Tetap Jadi Bayi (Hari 1)

2.5K 242 57
                                    

Kaget gak?

U ´ᴥ' U

Yang paling sedih dari bagiannya menjadi seorang anak Papa Johnny adalah berpisah. Makanya Jeno tak dapat menahan wajah ingin menangisnya di depan Papa, dia menatap Papa dengan tak rela. Lagi, Jeno peluk raga Papa Johnny untuk kesepuluh kali. Perpisahannya tak jadi-jadi karena Jeno terus kembali ke Papa Johnny.

"Papa gak bisa nginep aja?"

Pertanyaan itu sudah didengar Papa Johnny puluhan kali hari ini, dia lantas memberi senyum hangat sembari menggeleng. "Ngga bisa, sayang. Kan asramanya untuk anak-anak yang mau belajar," Papa Johnny mencoba memberikan pengertian.

Tapi Jeno tak mau mengerti, dia memggeleng lagi, "Papa kan bisa beli kamarnya! Gedungnya juga! Kan Papa kaya! Ayo ikut Nono, nanti kalo Papa ngga di sini sama Nono, Nono kangen Papa.."

Melihat Jeno yang menangis lagi, Papa Johnny jadi sedih. Tapi apalah daya, neneknya Jeno sudah memerintahkannya untuk memindahkan Jeno ke pemondokan alias asrama agar Jeno dapat sedikit mandiri--ya, sedikit, karena nyatanya Jeno terlalu bergantung pada si Papa.

"Adek Nono inget janji Papa? Coba sebutin," Papa Johnny lalu memilih duduk sembari menggiring puteranya ke arah kursi di lobby itu, dia lalu memangku Jeno yang masih betah memeluknya.

"P-Papa jenguk Nono seminggu sekali.. Telpon Nono tiap hari," katanya dengan pelan.

Johnny terkekeh, "Nah itu. Nanti sebulan lagi Papa jemput untuk pulang, iya kan?"

Jeno mengangguk.

"Oma janjinya cuma sebulan, kecuali kalo Nono mau di sini terus," sambung Papa Johnny. Dia lantas mengelus pipi Jeno, "Papa anter sampai kamar deh. Nanti coba Papa ngobrol dulu sama pengurusnya, ya?"

Jeno mengangguk, tapi tetap ikut Papa Johnny untuk bicara dengan pengurus asrama. Remaja itu bahkan masih betah di gendongan Papa Johnny, memeluk erat raganya sampai akhirnya mereka berjalan ke arah lantai tujuh dengan lift. Seorang pengurus juga mengikuti sembari membantu membawakan koper berwarna biru milik Jeno. Papa Johnny sendiri juga menenteng sebuah tas besar berisi perlengkapan Jeno. Akhirnya, mereka tiba di depan pintu kamar bernomor tujuh.

"Ketuk pintunya, sayang," Kata Papa Johnny yang langsung dituruti Jeno. Jeno memeluk Papa Johnny dengan sebelah tangan sementara yang satu lagi mengetuk pintu.

"Haloooo!" katanya agak keras. Tapi tak kunjung dibukakan, Jeno jadi kesal dan mengetuk lebih keras. Papa Johnny terkekeh, dia mengecup pipi putranya.

"Sabar, adek, sabar."

"Tunggu woi! Ah elah! Ini baru mandi!" sahutan itu terdengar dari luar, lalu tampaklah seorang remaja yang hanya dibalut handuk. Dada anak remaja itu terekspos, wajahnya yang kesal langsung jadi kaget. "L-loh?! Pengurus ngapain di sini?! Sebentar, bang, saya pakai baju dulu!"

Remaja itu terdengar panik sebelum akhirnya menutup pintu dengan segera. Jeno mematung melihatnya, dia lalu menatap Papa Johnny. "Kan, adek ngga sabaran sih. Jadi temannya buru-buru buka pintu."

Bibir Jeno mengerucut, "Kan bisa dibiarin aja," katanya membela diri.

"Maaf ya, Pak Johnny," sahut pengurus asrama yang membantunya. Papa Johnny hanya mengangguk dan tersenyum, dapat memaklumi. Dia menurunkan Jeno dari gendonannya, namun tangannya tetap memeluk raga Jeno.

Akhirnya, setelah menunggu beberapa saat, pintu dibuka lagi. Sosok remaja tadi tampak membungkuk sopan dan menyambut ketiganya.

"Chenle, saya antarkan teman kamar kamu. Namanya Jeno, nantinya teman sekelas kamu juga. Tolong bantu Jeno dan jaga dengan baik ya," kata pengurus asrama itu. Dia lalu bicara pada Johnny dan akhirnya pamit undur diri karena masih ada pekerjaan lain.

Shorts: Lee Cute Jeno [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang