4. Lee Junho, sih!

46 7 1
                                    

Dua bulan kembali bergelut dengan kuliah membuat aku yang sudah pernah merasakan nikmatnya bekerja dan gaji internship mengalami jet lag kehidupan. Orang lain juga pasti gitu. Aku yang tadinya bisa berfoya-foya dengan uang sendiri sekarang harus mengurasnya untuk membayar biaya spesialis yang gak murah itu.

Untungnya aku sekarang sudah dapat pekerjaan di salah satu klinik di dekat rumah. Jangan khawatir, aku memang dihire khusus jaga malam jadi siang aku bebas bisa melakukan apapun yang harusnya aku lakukan sebagai mahasiswi (lagi). Seperti belajar dan mengerjakan tugas sebentar lagi bahkan harus praktek. Aku seperti memberikan tubuh ku pada kesibukan dan membiarkan tubuh ku melupakan rasa sakit dipukuli pacar, membiarkan dunia yang memukuli ku sekarang.

Suami pemilik kliniknya ini teman Ayahku. Teman sekolah katanya, istrinya dokter dan ingin punya klinik sendiri, jadi suaminya mendirikan klinik untuknya. Romantis bukan?

Dulu akupun sempat memimpikan hal romantis itu. Aku selalu ingin punya suami yang membiarkanku bergelut dengan mimpi-mimpiku dan mencintaiku karena itu. Makannya dulu aku memilih mas Arim. Dia satu-satunya laki-laki yang mengerti dan ikut tertarik dengan hal-hal yang aku sukai. Namun ternyata harga yang harus dibayar untuk bersamanya terlalu mahal. Aku tidak sanggup membayarnya semahal itu. Mimpiku masih banyak, seumur hidup dengan orang yang hanya mau menyiksaku, bagiku terlalu lama.

Teror dari mas Arim belum benar-benar berakhir. Namun aku memutuskan untuk memblokir semua panggilan masuk asing yang tidak meninggalkan pesan dulu padaku. Aku juga mengganti handphone-ku karena ternyata selama ini mas Arim menyadapnya. Aku pun gak terlalu paham gimana bisa dia melakukan itu. Aku membiarkan semua protes teman-teman yang tidak sengaja kena blokir dan hanya minta maaf jika mereka menegurku. Bodo amat! Aku sudah jengah dengan tingkah mas Arim.

"Woy! Jangan ngelamun dibelakang rumah magrib-magrib. Nanti kesambet!"

Itu Tian. Dia baru saja pulang kerja, terlihat dari baju yang dia bawa dan koper yang masih dia tenteng.

Tumben sekali dia gak long shift? Biasanya jadwal terbang Tian ada aja tambahnya. Maklum masih junior, masih jadi gencetan pilot yang lain untuk menggantikan shift mereka.

"Aku gak ngelamun! Liat nih lagi kerjain tugas!" Kataku menunjukan layar laptopku pada Tian. Dia sudah duduk di sampingku sekarang.

Dia membacanya sekilas lalu langsung memalingkan wajah. Fix pasti pusing! Dasar supir! Pasti sudah hilang semua ilmu yang waktu sekolah bercokol di otaknya.

"Kita serumah lagi tapi malah jarang ketemu, gak ada bedanya sama pisah kota. Lucu banget ya?"

Aku tersenyum kecil.

Keluhannya itu seperti aku dan dia gak pisah kota setiap beberapa jam sekali, dia kan supir pesawat, pasti beberapa jam sekali sudah pindah kota atau bahkan pindah pulau.

Sejak pulang, mungkin Tian adalah orang yang paling jarang aku liat ada di rumah. Dia sibuk dengan jadwal-jadwal penerbangannya dan aku sibuk dengan kuliah dan kerja. Jika dengan Irgi, Dara dan Kale aku pernah keluar bersama, dengan Tian sama sekali belum pernah.

Ah. Aku jadi ingat pernah ada janji akan mengajak Nana-pacarnya Tian- shoping tapi belum sempat atur janji karena kesibukanku.

"Lo sedih gak, Teh?"

Aku mengernyitkan dahi. Pertanyaan aneh apa lagi ini? "Sedih kenapa?"

"Itu... Pernikahan lo sama Arim"

Aku menghela nafas, jika ditanya seperti ini jelas akan aku jawab aku sedih. Sangat sedih. Aku punya pengharapan besar saat berpacaran dengan mas Arim, bahkan sejak pendekatan. Aku berharap sekali dia bisa menjadi suamiku. Menjadi tempatku berlindung dari dunia yang kejam padaku. Namun ternyata aku berharap pada orang yang salah. Harapanku terlalu besar dan dia terlalu kecil untuk harapan-harapan besarku.

BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang