The capital city of Happiness. Begitu sebuah lembaga peneliti kebahagiaan menggelari kota Copenhagen. Setiap tahun, Denmark tidak pernah keluar dari ranking lima besar negara dengan penduduk paling bahagia di dunia. Bisa jadi kebahagiaan yang dirasakan orang Denmark berawal dari rasa aman. Dalam segala aspek. Dari yang sederhana dan tampak di depan mata Anania sekarang; transportasi. Anak-anak merasa aman bersepeda sendiri pergi dan pulang sekolah. Tidak takut terserempet kendaraan bermotor, sebab pesepeda adalah pengguna jalan yang dihormati.
Anania berdiri menatap jalanan di depan apartemennya dari jendela kamar. Seorang anak perempuan mengenakan topi merah menggendong tas punggung berwarna merah muda melintas di atas sepeda ungunya. Rangkaian bunga mengelilingi keranjang sepedanya. Sebuah boneka beruang duduk di dalamnya. Di belakangnya, seorang laki-laki—mengenakan setelan jas dan celana hitam—tengah mengendarai cargo bike dengan kecepatan rendah. Dua anak balita duduk di dalam cargo.
Wanita berbaju merah berjalan sambil mendorong kereta bayi dengan tangan kiri. Tangan kanannya memegang gelas kertas yang mengepul. Kopi panas, Anania bisa menebak isinya. Setelah melahirkan, orangtua baru tidak perlu khawatir memikirkan siapa yang akan mengasuh bayinya, karena mereka bisa mengambil cuti melahirkan hingga lima puluh dua minggu, tetap digaji dan tidak akan kehilangan pekerjaan ketika sudah waktunya untuk kembali. Setelahnya tersedia daycare yang menerima bayi mulai dari usia enam bulan.
Kalau mendengar cerita semacam ini dan membayangkan betapa enaknya, semua orang pasti ingin pindah ke Denmark secepatnya. Padahal sebetulnya, semua tidak sesempurna itu. Setelah tinggal di sini selama hampir dua puluh tahun, Anania tahu negara ini juga menghadapi berbagai masalah sosial. Yang paling mengganggu dan berdampak langsung kepada Anania adalah rasisme. Sudah begitu masih ditambah cuaca yang sangat menantang. Seandainya memungkinkan, Anania ingin tinggal di Indonesia. Dengan masalah yang sama banyaknya, paling tidak Anania bisa bertemu sinar matahari setiap hari. Tidak perlu mengonsumsi pil vitamin D.
Anania meninggalkan kamar setelah puas mengamati kegiatan penduduk Copenhagen di awal hari. Sebentar lagi Anania juga harus melakukan aktivitas pagi yang sangat penting untuk seorang balerina; barre warm-up.
"Pagi." Anania menyapa Kim Yun Jeong, salah satu corps de ballet* di The Royal Ballet of Denmark. Tiga bulan yang lalu, Yunnie—panggilan akrabnya—datang dari Kanada dan bergabung dengan The Royal Ballet of Denmark dan Anania menawarkan satu kamar di apartemennya, yang selama ini tidak terpakai.
"Pagi, Ann. Aku memanaskan Snegel buatanmu kemarin dan membuat kopi." Karena bahasa Denmark Yunnie belum begitu baik, Yunnie berbicara bahasa Inggris.
"Terima kasih." Setelah mengisi mug kesayangannya—mug putih dengan tulisan BALLET IS LIKE A SPORT, ONLY HARDER—Anania mengambil satu cinnamon bun.
"Snegl. Kanel Snegl**." Anania mengoreksi Bahasa Denmark Yunnie. "Kalau kamu suka, aku akan bikin lagi besok. Dengan rasa lain, raspberry atau blueberry mungkin."
Tantangan terbesar bagi siapa pun yang memutuskan tinggal di negara ini adalah menguasai bahasa Denmark. Pernah Anania menyarankan Yunnie untuk berlatih bicara dengan mengulum kentang. Karena seperti itu cara orang Denmark berbicara, seperti ada benda padat besar di rongga mulut mereka.
"Kamu tidak bisa memberiku makan setiap hari seperti ini, Ann. Nanti kamu bangkrut. Aku tahu gajiku belum seberapa, tapi aku masih bisa menyediakan makanan sendiri." Yunnie meletakkan mug kopinya di meja.
Anania pernah berada di posisi Yunnie, menjadi bagian corps de ballet. Dari usia tujuh belas hingga sembilan belas tahun, sebelum naik kasta menjadi soloist* hingga usia dua puluh satu tahun. Sehingga Anania tahu berapa banyak gaji yang diterima Yunnie. Tidak sebesar Anania, yang selama empat tahun ini, duduk di kasta tertinggi dalam hierarki balet. Menjadi salah satu dari dari sepuluh principal dancer di The Royal Ballet of Denmark. Tidak banyak orang yang bisa sampai pada posisi Anania. Sebagian besar balerina menghabiskan seluruh masa kariernya sebagai corps de ballet.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DANCE OF LOVE
RomanceAnania Ingelisa Tjandrasukmana, principal dancer di The Royal Ballet of Denmark, tidak menyangka bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk cinta pertamanya. Sebuah proyek buku mempertemukan kembali Anania dengan Haagen Verstergaard, urbanist dan CEO P...