Anania bertepuk tangan sambil berdiri bersama Haagen dan seisi ruangan. Sore ini Vera-Louise dan teman-temannya mementaskan The Ugly Duckling dengan sangat baik. Di samping kanan Anania, Alena mengusap air mata. Pantas sekali jika para orangtua yang hadir merasa bangga atas penampilan anak mereka sore ini. Anak-anak itu hebat. Menari tanpa beban, menikmati penampilan dan bersenang-senang di atas panggung. Yang paling penting, mereka tidak peduli mereka sedang membuat kesalahan. Itu bukan akhir dari segalanya dan selalu bisa diperbaiki nanti. Kelak, jika ingin, anak-anak tersebut akan menjadi balerina kelas dunia. Seorang principal dancer di sebuah ballet company terkemuka seperti Anania dulu juga bermula dari panggung kecil seperti ini.
Studio balet tempat Vera-Louise belajar menyewa auditorium untuk mengadakan pementasan ini. Para balerina dari berbagai tingkat belajar mementaskan cerita demi cerita. Semua tampil dengan sangat mengagumkan, untuk ukuran anak-anak. Setelah tirai ditutup, Anania, Haagen, dan Alena berjalan bersama menuju belakang panggung untuk menemui Vera-Louise. Sengaja Anania membawa buket bunga mini untuk Vera-Louise. Sebagai penghargaan untuk kerja kerasnya dan kecintaannya pada menari.
"Miss Ann!" Begitu melihat Anania, Vera-Louise langsung menarik tangan Anania dengan penuh semangat. "Come and meet my teachers and friends."
Berbeda dengan backstage The Royal Danish Theatre, di sini dipenuhi oleh pekikan ceria anak-anak dan percakapan para orangtua.
"Astaga, Vera-Louise! Kamu anggap aku ini apa?" Haagen memegangi dadanya dengan dramatis. "Aku tidak dapat ciuman dan pelukan sedikit saja?"
Keluhan Haagen tidak didengar Vera-Louise, yang sedang memperkenalkan—atau memamerkan—Anania kepada siapa saja yang berada di ruang ganti.
"Aku yang ibunya saja tidak dilirik." Alena menepuk lengan Haagen. "Tidak setiap hari anak-anak bisa bertemu principal dancer terkenal. Idola mereka. Terima kasih sudah mengajak Anania ke sini, Haagen. Ini ... sangat berarti untuk Vera dan teman-temannya."
Semua balerina cilik berfoto bersama Anania, lalu meminta Anania untuk menari balet. Untungnya Anania bijak memilih gaun. Sehingga, meski terbatas, Anania masih nyaman bergerak. Setelah melepas sepatunya, Anania memeragakan beberapa gerakan dari The Ugly Duckling di depan anak-anak. Anak-anak yang memandang Anania dengan takjub, seolah Anania sedang melukis pelangi di langit khusus untuk mereka.
Pelatih Vera-Louise sudah menyediakan foto Anania yang sangat besar dan meminta Anania untuk membubuhkan tanda-tangan. Nantinya foto tersebut akan dipasang di studio. Bersama foto-foto Anania dengan para siswa. Setelah Haagen memberi tahu Vera-Louise bahwa Anania akan menonton pertunjukannya, Vera-Louise dengan semangat menyebarkan berita itu kepada para pelatih dan teman-temannya. Anania tidak keberatan dan ikut bergembira bersama mereka.
Tiga puluh menit kemudian baru Anania bisa meninggalkan lokasi pementasan. Dalam hati Anania bersyukur mengiyakan undangan Haagen. Walaupun Anania kerepotan mengatur ulang semua jadwalnya. Untuk hal-hal di luar balet, manajemen waktu Anania benar-benar kacau belakangan ini. Sampai dia tidak sempat hadir dalam makan malam rutin seminggu sekali di rumah Liisa.
"Terima kasih kamu sudah mengajakku ke sini, Haagen," kata Anania saat mereka mengendarai sepeda masing-masing menuju lokasi makan malam. Karena mereka sedang mengenakan baju rapi dan bagus, Haagen mengusulkan mereka pergi ke Geranium.
"Terima kasih sudah membuat Vera-Lousie dan semua temannya bahagia, Anania."
"Kamu tidak bahagia?" tanya Anania dengan nada menggoda.
"Aku lebih bahagia daripada mereka semua." Karena bisa berkencan denganmu, Haagen menambahkan dalam hati.
"Aku yang seharusnya berterima kasih kepada Vera-Louise dan teman-temannya. Sudah lama aku tidak menyaksikan langsung anak-anak menari dengan tulus seperti itu. Mereka sangat menikmati setiap detik di atas panggung. Mereka bergembira, bersenang-senang. Mereka menari karena mereka suka. Mereka menari tanpa ... dibebani ekspektasi. Tidak pusing memikirkan apakah nanti orang akan memberikan bintang sepuluh atau tiga.
"Semakin dewasa, kurasa seseorang semakin lupa untuk membahagiakan diri sendiri lebih dulu sebelum menghibur orang lain. Kita lupa bahwa kita memilih suatu pekerjaan karena kita menyukainya. Karena kita suka, maka kita senang menjalaninya meski tidak mendapatkan pengakuan atau penghargaan.
"Sering kali uang, status dan rating yang kini menjadi tujuan kita. Kita selalu menghitung untung-rugi, akibatnya kita tidak bisa menikmati apa yang kita kerjakan. Lalu stress, burn out, depresi bahkan. Anak-anak itu ... dengan kegembiraannya ... benar-benar menginspirasi."
Anania mengikuti Haagen, berbelok ke kanan. "Aduh, aku malah mencurahkan isi hati begini. Sorry."
"Aku senang mendengar ceritamu. Aku belum pernah punya teman balerina. Apalagi principal dancer, jadi ... mendengar ceritamu itu ... pengalaman baru untukku."
Anania tertawa pelan. "Melihat Vera dan teman-temannya tadi ... mulai besok saat menari, aku akan berusaha menghidupkan kembali ketulusan tersebut. Kadang-kadang aku merasa ... aku harus menari sebaik-baiknya hanya karena ingin dapat bintang sepuluh dan mengamankan posisiku di barisan principal dancers. Bukan untuk membahagiakan diriku."
"Memangnya ada yang pernah memberimu bintang tiga?" Haagen menatap Anania herat. "Aku menonton beberapa penampilanmu di video. Di mataku semua sempurna."
Anania terbahak. "Oh, Haagen. I need you in my life. You are good for my ego. Percayalah, akan selalu ada pengamat dan kritikus yang tidak pernah mau memberi penilaian di atas bintang lima. Aku tahu aku tidak akan pernah bisa mencapai kesempurnaan, mendapat bintang sepuluh atau apa. Tapi kadang-kadang aku ingin mereka melihat ... penampilanku hari ini lebih baik daripada penampilanku sebelumnya dan itu layak mendapat apresiasi."
"Kurasa kamu tidak perlu terlalu memikirkan apa kata mereka. Pikirkan saja wajah orangtuamu yang bangga melihatmu menari di panggung internasional. Melihatmu ada di posisimu sekarang." Mereka memarkirkan sepeda sebelum berjalan bersama menuju pintu masuk. "Seburuk apa pun baletmu, orangtuamu akan memberimu bintang sepuluh. Tidak ada penghargaan yang lebih baik daripada penerimaan orang-orang yang mencintai kita, baik pada saat kita terpuruk atau berjaya."
"Kamu benar." Anania mengangguk.
Park where you want. Salah satu hal yang disukai Anania dari Copenhagen. Parkir sesukamu, tidak akan ada polisi yang mengangkut sepedamu. Tetapi Anania tetap mengunci sepedanya. Memang polisi tidak akan mengganggu sepedanya, tapi orang mabuk atau iseng yang memerlukan alat transportasi untuk pulang—atau ke mana saja tujuan mereka selanjutnya—tidak akan segan memakai sepeda yang tidak dikunci saat ditinggal pemiliknya.
Setelah memastikan keamanan sepedanya, Anania berjalan bersisian dengan Haagen. Anania sedikit terkejut ketika Haagen meletakkan telapak tangan kanannya di belakang punggung Anania, membimbing Anania dengan lembut menuju pintu masuk. Berdiri berdampingan dengan Haagen seperti ini membuat Anania merasa semakin pendek. Meski sudah dibantu dengan sepatu hak tinggi, selisih tinggi mereka masih lima belas sentimeter. Sejak kecil Anania makan seperti orang Denmark. Hidup dengan cara orang Denmark. Namun Anania tidak pernah mencapai tinggi rata-rata wanita Denmark.
Karena Haagen sudah melakukan reservasi melalui aplikasi sebelum ke sini, mereka langsung diarahkan menuju meja pilihan Haagen. Di samping bar, dengan dua kursi menghadap jendela kaca lebar. Restoran ini terletak di lantai delapan dan di hadapan mereka sekarang, tersaji pemandangan malam seluruh kota Copenhagen. Haagen menarikkan kursi untuk Anania, menunggu Anania duduk, sebelum dia sendiri mengambil tempat di seberang Anania.
"Juice pairing," kata Haagen kepada waitress dan Anania tersenyum mendengarnya, karena senang Haagen ingat bahwa Anania tidak menyukai minuman beralkohol.
Pernah ada masa di mana Liisa mengajari Anania table manner. Yang sangat rumit. Apa beda gelas air dan gelas anggur, mana sendok sup dan makanan penutup, seberapa keras mengatur suara saat berbicara di meja makan dan sebagainya. Suatu saat di masa depan, Liisa percaya pengetahuan tersebut akan sangat berguna bagi Anania. Benar kata Liisa, ketika Anania memiliki tanggung jawab sosial, yang datang satu paket dengan jabatan principal dancer, Anania banyak menghadiri jamuan makan malam resmi. Hanya saja Anania tidak pernah menyangka table manner tersebut akan berguna pada kencan pertamanya bersama laki-laki tampan bermata biru di hadapannya ini.
Bagi Anania ini adalah kencan pertama. Kalau diatidak boleh mengategorikan acara malam ini sebagai kencan, berarti memang Ananiabenar-benar tidak tahu seperti apa kencan itu.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DANCE OF LOVE
RomanceAnania Ingelisa Tjandrasukmana, principal dancer di The Royal Ballet of Denmark, tidak menyangka bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk cinta pertamanya. Sebuah proyek buku mempertemukan kembali Anania dengan Haagen Verstergaard, urbanist dan CEO P...