14. Sapu Tangan

45 10 4
                                    

R. Cakradiya Evan Side

Setelah chat Namara tadi pagi, kami janjian di cafe dekat kampusnya siang ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah chat Namara tadi pagi, kami janjian di cafe dekat kampusnya siang ini. Ya walaupun, lumayan jauh dari kantor ku ke kampus Namara, tapi gimana lagi. Dia duluan yang mau bertemu denganku saja sudah amat ku syukuri, jadi aku gak usah pusing cari alasan untuk menemuinya. Tuhan memang baik. Baru saja aku mengeluh tidak bisa memulai pendekatan pada Namara dengan natural, tapi Dia langsung memberi solusi dengan mengetukkan hati Namara untuk mengajak bertemu lebih dulu.

Dan satu hal mengejutkan lain dari Namara yang baru aku tahu dan sadari ketika sampai di cafe tempat kami janjian bertemu, akhirnya aku tau dimana dia berkuliah. Mau tau gak reaksi pertama saat aku tau dimana Namara berkuliah? Aku hampir saja mengumpat didepannya waktu Namara bilang dia ini adalah seorang dokter yang sedang mengambil spesialisasinya di Universitas beralmamater kuning.

"Jadi di Jogja juga lo kuliah?" Tanyaku saat makanan kami datang.

Dia mengangguk berkali-kali lalu meminum jus strawberry yang dia pesan. Lucu sekali Namara, dia sepertinya lebih suka makanan asam deh, beberapa kali aku bertemu Namara, dia selalu membeli yang rasanya asam, jadi ngeh juga walaupun dia gak bilang secara gamblang.

"Iya, kuliah."

"Di?"-Jangan bilang di si Gajah Mada itu.

"UGM" Katanya enteng.

Aku mendengus, Namara sampai kaget dengan reaksiku yang terang-terangan. Bukan, bukannya aku tidak suka UGM atau apa! Tapi itu kampus tempat Papi dan Mami berkuliah, bertemu, pacaran, pokoknya tempat itu adalah tempat bersejarah bagi kedua orang tuaku. Gara-gara itu mereka sampat punya keinginan menguliahkan ku disana. Tapi, mereka memang bisa berencana apapun namun Tuhan dan aku yang berhak atas takdirku.

Aku berakhir di Bandung tiga tahun. Di jurusan yang kalau kata Mami, jurusan yang akan dibenci mertua. Aku mana perduli. Buktinya akhirnya pun aku tetap bekerja. Aku yakin Tuhan adil pada semua mahluknya.

"So, sekarang spesialis?"

Namara mengangguk "Spesialis Kesehatan Jiwa," Katanya lagi "tapi sakit jiwa juga."

Namara tertawa setelahnya, tawa yang menurut ku lebih terdengar miris dari pada bahagia.

"No...You are not-" Gumamku diantara tawanya

"Apa?"

"Nope."

"Hmm.. Iya, aku jadi inget mau nanya, Mas Evan belajar 478 dari mana? Mas Evan belajar psikologi juga?"

Aku terbatuk, boro-boro belajar psikologi atau ilmu apalah itu, mendengar hal-hal sains begitu saja aku pasti sudah menyerah duluan. Aku tau yang begituan dari tiktok, instagram, ya semua yang berbau sosial media lah, banyak ilmu menarik yang gak harus belajar sains dulu di sosial media. Asal punya kemampuan kepo untuk bertanya dan mencari dasarnya saja, sudah bisa di gunakan. Tentu saja hal seperti itu harus diambil dari orang yang tepat. Seperti 478 yang Namara maksud, itu teknik bernafas yang aku pelajari di tiktok seorang praktisi meditasi.

BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang