Bab 19

15 3 10
                                    

Aku tidak tahu.

Semuanya begitu cepat.

Kabar tentang Ayah, Ananta yang melaju cepat di jalan raya atau air mataku yang turun di sepanjang jalan. Di saat mendengar berita tadi, Ananta buru-buru menawari dirinya mengantarku. Dan aku tidak punya waktu untuk menolaknya.

Tiba di rumah sakit kakiku bergetar menuju meja resepsionis, menanyakan Ayah dan mengangguk setelah mendapatkan kamar yang harus dituju. Ada banyak orang, namun air mataku tetap tak ingin berhenti. Sewaktu akan menaiki lift menuju lantai tiga aku sedikit terkejut karena Ananta tetap menemaniku. Di tengah rasa sedih aku menghela napas. Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih kepadanya.

"Nan, makasih ya udah nganterin gue," ucapku pelan seraya mengusap air mata di pipi kanan. Kami sedang menunggu lift bergerak––yang beruntungnya tidak begitu banyak orang, hanya sekitar lima termasuk aku dan Ananta.

Cowok yang berada di sampingku itu mengangguk sekali. "Semoga Ayah lo baik-baik aja ya, Han," balasnya dan aku mengangguk.

Lift terbuka. Kakiku buru-buru berlari menyusuri koridor sepanjang jalan. Sedangkan mataku dengan seksama mengamati satu per satu nomor unit yang tertempel di pintu. Saat mendapati nomor yang dimaksud oleh perawat di resepsionis tadi, kakiku seakan mati rasa.

Aku tidak sanggup membuka pintu. Atau tepatnya tak sanggup melihat kondisi Ayah.

Sepertinya Ananta mengerti kondisiku dan berupaya membujukku untuk masuk ke dalam.

"Masuk aja, Han. Kalo lo diem aja di sini lo nggak bakal tau kondisi Ayah lo langsung."

"Tapi––"

Ananta mendorong pelan diriku. "Percaya gue, Ayah lo pasti baik-baik aja."

Karena dorongan Ananta itulah akhirnya aku berani membuka pintu. Meski masih diselingi tangis mataku berpendar mencari keberadaan Ayah. Ayah memang berada di sebuah ruang yang terisi oleh beberapa pasien.

"Ayah," panggilku ketika melihatnya. Ayah berada di ranjang paling ujung, dekat jendela. Air mataku terjun kembali saat mendekatinya.

Ayah dalam kondisi sadar, tidak pingsan. Karena itu Ayah menyambutku dengan senyumannya yang khas saat berada di sisinya.

"Ayah baik-baik aja Hani," katanya tak mau membuatku khawatir.

Aku menggeleng. Bagaimana mungkin Ayah baik-baik saja? Anak kecil pun tahu bahwa semua orang yang masuk ke rumah sakit pasti tengah merasakan sakit.

Aku tidak mengatakan apa pun. Hanya air mata yang mewakilkanku untuk bertanya. Tangan Ayah mengusap pundakku lembut. Seolah memberi kekuatan. Kepalaku tertunduk dalam. Padahal yang sakit di sini adalah Ayah tetapi ia tak mau aku bersedih karenanya.

Butuh beberapa waktu sampai tangisku mereda.

"Ayah kenapa sampe bisa begini?" Akhirnya aku berani menanyakan itu.

Ayah tersenyum kecil sebelum menjawab. Aku mendengarkannya dengan serius. Kata Ayah begini, waktu Ayah ingin berbelok di sebuah pertigaan jalan ada sebuah mobil yang juga ingin berbelok ke arah Ayah, jadinya sebelum Ayah sempat menghindar mobil itu lebih dulu menabrak Ayah dan menyeretnya beberapa meter. Semoga saja kamu paham dengan penjelasanku.

Beruntung, orang yang menabrak Ayah akan bertanggung jawab. Ia yang akan membayar biaya rumah sakit dan mengganti kerugian motor Ayah. Aku tidak tahu harus apa. Ingin membenci tapi orang itu akan mempertanggung jawabkan perbuatannya.

"Hani nginep di sini ya, Yah," pintaku pelan. Suaraku bahkan terdengar serak akibat terlalu banyak menangis.

Tentu saja Ayah menggeleng. "Enggak, nggak, Ayah nggak setuju. Mending kamu pulang, istirahat di rumah."

"Tapi Hani mau di sini. Hani nggak mau jauh dari Ayah."

"Ayah yang nggak bakal tenang kalo kamu di sini, Han. Liat tempatnya, sama sekali nggak layak untuk menginap," sanggah Ayah memandang seisi ruangan.

Aku juga melakukan hal yang sama. Memang, di sini bukan hanya ada Ayah saja. Melainkan ada pasien yang lain juga. Tapi, tetap saja aku tidak mau pulang.

"Tapi Yah––"

"Hani," sela Ayah lembut.

Meski begitu aku langsung mati kutu. Ucapan Ayah memang tidak keras, namun seakan tidak ingin dibantah.

Aku menghela napas karena tidak bisa membujuk Ayah. Kami berbincang beberapa menit sebelum aku beranjak pergi dengan berat hati.

"Besok Hani bawain keperluan sama makanan kesukaan Ayah ya," kataku. Ayah mengangguk. "Ya udah, Hani pamit pulang dulu." Aku menyalimi tangan Ayah lalu berdiri.

"Hati-hati, jangan kebanyakan melamun di jalan."

"Ayah juga jangan maksa bergerak dulu, kalo butuh apa-apa minta aja sama suster," pesanku.

Ayah tertawa kecil lalu mengiyakan.

Sebelum benar-benar pergi aku memeluk Ayah. "Hani sayang Ayah," bisikku pelan.

Ayah membalas pelukanku. "Ayah juga sayang Hani."

Di detik selanjutnya aku mengurai pelukan seraya menghapus setitik air mata. Kemudian berjalan keluar ruangan.

"Maaf, Ananta gue lama––" Kalimatku terhenti dengan tenggorakan yang tercekat kaku. Tidak ada Ananta.

Tetapi Kadavi.

Bagaimana bisa?

"Pake ini," katanya memberi jaket yang beberapa hari lalu sempat kukenakan. Aku masih mematung. Apa-apaan ini? Kenapa ada Kadavi di sini? Apakah aku sedang berhalusinasi? Mataku mengerjap-kerjap terkejut memandangnya.

"Kok kamu bisa di––"

"Gue yang anter lo pulang."

_____

Tbc.

PLAYERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang