1. Terminal kedatangan

55 8 2
                                    


ding deng dong deng

"Your attention please... Sinar Air passangers on flight number SA728...."

Udara Jakarta. Belum keluar dari bandara aja aku udah bisa ngerasa polusi udara dengan tidak sopan berusaha memasuki tubuhku.

Dari awal aku udah ngerasa pulang ke Jakarta bukan ide yang baik. Andai gak lagi lari dari laki-laki gila yang ganggu hidupku itu, aku pasti gak bakal mau balik lagi ke sini! Jakarta itu ada cuma untuk ngerusak paru-paru aja.

Aku mengetuk-ngetukan jariku di lengan, masih menunggu koper keluar. Ck, aku kira punya adek pilot bisa mempercepat segala proses lama di Bandara. Ternyata gunanya cuma buat dapet kursi dipinggir jendela dan dapet tiket diskon doang! Gak se wow apa yang orang-orang bilang. Nunggunya mah tetep nunggu.

Artian Calling

"Apa?" Boro-boro salam, aku malah nanya ketus ke Tian. Ini juga si pak pilot janjinya absen langsung keluar, malah gak keluar-keluar. Dasar tukang bohong!

"Dimana?"

"Di luar, nunggu koper."

"Gue gak bisa pulang, ini temen gue ada yang gak bisa berangkat soalnya ibunya kepeleset, lo pulang sendiri lah teh."

Aku mendengus sebal. Makin gak ada gunanya nih si Tian.

"Mandiri lah teh."

Mandiri, dia kira aku bank! Sembarangan! Kalau ngomong perempuan mandiri, jelas aku ada di urutan terdepan, kurang mandiri apa aku seumur hidup. Harusnya Tian paling tau aku semandiri apa seumur hidupku.

"Lo kabur dari apa lagi sih sekarang? Tunangan lo masih ngejar-ngejar lo aja?"

"Berisik Artian! Kalo ga bisa ya udah! Gak usah nanya-nanya."

"Haha.. Coba telfon Mas Huki ya, minta tolong jemput dia, bilang gue gak bisa."

Orang bilang lari dari masalah bukan jalan yang baik buat menyelesaikan masalah. Aku setuju, tapi paling enggak lari bisa memudarkan masalah itu. Aku sudah membuktikannya berkali-kali.

Enam setengah tahun lalu misalnya, lari dari jakarta dengan alasan kuliah di Jogjakarta. Waktu itu aku sedang bertengkar dengan Bunda. Tapi lihat sekarang? Aku pulang dengan gelar yang Bunda bangga-banggakan pada rekan-rekannya. Gak ada orang tua yang gak bangga anaknya dapat gelar dokter dan lulus tiga tahun dengan gelar cumload di salah satu universitas negri terbaik se Indonesia. Selesaikan masalahnya?

Ya, benar kuliah di Jogjakarta memang awalnya cuma alasan. Bunda pasti tau aku aslinya bisa masuk jurusan teknik yang dia mau jika aku mau, sayangnya aku gak mau, jadi aku membohonginya dengan mengatakan aku tidak diterima. Nyatanya aku tidak pernah memasukan jurusan itu di pilihanku. Aku hanya memasukan jurusan kedokteran dan psikologi di Universitas yang jauh dari Jakarta. Penghianatan terbesar yang pernah aku lakukan. Sampai sekarang ibu tidak tahu itu.

Maka penghianatan kedua yang aku lakukan pada ibu adalah memutuskan pertunangan ku dengan mas Arim lalu pulang ke Jakarta. Kabur tepatnya. Kabur dari laki-laki yang merusak kehidupanku.

Hmm... Harusnya aku sadar sejak awal kalau laki-laki itu cuma bakal jadi masalah!

Harusnya aku sadar dari dia suka cemburu gak jelas ke aku. Menyesalinya aja bikin tambah snewen. Kok goblok banget aku? Kok bisa-bisanya aku dibohongin laki-laki itu dengan gampangnya? Kok mau-maunya aku dipukulin? Dan kok bisa-bisanya hubungan kaya gitu aku pertahankan sampai lebih dari setahun? Inget dia tiba-tiba flirting ke temen kos ku aja bikin aku malu sendiri, pusing kepalaku!

BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang