"Aku sudah memesan makanan. Thai foods." Asger menginformasikan.
"Tidak pedas, kan?" Anania memastikan.
"Tidak untukmu," jawab Asger.
"Kamu tidak suka pedas?" Haagen bertanya dalam bahasa Indonesia. Informasi sekecil apa pun mengenai Anania, Haagen ingin tahu dan ingin mengumpulkannya. Suatu ketika pasti akan berguna baginya. Untuk memenangkan hati Anania, tentu saja.
Anania menggeleng sebagai jawaban.
"Lemah," ejek Haagen.
Mulut Anania terbuka lalu tertutup lagi, membuat Haagen ingin tertawa. Selalu saja seperti itu. Anania ingin memfilter setiap kalimat yang keluar dari bibirnya. Tampak seperti tidak mau sembarangan bicara.
"Jawabanku untuk pertanyaanmu beberapa hari yang lalu adalah no, I won't consider." Karena Haagen berbicara bahasa Indonesia, maka Anania mengikuti.
"Itu tidak adil, Anania," protes Haagen tidak terima. "Masa hanya gara-gara aku menggodamu sedikit, kamu langsung menutup kesempatanku untuk bisa bersamamu."
"Kamu pasti nggak ingin bersama wanita lemah, kan?" balas Anania.
"Bisakah kita bicara dengan bahasa yang dipahami semua orang?" Asger menghentikan perdebatan Anania dan Haagen dalam bahasa Denmark. "Kalian bisa menjelek-jelekkan aku saat aku tidak ada di depan kalian."
Mereka semua, kecuali Asger, tertawa. Diskusi dipindahkan ke ruang makan. Sophia membagi-bagikan piring dan peralatan makan lainnya. Tidak ada yang bersuara selama semua orang menikmati makanan.
"Menurutku," kata Anania setelah meneguk lemon tea dinginnya, "warna keemasan bisa digunakan untuk maple leaf yang kalian ikat di undangan. Warna dasar undangan dan dekorasinya nggak harus emas. Kalian bisa menggabungkan beberapa warna musim gugur. Kurasa akan dihasilkan undangan yang cantik. Karena aku setuju dengan Asger, warna emas secara keseluruhan akan membuat undangan kalian menjadi terlihat tua."
"She is an old soul, definitely." Asger membawa telapak tangan Sophia ke bibirnya dan menciumnya. "But I love her more than life itself."
"Kita akan mencoba saranmu, Ann. Tahu tidak, kupikir laki-laki akan lepas tangan saat kita—para wanita—merencanakan pernikahan." Sophia berdiri untuk membereskan bekas makan mereka, tapi Asger dan Haagen menyuruhnya duduk kembali. Mereka yang akan bersih-bersih. "Tapi ternyata Asger cerewet ikut menentukan ini itu."
"Aku berharap nanti calon suamiku juga akan seperti itu. Ikut berpendapat dalam menentukan segalanya. Sebab dengan begitu aku merasa yakin dia menganggap pernikahan kami penting." Anania mengisi kembali gelasnya. "Bukan sekadar formalitas."
"Formalitas untuk apa?" sahut Asger.
"Untuk bisa menghamili kami." Sophia menukas dengan ketus. "Ngomong-ngomong soal calon suami, Anania, kalau kamu tidak punya pacar, apa kamu mau kenalan dengan teman kuliahku dulu? Dia dokter juga. Orangnya baik sekali."
Haagen mematung di depan tempat cuci piring. Harap-harap cemas menanti jawaban yang akan keluar dari bibir Anania.
"Sekarang aku belum ada waktu, Sophia. Aku sedang sibuk dengan Giselle dan persiapan pernikahan kalian."
Mendengar jawaban Anania, Haagen mengembuskan napas lega dan bergerak kembali untuk menyabuni piring.
"Tapi mungkin kami bisa kenalan saat resepsi pernikahanmu nanti?" lanjut Anania dan sendok di tangan Haagen jatuh ke bak aluminium, menimbulkan bunyi nyaring. "Banyak teman banyak rezeki, iya, kan?"
"Kamu tidak membawa plus one saat datang ke resepsi kami nanti?"
"Plus one." Anania mendengus tidak suka. "Kalau aku bawa, Asger dan Jesper tidak akan membiarkannya pulang dalam keadaan hidup. Kadang aku merasa hidupku seperti kutukan. Aku punya tiga adik laki-laki. Tiga! Dan di sini masih ada dua orang laki-laki yang bertingkah seperti kakakku. Kalau aku bilang aku tidak perlu pacar, kamu pasti percaya. Karena sudah terlalu banyak laki-laki dalam hidupku. Yang suka mencampuri urusanku."
"Hei, aku hanya ingin memastikan kamu mendapatkan laki-laki terbaik, Anania!" Asger membela diri. "Kamu seperti adikku sendiri, jadi aku tidak mau kamu disakiti."
