24. Pihak Yang Mencintai

24 15 0
                                    

°°°

°°°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

"Setidaknya, aku bisa melihatmu tertawa meskipun bukan aku yang menjadi alasannya. Perihal rasa, aku tak akan memaksa."

°°°

Ya, benar apa yang di katakan oleh sahabatnya, itu semua memang benar. Nathan tak bisa menyangkal itu. Sejak pertemuan pertama ia dan Naya, Nathan sudah jatuh cinta. Entah mengapa senyuman yang pertama kali ia lihat dari Naya membuatnya selalu berdebar. Gadis itu mampu memikat hatinya. Ia berusaha untuk mengabaikan namun tak bisa. Semakin ia tahan, semakin pula perasaan itu semakin besar. Walaupun ia baru saja mengenal Naya, ia yakin jika gadis itu orang baik dan memiliki hati lembut.

Nathan sudah terpana yang membuatnya tak bisa berfikir jernih pada saat itu. Pada saat Naya dan Sheila bertengkar, ia hanya berfikir menggunakan perasaan. Ia tak berfikir dengan logika dan akal sehat. Nathan hanya menilai dari pandangannya saja jika saat itu Naya lah yang terancam. Tanpa sadar ia langsung emosi dan malah mengeluarkan kata-kata kasarnya kepada Sheila yang membuat gadis itu sakit hati.

Dan lagi-lagi Nathan melakukan kesalahan yang membuat Sheila kecewa. Namun di sisi lain, ia tidak mau memihak siapapun dan menyalahkan siapapun. Karena ia juga belum tau kebenarannya. Dan saat ini ia akan mencari tau langsung kebenarannya dari Naya. Ia berharap jika kesalahpahaman ini bisa segera berakhir. Nathan ingin semuanya seperti dulu kala tanpa ada perdebatan dan permusuhan.

Nathan mengambil ponsel yang berada disaku lalu mulai menelfon Naya. Ia mengarahkan ponsel itu pada telinganya yang masih belum mendapat jawaban. Tak lama suara lembut gadis itu terdengar.

"Halo Nathan, ada apa ya?" Tanya Naya yang sebenarnya sudah sangat senang karena tiba-tiba Nathan menelponnya.

Nathan pun tersenyum senang mendengar suara Naya. "Lo ada waktu nggak? Gue mau ngomong," tanyanya dengan hati-hati.

"Oh bisa kok. Mau ketemu?" Jawab Naya cepat tentu tak menolak.

"Gue ada di rooftop nih,"

"Oke gue kesana sekarang ya," putus Naya. Nathan berdehem singkat lalu mematikan teleponnya.

Dan setelahnya lelaki itu memegang jantungnya yang berdegup kencang. Ia menetralkan napasnya saat suara langkah kaki mulai mendekat. Tubuhnya kaku kala gadis yang ia sukai kini sedang duduk di sebelahnya sambil tersenyum kikuk.

"Emm.. mau ngomong apa Nath?" Ucap Naya malu-malu.

Nathan berdehem pelan, "gue mau nanya soal kejadian dikantin waktu itu. Sheila marah sama gue dan gue mau tau apa yang sebenernya terjadi di sana. Gue cuma berharap kesalahpahaman ini segera berakhir." Lelaki itu menjelaskan dengan raut khawatir.

Tanpa diketahui oleh Nathan, Naya tersenyum smirik. "Gue.. gue sebenernya diancem sama Sheila." Ucap Naya dengan raut pura-pura takutnya.

Nathan tak menyangka mendengarnya. "M-maksud lo? Emang Sheila ngancem apa?"

Dengan air mata palsunya, Naya berakting menangis di depan Nathan. "S-sheila bilang kalo gue nggak jauhin lo, d-dia mau bikin hidup gue menderita. Nathan gue takut.."

Namun dengan bodohnya Nathan termakan oleh ucapan Naya dan bergerak memeluk Naya mencoba menenangkan orang yang ia cinta. "Stt jangan nangis. Nggak papa gue ada di sini, it's okay hm."

Mereka berpelukan hingga beberapa menit. Tak ada yang bersuara hingga membuat suasana hening sejenak. Dua insan itu saling meresapi momen ini. Jantung keduanya berdegup kencang. Lalu sebuah pengakuan dari Naya membuat tubuh Nathan menjadi kaku ditambah juga pelukan yang masih belum terlepas.

"Nathan, gue suka sama lo," bisik Naya di telinga Nathan.

Mulut Nathan terbuka tak menyangka. "A-apa?"

Naya melerai pelukannya. "Sebenernya gue udah suka sama lo dari awal kita ketemu. Gue kagum sama lo, gue cinta sama lo. Maaf gue udah lancang.. Setelah ini gue siap kalo lo benci gue," mendengar pengakuan itu, Nathan merasa ada kupu-kupu di perutnya.

Nathan menggeleng cepat. "Nggak! Gue nggak benci lo sama sekali. Sebenernya, gue juga suka sama lo, Nay. Tapi gue nggak berani buat ngungkapin. Gue emang cowok pengecut!" Akunya pada Naya tentang perasaannya.

Tanpa mereka ketahui ada seorang gadis yang sedang menyaksikan dengan perasaan hancur. Ia hanya melihat mereka yang saling bertukar perasaan dengan hati remuk.

Kembali kepada mereka, Naya pun sama-sama terkejut tak menyangka. Saking senangnya, ia menangkup kepala Nathan dan mencium singkat bibir lelaki itu.

Tes

Air mata meluncur dengan deras di pipi Sheila. Melihat orang yang diam-diam selama ini ia cinta mencintai orang lain. Beruntungnya sebuah tangan besar menutup matanya agar tak melihat sesuatu yang membuat hatinya semakin hancur.

"Kalo sakit, nggak usah dilihat. Jangan nyiksa diri lo sendiri." Biru menggendong Sheila dengan bridal style dan membawa gadis itu pergi dari tempat ini.

Sheila mengalungkan tangannya di leher Biru dan menenggelamkan kepalanya ke dada lelaki itu. Para murid yang melihatnya berbisik-bisik penasaran dengan siapa yang Biru gendong. Biru tak menggubris lalu berjalan cepat menuju mobilnya. Setelah sampai, ia masuk ke dalam beserta gadis itu.

Biru setia mengusap-usap Sheila yang masih larut dengan tangisannya. Ia berkali-kali mengumpati Nathan yang membuat gadis itu menangis seperti ini. Beberapa menit berlalu, tangisan Sheila sudah mulai berhenti.

Dengan suara paraunya, Sheila berkata. "Biru, bantuin gue. Bantuin gue buat ikhlasin Nathan. Please.." pintanya.

Biru tersenyum lembut lalu mengangguk. "Jadi pacar gue ya? Mungkin dengan ini sedikit demi sedikit lo bisa lupain dia. Kasih gue kesempatan buat buktiin kalo di sini ada gue yang cinta sama lo."

Sheila terlihat ragu. "Tapi gue takut kalo seandainya gue nggak bisa bales perasaan lo. Gue ngerasa jadi orang yang jahat."

Biru menggeleng merasa tak setuju. "Hei.. stop berpikiran negatif kayak gitu! It's okay gue nggak papa."

"Mainin gue sepuasnya, panggil gue jika lo butuh. Gue nggak masalah walau cuma jadi pelampiasan. Lo nggak usah mikirin perasaan gue, oke? Gue baik-baik aja asal lo bahagia." Ucap lelaki itu dengan senyum menyakitkan.

Bohong jika hatinya tak sakit. Bohong jika ia baik-baik saja. Bohong jika Ia tak hancur melihat gadis yang ia cintai mencintai temannya sendiri. Namun Biru bisa apa? Ia hanya orang baru yang kalah dengan orang lama. Persetan dengan perasaannya ia tak peduli. Yang terpenting saat ini adalah kebahagiaan orang yang ia cinta. Gadisnya, Sheilanya.

Walaupun itu harus mengorbankan perasaannya, Biru ikhlas. Ya! Ia memang harus ikhlas bukan? Karena di sini, Biru berada dipihak yang mencintai, bukan dicintai!

°°°

Gtw ah mls gw ma Naya
Cih emng cewek uler

The Story Of SheilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang