Bab 9. Kabar Yang Tak Diinginkan

277 7 0
                                    

Sudah satu bulan Nabila kembali tinggal dengan orang tua angkatnya, keadaannyapun sudah mulai membaik. Nabila sudah bisa kembali berinteraksi dengan orang sekitarnya meski traumanya belum hilang sepenuhnya.

Selama Nabila tinggal bersama orang tuanya, Ali rutin mengunjunginya dua hari dalam seminggu. Sabtu minggu menjadi waktunya untuk Nabila sedangkan lima hari lainnya untuk bekerja dan juga Nayla.

Meski ketika ia datang dan bermalam di rumah orang tuanya mereka tak tidur dalam satu kamar, namun Ali tak mempermasalahkannya. Baginya asal Nabila sembuh dan kembali ceria sudah membuatnya merasa bahagia.

Seperti hari ini, Jumat sore Ali sudah berada di kediaman orang tuanya. Seperti biasanya lelaki itu membawakan sebuket bunga mawar dan juga dua kotak martabak telor kesukaan Nabila.

"Hay, Dek..." Ali mengusap puncak kepala Nabila lembut dan menciumnya dalam. Lelaki itu lalu mendudukkan tubuh di samping Nabila yang sedang merajut.

Meski Nabila selalu menanggapinya dingin tak membuat Aki tersinggung. Tak diusir saja lelaki itu sudah bersyukur, jadi bagaimanapun dinginnya sikap Nabila tak akan membuatnya menjauh.

"Abang bawain martabak telor buat kamu, cobain yah!" Ali membuka kotak martabak dan mengambilnya sepotong lalu menyuapkannya pada Nabila namun gadis itu memalingkan wajahnya enggan menerima suapan Ali.

Ali menghela nafasnya dan tersenyum. "Yah, padahal Abang kali ini belinya di tempat favorite Adek, loh. Di tempatnya Mang Jamal, yang gerobaknya mangkal di samping sekolah SD kita," ucap Ali lalu menyuapkan martabak ke mulutnya sendiri.

Jika dulu Nabila tak pernah menolak bila Ali memberikannya martabak kesukaannya dari penjual langganannya, entah untuk kali ini. Ali tak berharap banyak, dia hanya ingin berusaha untuk kembali dekat dengan adik sekaligus istrinya.

Nabila melirik Ali melalui ekor matanya, gadis itu meneguk ludahnya kasar saat Ali mengunyah martabak telornya dengan mata yang memejam.

"Rasanya enggak berubah, Dek. Masih seenak dulu, pantes aja yah kamu suka banget beli di sana," ucap Ali lagi sambil memakan martabaknya lagi.

Nabila memberenggut dan kembali melanjutkan rajutannya, namun suara kunyahan Ali yang terdengar lahap membuat gadis itu menghentikan paksa rajutannya. Nabila memiringkan tubuhnya menghadap Ali, dengan kasar gadis itu merebut dua kotak martabak yang satunya hanya tinggal setengah dan membawanya masuk ke rumah. Meninggalkan rajutannya begitu saja dan Ali yang terkekeh pelan melihat tingkahnya.

Akh, adiknya masih sama menggemaskannya seperti dulu.

Setelah tubuh Nabila menghilang dibalik pintu, Ali beranjak menyusul dengan membawa rajutan Nabila dan bunga yang dibawanya. Lelaki itu tersenyum sendiri mengingat tingkah istrinya barusan, meski masih bersikap cuek dan dingin ia tahu kalau gadis itu sudah mulai memaafkannya meski ia sendiri tahu kalau sampai kapanpun perbuatannya tak akan dilupakan.

***

Hoek Hoek Hoek...

Nabila menunduk di depan wastafel, sudah sejak lima menit yang lalu dia terus muntah namun tak ada yang keluar. Hanya air bening yang keluar dari mulutnya.

Saat baru saja bangun tidur perutnya terasa mual dan tak tahan ingin memuntahkan sesuatu. Kepalanya terasa berdenyut nyeri dengan tubuh lemah tak ada tenaga.

Nabila terduduk di atas closet, kepalanya mendongak dengan bulir-bulir keringat yang membasahi tubuhnya. "Ugh... Mual sekali," gumam Nabila seraya menutup mulutnya dengan telapak tangan. Hadis itu lalu beranjak berdiri dan kembali mendekat ke wastafel, memuntahkan cairan beningnya lagi.

Nabila terdiam, nafasnya tercekat saat ingatan pemerkosaan itu kembali melintas, ditambah dengan ia yang baru menyadari kalau bulan ini dia belum mendapatkan tamu bulanannya.

Terpaksa Jadi MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang