"Aku yang membuatmu lelah. Yang membuatmu harus difoto di hari yang panas seperti ini. Tadi aku tanya karena ingin memastikan tidak ada masalah di antara kita. Apalagi masalah yang tidak kuketahui." Haagen tersenyum menenangkan.
"Aku senang ambil bagian dalam proyek buku. Untuk pertanyaanmu tadi, mereka menganggapku sebagai adik perempuan. Aku juga menganggap mereka kakak." Anania mengatur nada suaranya agar terdengar lebih ramah.
Baru kali ini Anania menyadari ternyata begitu cara hatinya membangun pertahanan di hadapan laki-laki yang dia sukai tapi tak bisa dimiliki. Menyuruh bibir bicara ketus dan dirinya bersikap tidak ramah. Mungkin tujuannya supaya Haagen tidak betah, meninggalkan Anania dan menyelamatkan Anania dari kekecewaan? Sebab menghabiskan waktu dengan Haagen berpeluang membuat perasaan Anania—yang selama ini mati-matian dibunuh—berkembang tak terkendali.
"Mereka adalah keluargaku di sini. Aku tidak ingin mengacaukan hubungan baik kami. Terlalu berisiko kalau aku ... punya hubungan khusus dengan Asger atau Jesper. Aku bisa kehilangan Liisa dan Rasmus, yang sudah kuanggap seperti orangtuaku sendiri, kalau tanpa sengaja aku menyakiti hati anak mereka." Anania melanjutkan.
Haagen mengangguk mengerti. "Sejak kapan kamu tinggal bersama mereka?"
"Sejak umurku sepuluh tahun." Banyak anak-anak yang bercita-cita menjadi atlet, dan balerina, pergi ke kota atau negara lain untuk tinggal di asrama atau bersama orangtua angkat yang dekat dengan fasilitas berlatih sejak usia kanak-kanak. Pengorbanan besar yang harus dilakukan demi mewujudkan impian mereka. Begitu juga dengan Anania. Walaupun, ketika pindah ke Denmark, Anania beruntung orangtuanya bisa mendampingi selama empat tahun.
"Ayahku berteman dengan Rasmus, lalu Rasmus mengenalkan orangtuaku kepada istrinya. Liisa membantu orangtuaku mengarahkan minatku dalam balet," jelas Anania lagi.
Dulu semasa muda, Liisa adalah principal dancer di dance company yang sama dengan Anania, tapi Liisa harus berhenti menari pada usia dua puluh tujuh tahun karena cedera. Setelah pensiun, Liisa membuka sekolah balet dan mengajar hingga sekarang.
"There you are." Sebuah suara menginterupsi percakapan mereka. Seorang wanita cantik berambut pirang—seperti kebanyakan orang sini—menghampiri mereka.
"Mummy!" teriak Vera-Louise dengan semangat. "I am visiting with a real ballerina."
"I know." Wanita tersebut memeluk dan mencium Vera-Louise. "Terima kasih sudah menjemput Vera hari ini, Haagen. Aku tidak menyangka urusanku akan berjalan lebih lama."
"Tidak masalah. Alena, kenalkan ini Anania. Principal dancer di The Royal Ballet of Denmark. Anania, kenalkan ini sepupuku dan ibu dari balerina kecil ini. Alena."
"Aku tahu siapa dia, Haagen." Alena tertawa dan duduk di samping Haagen. "Senang bertemu denganmu, Anania. Kalau kamu tidak keberatan, apa kamu mau menandatangani pointe* Vera? Untuk penyemangat supaya dia rajin berlatih."
"Tentu saja." Anania menerima sepatu berwarna merah muda beserta spidol dari Alena. Di bagian dalam sepatu tersebut Anania menggoreskan tanda tangan dan namanya.
"Terima kasih banyak. Vera, bilang apa sama Anania?" Alena menyimpan kembali pointe tersebut di dalam tas punggung Vera lalu menurunkan anaknya dari kursi, bersiap untuk pergi. "Terima kasih sekali lagi, Haagen."
"Thank you, Miss Ann. And Uncle." Vera memeluk Haagen dan Anania bergantian, lalu menggandeng tangan ibunya.
"Kamu sering babysit?" tanya Anania saat Vera dan ibunya sudah meninggalkan gerai es krim di dekat stasiun kereta Nordhavn ini.
"Aku membantu Alena sebisaku. Dia orangtua tunggal." Sebetulnya posisi Haagen dalam hidup Vera-Louise bukan paman. Disebut sepupu kedua mungkin lebih tepat. Tetapi untuk memudahkan Vera-Louise dalam memanggilnya, Haagen setuju mengisi jabatan paman, yang tidak dimiliki Vera-Louise dari pihak ibu maupun ayah.
"Terima kasih sudah mengenalkanku kepada Vera-Louise, Haagen. Dia manis sekali." Anania memeriksa jam di pergelangan tangannya. "Aku harus pergi sekarang."
"Ah, itu, bagaimana kalau kita berangkat bersama?" tawar Haagen. "Aku juga harus menghadirinya."
Tadi Anania sempat menjelaskan dia akan menghadiri acara amal yang disponsori oleh salah satu atlet tenis perempuan kelahiran Copenhagen. Jadi wajah Anania sudah sekalian dirias serta Anania sudah mengenakan gaun yang indah dan sepatu yang sesuai, saat pemotretan. Benar-benar baik sekali Anania. Sudah siap pergi ke pesta, masih juga mau melayani anak-anak yang mengidolakannya.
"Oh?" Bibir penuh Anania membulat. "Kamu tidak datang bersama ... tunanganmu?"
Beberapa kali Anania bertemu Haagen dalam acara-acara sosial di Copenhagen. Seingat Anania, Haagen selalu datang bersama wanita yang sama. Wanita yang sangat cantik, berambut pirang, dan bermata biru. Tubuhnya tinggi dengan lekuk sempurna di setiap tempat yang tepat. Sangat jauh berbeda dengan Anania, yang pendek dan setiap kali membeli gaun harus disesuaikan dulu sebelum dipakai.
"Kami sudah tidak bersama lagi." Haagen menanggapi dengan datar dan cepat, tidak ingin Anania bertanya lebih jauh. "So, shall we?"
###
*Pointe shoes adalah alas kaki khusus yang dikenakan balerina, yang memungkinkan balerina untuk berdiri menggunakan ujung jari.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DANCE OF LOVE
RomanceAnania Ingelisa Tjandrasukmana, principal dancer di The Royal Ballet of Denmark, tidak menyangka bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk cinta pertamanya. Sebuah proyek buku mempertemukan kembali Anania dengan Haagen Verstergaard, urbanist dan CEO P...