Sophia tertawa keras. "Meski begitu, kamu tetap perlu punya pacar, Ann. Karena semua laki-laki dalam hidupmu, yang kamu sebutkan tadi, tidak bisa menciummu sampai kamu sendiri lupa siapa namamu."
***
"Jadi, apa pernah ada laki-laki yang menciummu sampai kamu lupa siapa namamu?" Haagen kembali mengantar Anania pulang malam ini.
"Satu-satunya laki-laki di luar balet yang pernah menciumku adalah Asger." Satu tangan Anania sudah berada pada gagang pintu, bersiap membukanya.
"Asger?!" Haagen tidak percaya pada apa yang baru dia dengar. Sok suci sekali Asger menyuruhnya berhati-hati sebelum mendekati Anania, padahal dia sendiri sudah berbuat lebih.
"Saat umurku empat belas tahun."
"Empat belas tahun?! Kamu masih di bawah umur, Anania! Berapa umur Asger saat itu? Sembilan belas? Itu perbuatan yang tidak pantas. Tidak bermoral." Haagen tidak bisa membayangkan ada anak kuliahan mencium anak SMP.
"Kalau kita berciuman sekarang, Haagen, selisih usia kita sama dengan selisih usiaku dengan Asger saat itu." Kali ini Anania membuka pintu.
"Paling tidak, kita berdua sudah cakap hukum sekarang."
Haagen betul, Anania mengakui. Sekarang kalau Anania diminta membayangkan anak kuliahan mencium anak bau kencur yang baru duduk di sekolah menengah pertama, Anania akan setuju tindakan itu tidak bermoral. Anania masih di bawah umur pada saat itu, masih berada di bawah pengawasan wali atau orangtua. Tetapi sekarang, jika Anania dan Haagen berciuman, semua orang akan menganggap hal tersebut wajar. Karena mereka berdua sudah sama-sama dewasa.
"Mau masuk dan minum kopi?" Anania menawarkan.
"Tentu saja. Aku tidak ingin membicarakan ciuman di luar sini." Tanpa perlu dua kali diminta, Haagen mengikuti Anania masuk. Kali ini teman serumah Anania, Yunnie, ada di rumah dan sedang duduk di sofa sambil membaca buku.
"Hei, Yunnie. Kenalkan, ini Haagen." Anania memperkenalkan Haagen dalam Bahasa Denmark. "Haagen, ini teman serumahku dan teman di The Royal Ballet of Denmark. Yunnie."
Setelah Yunnie dan Haagen bersalaman dan berbasa-basi sebentar, Anania mengajak Haagen ke dapur dan membuat kopi. "Aku menonton video kampanye terbarumu di YouTube Projektbyen. Aku nggak tahu kamu punya anak ... lain."
Pada video tersebut Haagen menggandeng anak laki-laki kecil yang memanggilnya Daddy. "Dia anak sepupuku. Itu ilustrasi adegan antara aku dan ayahku saat aku masih kecil dulu. Ayahku selalu menyebutku urbanist cilik. Sejak hari itu aku tahu aku akan menjadi apa saat dewasa nanti. Aku ingin setiap orang di setiap kota di dunia memilih naik sepeda dan pemerintah memfasilitasinya."
"Bukankah itu impian yang sulit? Di Indonesia, hampir setiap anak yang mau masuk SMA belajar sepeda motor dan saat masuk SMA mereka dibelikan motor baru. Jadi bisa kamu bayangkan betapa semrawutnya jalanan di Indonesia. Bahkan anak-anak SMP sudah naik motor ke sekolah. Ilegal tapi ya ... mau gimana lagi." Anania menyandarkan bagian belakang tubuhnya di konter dapur sambil menunggu coffee machine-nya bekerja.
"Sulit tapi bukan tidak mungkin. Kota-kota di negara berkembang ada yang memiliki keinginan untuk mencontoh budaya bersepeda di Copenhagen. Seperti Thailand, meskipun saat ini hanya sebatas untuk sightseeing, bukan trasportasi utama. Tapi itu awal yang baik."
"Kamu sering ke luar negeri?" Anania mengisi dua mug dengan kopi.
"Aku sudah pernah mengerjakan proyek di setiap benua."
"Wow. Usia berapa kamu memulai perusahaanmu?" Anania bergabung duduk dengan Haagen di meja makan.
"Umur perusahaanku baru delapan tahun. Tapi, Anania, kita tadi sedang membahas ciuman. Dan aku ingin melanjutkan." Haagen mengembalikan topik pembicaraan ke arah yang benar. "Jadi, belum pernah ada orang yang menciummu hingga kamu lupa siapa namamu?"
###
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DANCE OF LOVE
RomanceAnania Ingelisa Tjandrasukmana, principal dancer di The Royal Ballet of Denmark, tidak menyangka bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk cinta pertamanya. Sebuah proyek buku mempertemukan kembali Anania dengan Haagen Verstergaard, urbanist dan CEO P...