Oh, Anania tidak akan malu mengakui bahwa dia belum pernah pergi berkencan sama sekali sebelum malam ini. Hanya pernah melihat di film saja. Kalau saat remaja dulu Anania membayangkan kencannya dengan Haagen akan diliputi kebahagiaan, Anania salah besar. Kencan dengan Haagen rasanya lebih dari membahagiakan.
"Kenapa kamu tersenyum sendiri, Anania?"
"Bukan apa-apa. Jadi, apa kamu bisa bahasa Indonesia?" Tentu Anania tidak akan menceritakan bahwa kupu-kupu tengah berdansa di perutnya, ikut merayakan kencan pertama.
"Bisa. Kamu tahu ibuku orang Indonesia." Haagen tersenyum. Senyum yang bisa melelehkan kutub utara hanya dalam hitungan detik saja. Hati Anania jangan ditanya, sudah mencair sejak kemarin. "Banyak sekali kerabatku yang tinggal di Indonesia, jadi ibuku mengajari anak-anaknya bahasa Indonesia."
Seandainya hari ini Anania jatuh saat berlatih, keseleo, dan kesal karena harus istirahat menari beberapa minggu, begitu melihat senyum hangat dan memesona di wajah tampan Haagen, Anania yakin dengan mudah dia akan melupakan ketidakberuntungannya. Anania tidak akan berhenti bersyukur. Semua wanita pasti merasa seperti berada di surga ketika menerima satu senyuman menawan dari Haagen.
"Mulai sekarang, bagaimana kalau kita berdua mengobrol pakai bahasa Indonesia saja?" Selama ini Anania berkomunikasi dengan Haagen menggunakan bahasa Denmark.
"Boleh." Haagen menyetujui. "Apa kamu sering pulang ke Indonesia?"
"Tentu saja. Semua keluargaku di sana." Dari jendela kaca di depan Anania, terlihat kebun angin atau windmills di dekat jembatan Øresund. Jembatan terpanjang di Eropa yang menghubungkan Denmark dan Swedia. Kincir-kincir angin raksasa tersebut adalah sumber energi listrik untuk Copenhagen dan kota sekitarnya. Anania mengapresiasi upaya negara ini mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
"Apa ada ... seseorang yang menunggumu di sana?"
"Banyak orang. Keluargaku."
"Kamu mengerti maksudku, Anania."
"Kalau ada seseorang yang menungguku di sana, atau di mana pun, aku nggak akan duduk di sini bersamamu. Aku bukan tipe orang seperti itu."
"Semoga akan selalu seperti itu," gumam Haagen.
"Kamu mendoakan aku single seumur hidup?" protes Anania.
Sebelum Haagen menjawab, sebuah suara mendahuluinya. "Haagen? Anania?"
Oh, no. Not now. Anania memejamkan mata, menyiapkan diri untuk menghadapi Asger yang kini berdiri di depan mereka. Sophia, tunangan Asger, tersenyum ramah dan memeluk Anania yang baru saja bangkit dari duduknya. Tatapan mata Asger—yang penuh pertanyaan—bergerak dari Haagen menuju Anania. Sejak dulu, anak-anak Liisa, yang sudah menganggap Anania adalah adik mereka, terlalu protektif terhadap Anania dan Anania tidak menyukai itu. Tetapi Anania tidak pernah protes karena tidak ingin dianggap tidak tahu diri.
"Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini." Asger menatap dalam-dalam wajah Anania, sebelum kembali berpindah kepada Haagen. "Aku lupa memberi tahu, Haagen, besok aku akan mampir ke kantor Projektbyen."
"Baiklah, aku masih ingin menikmati makan malam yang romantis, Asger. Kurasa Haagen dan Anania juga sama. Senang bertemu kalian. Sampai jumpa saat makan malam di rumah Liisa, Anania." Sophia memaksa Asger bergerak meninggalkan Anania dan Haagen.
"Maafkan Asger, ya." Anania duduk dan kembali berbahasa Indonesia. "Dia merasa dia adalah kakak laki-lakiku dan yah ... protektif seperti itu."
Makanan mereka dihidangkan dan Anania menggigit lidahnya, menahan diri untuk tidak bicara lebih banyak. Karena, untuk apa juga? Haagen tidak akan menanggapi. Ada yang berubah pada bahasa tubuh Haagen. Seperti Haagen baru saja memasang batasan. Meskipun mereka duduk berdampingan, saat ini Anania bisa merasakan jarak di antara mereka membentang dari Antartika hingga Indonesia. Pikiran Haagen sudah tidak lagi berada di sini. Fokus Haagen tidak lagi bersama Anania. Ada yang mengganggu Haagen, tapi Anania tidak bisa menebak itu apa. Bertanya pun tak akan ada gunanya. Haagen pasti akan menjawab tidak ada apa-apa.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Anania berusaha menikmati makan malamnya. Tidak mungkin Anania membiarkan hidangan seharga 2.500 Krone* ini tak tersentuh. Membuang-buang makanan bukan kebiasaan Anania. Jadi meskipun nafsu makannya menghilang bersamaan dengan lenyapnya antusiasme Haagen akan kencan pertama mereka, Anania memaksa dirinya menghabiskan isi piringnya.
"Kalau kamu nggak keberatan, Haagen, aku ingin langsung pulang. Besok aku ada pemanasan pagi-pagi dan aku nggak ingin terlambat." Rencananya, sepulang dari sini mereka akan melanjutkan kencan dengan mengobrol di kafe. Tetapi Anania menilai, tidak ada gunanya melanjutkan kencan ini lebih lama lagi. "Kamu nggak perlu mengantarku pulang."
***
Anania menyesap teh herbal di cangkirnya dan duduk di meja makan. Tadi Haagen tetap memaksa mengantar Anania hingga ke depan pintu apartemen, walaupun Anania bersikeras bahwa dia sudah terbiasa pulang sendiri. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan di Copenhagen. Kota ini cukup aman baik siang maupun malam. Tetapi laki-laki baik seperti Haagen tidak pernah melupakan tanggung jawabnya. Karena Haagen mengawali kencan dengan menjemput Anania, Haagen mengakhirinya juga dengan mengantar Anania hingga selamat sampai di rumah.
Sampai kapan pun Anania tidak akan menyesali kencan pertamanya malam ini. Haagen telah membuktikan bahwa masih ada laki-laki baik di dunia ini. Seandainya saat ini Anania tengah patah hati dan berjanji tidak akan lagi berurusan dengan laki-laki, setelah berkencan sekali dengan Haagen, Anania akan mengubah sikapnya. Rugi sekali menutup kesempatan untuk mengenal laki-laki baik hanya karena satu laki-laki berengsek. Tidak perlu kapok untuk menjalani kencan pertama selanjutnya, siapa tahu setiap kencan pertamanya kelak bisa mendapat akhir yang lebih indah.
"Lho, Ann, kamu sudah pulang?" Yunnie masuk ke dapur dan membuka kulkas.
Anania hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Pulang kencan dengan laki-laki supertampan dan seksi, kenapa kamu lesu begitu?" Yunnie meletakkan gelas bening di meja dan menuang susu ke dalamnya.
"Kencannya gagal."
Tanda kencan pertama yang berhasil adalah kedua belah pihak sama-sama tidak ingin mengakhiri kencan mereka. Tidak peduli meski sudah pukul tiga pagi, mereka akan mencari alasan untuk terus bicara dan tertawa bersama. Kalau tidak memungkinkan untuk menginap berdua, mereka akan melanjutkan obrolan dan candaan melalu telepon, saat masing-masing sudah sampai rumah. Tidur bukan pilihan bagi mereka. Sebab siapa yang perlu menutup mata jika bisa bermimpi indah dengan mata terbuka?
Sedangkan kencan pertama Anania dengan Haagen? Berjalan dengan sangat singkat. Tanpa banyak berdebat Haagen membiarkan Anania berinisiatif mengakhiri kencan mereka. Memang Haagen mengantar Anania pulang, tapi Haagen tidak mencari-cari alasan untuk mampir sebentar. Tidak bercakap-cakap dulu di anak tangga. Tidak ada kalimat 'I had so much fun tonight, let's do this again sometimes' atau 'I'll call you later'. Laki-laki itu hanya mengucapkan selamat malam tanpa intonasi dan bergerak menuruni tangga begitu Anania menutup pintu.
"Gagal bagaimana?" Yunnie menarik kursi dan duduk di hadapan Anania.
"Kencan pertama yang gagal itu ... ya ... tidak akan ada kencan kedua."
###
*Satu Danish Krone kurang lebih setara dengan Rp 2.500,-
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DANCE OF LOVE
RomanceAnania Ingelisa Tjandrasukmana, principal dancer di The Royal Ballet of Denmark, tidak menyangka bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk cinta pertamanya. Sebuah proyek buku mempertemukan kembali Anania dengan Haagen Verstergaard, urbanist dan CEO P...