WHAT HAPPENED IN THE PAST

99 21 0
                                    

"I am fine." Anania meneruskan makannya.

Dua puluh menit kemudian semua orang pindah ke ruang tengah untuk menikmati hidangan penutup. Yang bertugas membersihkan meja dan mencuci piring setelahnya adalah para lelaki.

Anania mengelus perutnya yang penuh saat duduk bersama Liisa dan Shopia di ruang tengah. Mereka bertiga membicarakan persiapan pernikahan.

"Anania, apa kamu bersedia menjadi maid of honor dalam pernikahanku?" Pertanyaan Sophia membuat Anania hampir tersedak ginger ale.

"Aku? Kenapa bukan sahabatmu atau kakak atau adikmu?" Posisi tersebut sangat istimewa. Tidak sembarang orang dipilih untuk mengisinya.

"Sahabatku meninggal enam bulan lalu. Dan aku anak tunggal. Aku bisa memilih salah satu di antara temanku, tapi ... nanti aku disebut tidak adil."

"Itu akan menjadi kehormatan untukku, Sophia. Siapa best man yang dipilih Asger?" Anania menjawab sekaligus bertanya.

"Haagen."

Tentu saja. Anania mendengus dalam hati, karena takdir memang sedang ingin menyiksa dirinya, dengan terus mengatur pertemuan dengan Haagen.

***

"Aku datang ke pesta pernikahan Liv." Haagen berdiri di depan apartemen Anania. Tadi Haagen menawarkan untuk mengantar Anania pulang dan Anania langsung menolak. Untung Liisa memaksa Anania untuk menerima tawaran Haagen. Meski Copenhagen aman, Liisa merasa tenang kalau tahu Anania tidak pulang sendirian. "Seluruh keluargaku datang, bahkan mereka terbang dari Indonesia."

Bibir Anania terbuka lalu menutup kembali. Tidak tahu harus menanggapi dengan kalimat seperti apa. Haagen tersenyum kecut. Semua orang pasti menganggapnya gila karena memutuskan hadir di pernikahan mantan tunangannya.

"Kamu tahu, Haagen...." Akhirnya Anania bersuara. "Kalau kamu memerlukan teman bicara, aku ada waktu ... untuk mendengarkan."

"Kamu bilang kamu tidak ingin berteman denganku lagi."

"Aku menawarkan diri menjadi teman bicara-mu, bukan temanmu."

"Teman bicara ya ... kurasa aku memerlukannya sekarang." Selama ini Haagen memendam sendiri segala rasa sakit dan kecewa yang dia rasakan. Berbagi dengan Anania mungkin bisa mengurangi beban di hatinya.

Memang orang-orang terdekatnya bisa membaca Haagen sedang tidak bahagia, tapi mereka tidak mendengar langsung pengakuan tersebut dari bibir Haagen. Ini benar-benar mengherankan. Kalau Haagen tidak mau memperlihatkan sisi terkelam dalam hidupnya kepada mereka, kenapa Haagen mau melakukannya kepada Anania? Seandainya saja Haagen punya waktu untuk menemukan jawabannya.

Haagen mengikuti Anania ke dapur dan mengiakan saat Anania menawari kopi.

"Decaf." Anania memperjelas sifat kopinya.

Berkafein atau tidak, Haagen tidak peduli. Beberapa bulan ini tidur dan tidak tidur sama saja baginya. Sama-sama seperti sedang bermimpi buruk.

"Yunnie sedang nggak di rumah." Anania mengeluarkan dua buah mug dari lemari. "Jadi, kenapa kamu memutuskan datang ke pernikahannya?"

"Karena aku ingin menyelamatkan sepupuku."

"Menyelamatkan?" gumam Anania.

"Liv dan sepupuku baru kenal sebentar. Dan ... aku tidak percaya Liv mencintainya." Pemikiran seperti ini pasti terdengar menggelikan di telinga orang lain. "Aku datang ke pesta pernikahan Liv dengan membawa semua rekaman kebersamaan kami. Aku ingin sepupuku tahu Liv mencintaiku. Bukan mencintai sepupuku."

"Dia ... dia menikah dengan sepupumu?" Anania takut salah dengar.

"Iya. Menyenangkan sekali, kan? Meski pertunanganku berakhir, aku tidak akan pernah kehilangan Liv. Dia tetap ada dalam hidupku. Tetap menjadi keluargaku. Sama-sama melalui pernikahan. Tetapi bukan menikah denganku." Haagen tertawa hambar.

"Itu ... wow ... aku nggak tahu harus ngomong apa, Haagen." Anania tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Well." Haagen menerima mug berisi kopi panas dari Anania. "Aku hadir karena ingin menyelamatkan sepupuku dari ... pernikahan tanpa cinta. Karena aku masih yakin Liv mencintaiku dan Liv membuat keputusan yang salah. Entah karena apa. Aku ingin mencetak semua fotoku bersama Liv dan membagikan kepada seluruh tamu undangan."

"Aku ingin menunjukkan kepada mereka kalau ... memang yang menikah adalah Liv dan sepupuku, tapi sebenarnya yang dicintai Liv adalah aku. Akulah yang berhak berdiri di samping Liv sebagai mempelai. Untung aku tidak jadi melakukannya."

"Kenapa kamu ... kenapa sampai segitunya, Haagen? Uh ... keras kepala." Anania menarik kursi di hadapan Haagen dan meletakkan mug kopinya di meja di antara mereka. "Apa karena kamu sangat mencintainya?" Mungkin memang betul kata orang. Seseorang tidak bisa mencintai dan berpikir dengan benar pada saat bersamaan.

Keras kepala. Anania terlalu baik hati dengan tidak menyebut Haagen bodoh.

"Kurasa aku mencintainya."

"Kamu rasa?" Anania mengerutkan kening.

"We stayed out of habit. Aku tumbuh besar bersamanya. Rumah kami bersebelahan. Kami sekolah di tempat yang sama. Ibuku bersahabat dengan ibunya. Keluarga kami sering berlibur bersama. Aku dan Liv seperti tak terpisahkan. Di mana ada aku, di sana pula Liv ada. Setelah menyelesaikan S3, kami memutuskan untuk pacaran. We already shared a lot of history. Kami tidak memerlukan waktu untuk saling mengenal dan tidak pernah pusing merencanakan kencan. Semua mengalir begitu saja. Semua berjalan dengan sangat mudah.

"Keluarga kami tidak heran saat aku dan Liv mengabarkan kami pacaran. Mereka sangat bahagia saat aku dan Liv bertunangan. Sangat amat bahagia. Impian mereka untuk benar-benar menjadi keluarga akan tercapai. Selalu tertanam pengertian dalam diriku bahwa menjalani hidup dengan Liv sampai mati adalah takdirku. Kami saling mencintai. Atau aku berpikir kami saling mencintai. We were solid." Haagen memutar-mutar mug di tangannya.

"Lalu kakekku sempat sakit dan ibuku memintaku untuk menjenguk beliau. Aku terbang ke Indonesia dan untuk pertama kalinya, aku membawa Liv bersamaku. Aku ingin mengenalkan tunanganku kepada keluargaku yang banyak tinggal di Indonesia. Seperti biasa, Liv selalu bisa membuat siapa saja menyukainya. Tidak terkecuali sepupuku, yang saat itu juga sedang berada di Indonesia. Sepupuku bekerja di Jerman.

"Sekembalinya kami ke Denmark, ada yang berbeda dari Liv. Dia mulai sering menerima pekerjaan di Jerman. Dalam satu bulan bisa sampai tiga kali Liv pergi ke sana. Aku tidak curiga dan tidak mempermasalahkan. Apalagi Liv terlihat bahagia setiap kembali ke Copenhagen. Kupikir kebahagiaannya itu karena ... urusannya sukses dan bisa ketemu aku.

"Suatu hari, Liv tidak kembali ke Copenhagen ... lebih lama dari biasanya. Dia juga tidak menerima teleponku dan tidak menjawab pesanku. Saat aku mulai khawatir, Liv menghubungiku dan dia bilang dia baru sampai di bandara Copenhagen. Dia akan langsung menuju apartemen. Apartemen kami yang baru.

"Aku memesan makanan dan menyiapkan makan malam romantis untuk kami berdua. Memang sekembalinya dari Indonesia, kuakui aku sangat sibuk dengan banyak proyek dan tidak banyak menghabiskan waktu bersama Liv. Hari itu aku ingin menebus kesalahan kepada Liv, karena tidak bergitu perhatian padanya, dengan menyenangkan hatinya."

Anania tertegun mendengar cerita Haagen. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang pernah mendengar versi lengkap dan detail atas batalnya pertunangan Haagen dan Liv. Sekali lagi, Haagen tidak tahu kenapa dia menceritakan kepada Anania. Mungkin karena Haagen perlu mengeluarkan isi hatinya dan Haagen percaya Anania tidak akan menghakimi dan menceramahinya.

"Kami duduk di ruang makan yang sudah kubuat sedemikian rupa supaya mendukung kemesraan kami. Aku menyalakan lilin dan sebagainya. Liv memang duduk di depanku malam itu, tapi aku bisa merasakan Liv tidak sedang bersamaku. Pikiran dan hatinya berada di tempat lain. Aku bertanya mengenai pekerjaannya di Jerman. Pertanyaan sesederhana itu membuatnya menangis," lanjut Haagen.

###

THE DANCE OF LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang