Rutinitasku selalu sama di pagi hari. Membuat sarapan, menyiapkan bekal dan memberi makan kucingku yang berbulu lebat bernama Koko sebelum berangkat sekolah.
Tidak ada yang berubah.
"Ini Yah bekalnya, jangan lupa di makan." kuserahkan rantang itu kepada Ayah yang hendak pergi bekerja.
Ayah menerimanya lalu mengelus rambutku lembut. "Makasih sayang."
Aku mengangguk lalu menyalimi tangan Ayah. "Hati-hati Yah."
"Ayah berangkat dulu."
Kusertai senyum kecil melihatnya menghilang dibalik pintu.
_____
Ah, aku lupa.
Sebenarnya ada kebiasaanku yang lain di pagi hari. Yaitu, menyiapkan satu bekal untuk orang lain. Jika kamu berpikir bekal ini untuk seseorang yang spesial, maka jawabanmu tepat seratus persen.
Bekal ini khusus untuk Kadavi, laki-laki yang kusuka selama setahun belakangan ini.
Walau pada akhirnya bekalku itu selalu berakhir di perutku sendiri atau di perut Ananta, temannya Kadavi. Kadavi akan--dan terus--menolak bekal yang kusiapkan untuknya.
Aku tersenyum kemudian memasukkan kedua bekal dalam lunch bag. Memakai sepatu lalu mengunci pintu dan menyembunyikan kunci itu di bawah pot tanaman yang berada di atas meja.
Lalu berjalan keluar dari gang rumahku untuk menunggu angkutan umum yang searah dengan sekolahku. Perlu waktu sekitar lima atau sepuluh menit sampai ada angkutan umum yang melintas di depanku. Untuk mencapai sekolah dengan menaiki angkutan umum ini, perlu waktu selama sepuluh--terkadang lebih jika terjadi kemacetan atau supirnya yang sengaja untuk ngetem.
"Kiri bang." seruku.
Aku turun lalu membayar dengan nominal yang sesuai. Berjalan masuk ke dalam sekolah yang masih terbilang sepi.
Aku masuk ke dalam kelasku, XI IPA 2. Sejujurnya, aku sendiri sempat bingung kenapa diriku ini bisa keterima di jurusan yang menyulitkan itu. Tidak. Bukannya aku tidak pintar, hanya saja aku tidak terlalu menyukai angka dan deretannya. Perlu kamu ketahui, meski Ayahku adalah seorang Guru di salah satu Sekolah Dasar, anaknya ini--aku--tidak sepintar dirinya.
Walau beberapa Guru di sekolahku pernah mengatakan jika aku ini adalah tipe murid yang rajin daripada pintar--dan aku tidak menampik itu. Karena kenyataannya, itu memang benar adanya.
Aku lebih suka berangkat pada pagi hari--for you information, aku tidak pernah terlambat. Berbaris rapi sewaktu upacara, dan aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler. Sedangkan untuk nilai akademikku, semuanya masih bisa dikatakan aman-aman saja. Buktinya, selepas semester kemarin aku berhasil mempertahankan peringkatku di sepuluh besar.
Ayah bangga denganku.
Dan, aku pun bangga dengan diriku.
Lima belas menit berlalu, murid-murid mulai berdatangan. Di kelasku, separuh muridnya sudah duduk manis di bangkunya masing-masing. Berbincang ramah dan tertawa saat membahas sesuatu.
Aku sedang berada di luar kelas, menunggu seseorang yang sudah kuhapal kedatangannya. Semenit kemudian, bibirku mengulum senyum kala melihat Kadavi berjalan di antara murid lainnya.
Kadavi itu punya pesonanya sendiri, menurutku.
Dia selalu memakai jaket bomber sewaktu di sekolah. Menaruh jam tangan di pergelangan kirinya. Juga, tak pernah terlepas dari yang namanya ponsel. Dia adalah seorang penggila game sejati. Dari yang kudengar, Kadavi bahkan pernah dilarikan ke rumah sakit akibat tidak makan selama 2 hari, dan itu dikarenakan dia yang nonstop memainkan game-nya.
Mengenai fisiknya, Kadavi itu tinggi. Sekitar 180 senti––ini hanya perhitunganku sendiri. Kulitnya itu putih, lebih putih dari kulitku. Struktur wajahnya sempurna. Rahang tegas, hidung mancung, alis tebal dengan netra mata berwarna hitam juga bibirnya yang tipis. Rambutnya juga selalu di potong dengan model undercut, yang di mana menambahkan kadar ketampanannya.
Kadavi berhenti.
Dia itu berada di kelas XI IPA 4. Yang berarti tidak harus melewati kelasku.
Kemudian, Kadavi mendongak dari ponselnya untuk menatapku. Hanya sepersekian detik. Karena di detik selanjutnya, dia sudah menghilang dibalik pintu kelasnya dan meninggalkanku yang mematung terkejut.
Aku menunduk. Meneguk ludahku susah payah. Dadaku berdebar.
Aku ingin––dan selalu––memandang netra hitamnya yang indah itu.
_____
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYER
Teen FictionTangan Kadavi memegang salah satu pipi Hani dengan lembut. Ditatapnya gadis itu hangat seraya tersenyum ketika mengucapkan sesuatu. "Senyum lo cantik gue suka." --- Jatuh cinta dengan Kadavi adalah rencana yang tidak pernah disangka-sangka oleh Han...