Part 23

157 19 1
                                    

"Jimmy lama banget." gumam Dara mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya karena kepanasan. Hari ini Dara ada janji temu dengan klien di cafe dekat taman kota, dan suaminya mengatakan akan menjemputnya setelah selesai. Karena keadaan cafe yang semakin ramai saat siang menjelang sore hari, jadilah Dara menunggu Jimmy di taman kota.

Walaupun udaranya sejuk namun tidak dipungkiri matahari masih saja terik walaupun sudah menjelang sore, dan Dara tidak suka kepanasan. Namun tidak lama kemudian pria itu datang. Masih dengan setelan kerjanya dan membawa dua gelas jus yang ia beli saat diperjalanan ke sini.

"Maaf lama, hari ini agak macet di lampu merah ujung san danaku beli ini dulu waktu lewat kedai jus karena hari ini panas. Aku gak mau kamu makin ngomelin aku," ucapnya duduk di samping Dara yang langsung mendengus.

Ia berikan satu gelas jus tersebut pada Dara dan membantu menyeka keringat di dahi istrinya.
"Kamu banjir keringat gini tapi tetap wangi gimana ceritanya sih?"

Dara menatap Jimmy mengangkat sebelah alisnya, "Ini bentuk bujukan kamu kah?"

Jimmy terkekeh dan menggeleng, "Enggak, aku serius. Kita pindah tempat duduk yang gak kena matahari deh yuk. Lagia kamu milih duduk di sini." ucapnya menarik sebelah tangan Dara untuk pindah tempat duduk yang lebih sejuk.

"Tadi tempat duduknya penuh, sisa ini aja dan aku malas kalau harus jalan jauh buat cari tempat duduk lagi." balas Dara yang membuat Jimmy tersenyum dan mengelus puncak kepalanya.

Sesaat mereka saling terdiam, keduanya hanya memandang lurus ke pemandangan tamannyang sudah tidak terlalu ramai. Bahkan ada beberapa balita yang tampak sedang bermain bersama orang tua mereka. Melihat pemandangan tersebut membuat senyum Jimmy mengembang lalu terkekeh ketika melihat salah satunya berusaha memeluk temannya yang sedang asyik bermain.

Dara yang bingung segera mengarahkan pandangannya mencari objek yang membuat pria itu terkekeh dan ikut tersenyum saat menemukannya.
"Lucunya," celetuk Dara.

"Kamu tahu enggak, dulu waktu Kavi masih balita dia hobi banget nempelin aku. Seneng banget kalau aku gandeng kemana-mana. Giliran digandeng atau digendong Mas Agam dan Mas Shaka dia kadang nangis ngerengek, maunya sama aku."

Jimmy terkekeh mendengarnya, "Oh iya?"

"Kecilnya Kavi tuh lucu banget. Pipi dia merah dan matanya besar. Eh giliran udah gede ya ampun ada aja tingkahnya." ucap Dara menggeleng heran mengingat kelakuan adik satu-satunya.

"Tapi kalau dengar cerita kamu jadi gak kaget kalau dia sampai sekarang masih sering tiba-tiba nempel ke kamu."

"Kalau dipikir iya juga ya. Soalnya dia lebih sering jadi bocah freak." ucap Dara yang membuat Jimmy terbahak.

"Aku jadi bayangin kalau anak aku kaya kamu sama Kavi." Ucap Jimmy dengan pandangan menerawang.

Dara menatap Jimmy dalam, "Aku mau nanya sesuatu boleh?"

"Go ahead."

"Gimana kalau aku gak bisa kasih kamu keturunan? Aku tahu salah satu impian kamu adaah punya keluarga, punya anak yang lucu. Tapi gimana kalau aku gak bisa kasih kamu ktu semua?"

"Kenapa kamu ngomongnya gitu?"

Dara mengidikan bahunya, "Setiap rencana pasti ada kemungkinan terburuknya dan aku pikir itu kemungkinan terburuknya."

Jimmy menghela napas, "Aku gak suka berandai-andai, tapi kalau itu yang kamu khawatirkan kita bisa cek dulu kondisi kesehatan kita berdua. Bisa aja misalnya ternyata masalahnya ada di aku,"

"Tapi kalau misalnya memang gak bisa ya gak apa-apa. Kita bisa adopsi anak kalau kamu mau, gak usah khawatirin hal itu." lanjut Jimmy menatap Dara dengan senyumnya. Tangannya terangkat mengelus rambut Dara.

Dara mengangguk pelan membalas senyumnya, "Jujur jawaban kamu bikin lega, aku pikir kamu akan marah."

Jimmy terkekeh pelan, "Enggak, kalau ada jalan keluarnya dan bisa kita diskusiin bareng, kenapa harus pake marah dulu."

"Kamu nyindir aku ya?" Ucap Dara memicing yang membuat Jimmy semakin tertawa dan menarik gadis itu dalam pelukan gemasnya.

"Gemasnya, enggak. Aku gak nyindir kamu, aku cuma ngomong gitu aja."

Dara tersenyum lalu membalas pelukannya, menghirup aroma Jimmy yang menenangkan.
"Aku mau periksa, dari pada aku kebanyakan pikiran."

Jimmy menjauhkan tubuhnya sejenaknuntum menatap Dara, "Iya boleh, lusa aku kosong. Nanti aku bantu cari tahu rumah sakit yang bagus."

Dara mengangguk dan melebarkan senyumnya. Salah satu keberuntungannya menikah dengan Jimmy adalah pria itu pandai menenangkannya dan tidak pernah menghakiminya. Dara benar-benar patut bersyukur atas hal itu.


Dara dan Jimmy benar-benar bersyukur sekaligus lega, setelah serangkaian tes kesehatan yang mereka jalani ternyata hasilnya menunjukan keduanya sama-sama sehat. Dokter meenyampaikan produksi sel telur Dara dan sperma Jimmy tidak ada masalah.

"Gimana hasil tesnya?" tanya ibu Jimmy saat mereka setelah selesai makan siang bersama.

"Kami berdua sehat, Ma."

"Alhamdulillah. Tinggal realisasinya makin kenceng dong ya kalau sama-sama sehat biar cepat gol." ucap ayah Jimmy dengan nada bercanda membuat Jimmy dan Dara ikut terkekeh namun saling menyenggol kaki di bawah meja.

Makin kencang bagaimana jika belum ada realisasi praktek lapangan sama sekali.

"Doain aja ya Pa, semoga kami lekas dikasih." ucap Dara.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Yuk jangan lupa vote biar aku makin semangat update ya 🙌🏻🙌🏻🙌🏻

Das ist LiebeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang