• R. Cakradiya Evan Wikaya Side
"Mas Evan, boleh peluk gak?"
Tepat ketika Namara selesai mengucapkannya permintaannya dengan masih tergugu karena tangisnya. Tubuhku langsung maju menangkapnya dalam pelukanku.
Hari ini seperti mengingatkanku pada saat mengantar Namara ke rumah sakit saat di Jogja dulu. Saat itu tangisnya dari bilik pasien terdengar persis seperti sekarang, terasa amat sangat menyedihkan dan putus asa.
Dan mungkin juga hari ini sudah di tuliskan Gusti pencipta semesta ini hari itu di bilik rumah sakit. Dari balik bilik itu aku berjanji akan membalas pukulan laki-laki kurang ajar manapun yang berani menyentuh Namara sampai menangis seperti ini.
Hari ini, diantara banyak tempat, secara kebetulan klien Voxtiva mengajak bertemu dicafe dekat kampus Namara karena dekat dengan kantornya. Meeting kami berjalan lancar dan cepat. Goal besar untuk Voxtiva karena berhasil mendapatkan klien kakap lagi bulan ini. Selesai meeting, aku memutuskan untuk lewat kampus Namara. Tidak untuk menemuinya. Ingat? Kami sedang bertengkar sebelumnya. Tentu saja aku cukup tahu diri untuk tidak dengan tiba-tiba menemuinya atau menghubunginya dulu setelah pertengkaran itu. Namun secara kebetulan aku malah melihat Namara berdiri di depan Circle K dekat kampusnya dengan seorang laki-laki yang memaksa memeluk Namara.
Tanpa pikir panjang aku langsung menghentikan mobilku dan menghampiri Namara saat itu.
Laki-laki itu ternyata Arim. Walaupun Namara tidak menceritakan siapa laki-laki itu, feeling ku bilang dia laki-laki yang gagal menikahi Namara. Dan yang menguatkan feeling ku, adalah saat laki-laki itu memukulku ketika aku bilang Namara sekarang milikku.
Aku yakin benar Arim adalah orang yang sama dengan yang pernah aku liat dulu. Laki-laki yang memukul Namara di Jogja. Laki-laki pengecut yang memarahi Namara di keramaian, laki-laki yang menelfon Namara di tempat konser sampai menangis sendirian ditoilet. Laki-laki yang membuat Namara punya ketakutan sebesar ini. Laki-laki itu orang yang sama dan itu adalah Arim.
Aku rasa, alasan di paragraf diatas cukup untuk membalas pukulannya dan memberinya dua ekstra bogeman. Jumlah yang kecil. Tentu saja aku ingin memukuli Arim sampai dia hampir mati. Biar dia tahu rasa nya dipukul seperti yang Namara alami saat bersamanya dulu. Namun Namara yang badannya ku sembunyikan di belakangmu bergetar ketakutan dan meminta membawanya menjauh.
Tentu saja permintaan Namara lebih penting dari pada menuruti egoku memukuli bajingan itu.
Dan disini lah kami. Tidak terlalu jauh dari tempat tadi. Aku hanya menjalankan mobilku sedikit ketempat yang lebih sepi. Dan saat aku berhenti Namara langsung minta ku peluk.
"Nafas, Namara..." Kataku pelan sambil mengusap punggungnya. Namara menangguk, lalu mengeratkan pelukannya padaku.
Aku membiarkannya walaupun mungkin ini jadi bumerang untukku sendiri.
Rasanya seperti mengizinkan Namara tahu jika jantungku akan berdetak sekencang ini saat Namara di dekatku. Apa lagi dengan posisi seperti ini.
Walaupun aku terlihat tenang, tapi sel-sel lain yang jadi bagian dari Raden Cakradiya Evan Wikaya dengan kurang ajarnya malah berpesta pora di dalam tubuhku.
*****
"Jangan liatin akuuu"
Siapa sangka lima belas menit setelah pelukan yang diminta Namara, aku kembali melihat Namara yang seperti ini didepanku.
Si tukang ngambek yang sedang makan trico kesukaannya.
Srottt
Bukannya di keluarin, Namara malah menarik ingusnya terus kedalam. Padahal ada tisu di depan. Dasar clumsy!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia
RomanceKabur. Hanya itu yang Namara Lembah Paramitha pikirkan ketika menjauh dari Jogjakarta. Sayangnya sebelumnya Namara tidak pernah berpikir bahwa kabur tidak menyelesaikan masalah, malah akhirnya menambah masalah yang sudah ada. Ini cuma cerita anak su...