayla lima tahun lalu.
Difoto itu senyumnya mengembang, sama seperti Nayla yang juga tersenyum cerah. Mereka sama-sama bahagia karena akhirnya cinta mereka berkahir dipelaminan. Tapi sekarang, rumah tangga yang mereka bangun sejak lima tahun lalu, tak lagi hanya tentang dirinya dan Nayla. Ada Nabila yang juga telah ia nikahi beberapa bulan yang lalu.
Mengingat Nabila, Ali kembali teringat dengan perkataan Nabila tempo hari. Helaan nafasnya terdengar berat dengan kedua netra mulai mengembun. Rasa bersalah begitu besar dia rasakan saat menyadari kalau apa yang dikatakan Nabila itu memang benar, namun bukan dengan cara seperti ini. Ia yang mengambil paksa haknya dengan memperkosa Nabila dan juga Nabila yang hamil dalam kondisi luka batin yang dalam.
Ali tahu, diamnya Nabila bukan karena gadis itu menerima keadaannya begitu saja. Tapi diamnya Nabila karena gadis itu tak tahu harus melakukan apa, luka batin yang dialami istri keduanya itu begitu besar hingga untuk berbicara dan mengatakan sakitnya saja wanita itu tak cukup mampu.
Ceklek
Ali mengalihkan atensinya pada pintu yang terbuka. Senyum tipisnya terukir pada Nayla yang memasuki ruang kerjanya dengan secangkir teh hangat.
"Ini Mas, diminum dulu."
Ali menerima cangkir yang disodorkan Nayla dan menyesap sedikit teh hangat buatan istrinya. "Terimakasih, Sayang..." Ali meletakkan cangkir teh di atas meja. Jemarinya terulur meraih lengan Nayla dan membawa istrinya duduk di atas pangkuannya.
Wajahnya menyusup diantara ceruk leher Nayla, lengannya melingkar erat di pinggang istrinya. Ali butuh memeluk Nayla untuk menenangkan batinnya yang bergejolak penuh sesal dan rasa bersalah.
Usapan lembut dirambutnya membuat Ali terbuai dan memejamkan matanya, rasanya sudah cukup lama dia tidak bermanja pada istri tercintanya itu.
"Kamu lagi ada masalah, yah?" Setelah habis makan malam kamu ke ruang kerja kamu dan enggak keluar-keluar sampai sekarang. Padahal ini udah mau jam sebelas, loh."
Ali tak menjawab pertanyaan Nayla, hanya kepalanya saja yang mengangguk pelan dalam pelukan Nayla. Lengan lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya di pinggang sang istri.
"Kamu enggak mau cerita sama aku? emangnya kamu udah enggak percaya lagi yah sama aku?"
Ali mendongak menatap netra istrinya, kepalanya menggeleng pelan dengan jemari yang mengelus lembut pipi tembem istrinya. "Jangan mikir yang aneh-aneh," ucapnya, lelaki itu lalu kembali menenggelamkan wajahnya di dada sang istri.
"Maaf, akhir-akhir ini aku sering over thinking."
Ali mengenal nafasnya dan menjauhkan wajahnya dari tubuh Nayla. Lelaki itu mengelus lembut lengan istrinya, bibirnya mendarat halus di kening sang istri. Ali mencium dalam kening istrinya, lembut dan penuh perasaan.
"Jangan terus membebani pikiran kamu dengan hal-hal yang tidak seharusnya kamu pikirkan. Aku enggak mau kamu stress dan berujung sakit," ucap Ali lembut, senyumnya terpaut teduh di wajahnya yang sahaja.
Nayla mengambil satu lengan Ali yang melingkar di perutnya dan membawanya mendekat ke bibir. Diciumnya lembut dan penuh hormat punggung tangan suaminya. "Iya, maafin aku yah!"
Senyum di wajah Ali semakin lebar melihat sikap istrinya. Dikecupnya bibir tebal sang istri yang terpoles lipstick merah. "Live you, istriku." Ali berbisik mesra di telinga Nayla membuat istrinya itu tersenyum malu dan menundukkan kepalanya.
Ali terkekeh pelan melihat sikap malu-malu sang istri, lima tahun menikah istrinya itu masih saja merona ketika ia memuji, menggoda atau mengungkapkan rasa. Tak tahan melihat wajah menggemaskan istrinya, Ali meraup bibir sang istri dan mencumbunya mesra. Menggoda titik-titik sensitif istrinya hingga membuat Nayla melenguh nikmat dalam kungkungannya.
Ali menggendong tubuh Nayla ala bridal style dan membawanya ke kamar mereka. Mereguk kembali madu asmara dan menuntaskan gejolak nafsu yang lama terpendam.
***
"Nabila hamil," ucap Ali sesaat setelah menggulingkan tubunya di samping Nayla. Mereka baru saja menyelesaikan ibadah suami istri yang selama beberapa bulan ini sudah jarang mereka lakukan sebab banyaknya masalah yang datang.
"Hamil?" tanya Nayla dengan mata yang berbinar. Perempuan itu menatap Ali meminta kepastian.
Ali menghela nafasnya dan mengangguk pelan. "Iya," ucapnya yang membuat Nayla memekik girang dan memeluk tubuhnya erat.
"Akhirnya.... Hanya tinggal menunggu waktu sembilan bulan lagi untuk aku kembali menjadi istri kamu satu-satunya.
Deg
Ditempat yang berbeda, tepatnya di rumah kedua orang tua Ali. Nabila berbaring telentang di atas kasur kesayangannya, pandangannya menatap lekat pada atap kamar yang dihiasi lampu kecil. Jemarinya mengusap lembut beritanya yang terasa sedikit menonjol. Helaan nafasnya terdengar berat, dengan raut sendu yang begitu kentara di wajahnya yang ayu meski kesan pucat lebih dominan.
"Kenapa kamu hadir di waktu seperti ini, apa yang harus aku lakukan? Bukan aku tak ingin menerimamu, tapi rasanya terlalu menakutkan karena kehadiranmu bukan karena cinta dari kedua orang tuamu," ucapnya lirih. Netranya yang bening menampilkan kaca-kaca yang siap tumpah hanya dengan sekali kedipan aja.
"Lagipula, bagaimana nanti cara aku meninggalkan kamu sedangkan kita pasti akan dipisahkan. Apa aku nanti akan sanggup kehilangan kamu," lirihnya, matanya mengedip sayu membuat air matanya merebak membasahi pipi tirusnya.
"Ssshhh..." Nabila berdesis lirih merasakan nyeri di perutnya. Tangannya semakin intens mengusap perutnya terutama dibagian yang sakit itu.
"Maaf, kamu marah yah?" tanyanya dengan wajah menunduk melihat perutnya.
Nabila menghela nafasnya dalam, bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. "Bertahanlah, meski kamu hadir bukan diwaktu yang tepat dan tidak pernah aku inginkan, tetap saja aku menyayangimu. Bagaimanapun kamu darah dagingku, tak peduli bagaimana cara kamu hadir di perutku aku akan tetap menjaga kamu."
NOTE : DI FIZZO SUDAH TAMAT. CARI DENGAN JUDUL YANG SAMA ATAU KETIK NAMA AUTHOR 'SULENI'. JANGAN LUPA MAMPIR YAH 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Jadi Madu
RomanceNabila pernah patah hati saat Ali, kakak angkat sekaligus lelaki yang dicintainya menolak perjodohan dengannya dan lebih memilih menikahi wanita lain. Meski sakit, Nabila pasrah dan memilih mengikhlaskan. Namun saat hatinya mulai pulih dari luka, or...