Haagen mengangguk. "That's fair. Besar kemungkinan kamu menemukan laki-laki yang lebih baik dariku di luar sana. Seseorang yang sudah bertuangan saja bisa tertarik pada orang lain, apalagi yang tidak memiliki hubungan apa-apa."
"Jangan menyamakan aku dengan mantanmu," desis Anania tidak suka. "Kalau aku sudah bersama laki-laki yang kucintai dan menyatakan setia bersamanya, aku nggak akan mencari pilihan lain. Bahkan jika ada pilihan yang lebih baik, disajikan di atas nampan emas di depanku, aku akan mengabaikannya. Seperti yang kamu bilang, karena kita nggak memiliki hubungan apa-apa, maka aku nggak akan menutup kesempatan bagi diriku sendiri untuk mengenal laki-laki baik di luar sana.
"Kamu tidak boleh menyimpulkan semua orang di dunia ini berkelakuan jahat, hanya karena kamu pernah disakiti dan dikhianati. Berpikir semua orang akan menyakitimu. Kalau kamu berpikiran seperti itu, selamanya kamu nggak akan bisa menerima cinta dari siapa pun. Sekarang, kalau kamu sudah selesai bicara, aku mau istirahat. Hari pementasanku sudah semakin dekat." Anania berjalan menuju pintu dan membukanya lebar-lebar. Memberi kode pada Haagen agar segera pulang.
"Apa kita masih bisa berteman?" tanya Haagen saat bangkit dari duduknya.
"Untuk apa kita berteman? Kamu sudah tahu ... pertemanan nggak akan cukup untukku. Menempatkan diriku sebagai temanmu sama dengan menyiksa diriku sendiri."
Haagen menghela napas panjang saat melihat sorot terluka di mata Anania. "Aku tidak ingin menyakitimu, Anania. Tidak pernah ingin."
"Sayangnya, kamu sudah melakukannya," tukas Anania. "Kalau memang kamu nggak ingin menyakitiku, kamu nggak akan menawariku untuk menghadiri jamuan makan bersama, kamu nggak akan mengirimiku bunga, nggak mengajakku menonton balet dan duduk berdua di Geranium seperti pasangan yang sedang merayakan ulang tahun pernikahan kelima."
"Maafkan aku, Anania. Aku memang egois sudah melakukan semua itu padamu. Kalau kamu pernah patah hati ... kamu tentu paham apa yang sedang kuhadapi."
Baru saja aku patah hati, Anania menggerutu dalam hati. Patah hati saat tahu Haagen masih sangat mencintai mantan kekasihnya.
"You know what, Haagen?" Anania menarik napas dalam. "Kita jalani hidup kita seperti biasanya. Nggak perlu memikirkan kencan yang telah lalu. Masalah nanti kamu berhasil menyelesaikan masalahmu atau nggak, urusan belakangan. Kalau kita bertemu lagi dan kita masih sama-sama sendiri, saat itu mungkin kita bisa memberi kesempatan pada kita berdua. Untuk bersama. Untuk mencoba mencintai. Tapi sekarang, aku nggak bisa berteman denganmu dan aku nggak akan berjanji aku akan menunggumu."
***
Heart always wants what it wants. Tidak bisa diatur-atur. Susah sekali membujuk hatinya untuk tidak menginginkan Haagen. Anania memejamkan mata. Sama sekali dia tidak menyangka dia akan menyukai Haagen sampai sedalam ini. Hanya karena dua malam saja dia menghabiskan waktu beberapa jam bersama Haagen. Sekarang, setelah Anania telanjur menyukai Haagen dan Haagen tidak memiliki perasaan yang sama, apa yang harus dia lakukan? Berhenti memikirkan Haagen kan, semestinya? Tetapi kenapa Anania tidak bisa?
Accept an unrequited love is really painful.
"Kesempatanmu belum habis, Ann." Yunnie menyelonjorkan kakinya di atas meja rendah berwarna putih di depannya.
Malam ini mereka melepas lelah di rumah. Duduk bersama sambil menonton drama Korea yang sedang ramai dibicarakan banyak orang di dunia. Semakin hari Anania semakin nyaman berbagi apa saja dengan Yunnie. Termasuk tentang sengkarut asmara dengan Haagen.
"Si Viking bilang dia tertarik padamu, kan? Dia cuma ingin menjernihkan hatinya dulu sebelum dia memberikan tempat terbaik untukmu di sana. Kupikir itu masuk akal," lanjut Yunnie. "Dengan begitu kamu akan memiliki dia seutuhnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DANCE OF LOVE
RomanceAnania Ingelisa Tjandrasukmana, principal dancer di The Royal Ballet of Denmark, tidak menyangka bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk cinta pertamanya. Sebuah proyek buku mempertemukan kembali Anania dengan Haagen Verstergaard, urbanist dan CEO P...