Beberapa hari kemudian, aku sibuk untuk memulai proses pembuatan video promosi sekolah. Hal itu membuatku sulit untuk bertemu Kadavi atau sekadar untuk melihatnya kecuali ketika waktu istirahat tiba.
Tentang sekuntum bunga mawar itu aku masih memikirkannya.
Pasalnya tidak hanya sekali, tapi belakangan ini aku jadi sering mendapat kiriman bunga mawar. Bukan hanya di sekolah melainkan di rumah juga.
Aku tidak bercerita kepada Sesa mau pun Ayah––kecuali Sam yang sudah tahu dengan sendirinya.
"Han? Hani?" kurasakan pundak tengah ditepuk beberapa kali oleh seseorang.
Aku mengerjap lalu memandang orang itu.
"Ah, iya, kenapa?"
Sam menggeleng.
"Lo yang kenapa, dari tadi cuma melamun aja. Kita harus cepat ambil video anak Paskib yang lagi pada latian itu." tunjuk Sam kepada anak Paskib yang tengah berlatih di lapangan.
Aku mengangguk.
"Oke, ayo."
Aku dengan membawa kamera di tangan mendekati pasukan berbaris itu lalu beberapa kali mengambil video dari sudut yang berbeda-beda. Sam yang juga membawa kamera melakukan hal yang sama. Sampai kami merasa cukup puas dengan hasilnya, aku dan Sam memutuskan untuk kembali ke ruang Jurnalistik.
Ketika berjalan itu, aku tak sengaja berpapasan dengan Kadavi.
Cowok itu memakai jaket bombernya juga dengan tas yang tersampir di pundak kanan.
"Mau pulang Dav?" tanyaku menghentikan langkah.
Kadavi melirik Sam sebelum mengangguk kepadaku tanpa mengucapkan apa-apa.
Aku tersenyum kecil.
"Hati-hati ya." pesanku sebelum kembali berjalan.
"Lo masih suka sama Kadavi, Han?" Sam bertanya saat kami sudah hampir sampai di ruang Jurnalistik.
Aku mengangguk.
"Iya, emang kenapa?"
Lama Sam tidak membalas, sorot matanya menatap kosong sesaat.
"Nggak apa-apa." katanya lalu tersenyum sejenak menatapku. "Lo nggak ada niatan buka hati lo buat orang lain, Han?"
Aku mengernyit, bingung.
"Maksudnya?"
Sam berdeham, tampak canggung sebelum menjelaskan kepadaku. "Ya, maksudnya lo nggak ada niatan gitu buka hati lo buat orang lain selain Kadavi? Siapa tau aja, kan ada yang suka sama lo?" papar Sam mengambang. Gerak matanya tampak tak menentu sesaat.
Aku tertawa.
"Bukan gue nggak buka hati buat orang lain Sam, tapi emangnya ada yang suka sama gue?" biar pun begini-begini aku cukup tahu diri dengan kadar kecantikanku sendiri.
Sam kembali berdeham.
"Siapa tau aja, kan."
Lima langkah lagi kami sampai di pintu ruang Jurnalistik ketika aku mengajukan sebuah pertanyaan kepada Sam.
"Emang kenapa lo tanya begitu? Suka lo sama gue?"
Aku cukup terkejut ketika Sam menghentikan langkahnya. Dia menatapku dengan sorot yang sulit kujelaskan. Ekor mataku juga sempat melihat kedua tangan Sam yang terkepal di sisi tubuhnya, seolah tampak begitu gugup.
Aku membuang pandangan ke arah lain. Meneguk ludah sambil membatin; kenapa situasinya jadi canggung begini?
Ugh, aku tidak tahan dengan situasi seperti ini.
"Han, sebenarnya gue––"
"Gue bercanda Sam." selaku kemudian tertawa kecil. "Nggak mungkin, kan, lo suka sama gue?" lanjutku lalu menatap Sam disertai senyum.
Sam tidak berkata apa-apa.
Kamera yang tengah tergantung di lehernya seolah menjadi saksi kami berdua.
"Gue masuk duluan ya, Sam." ujarku mencoba kabur dari situasi.
Namun tepat ketika aku memegang knop pintu dan hendak memutarnya aku mendengar suara samar Sam menyapa telingaku.
"Kenapa nggak mungkin kalo gue suka sama lo Han?"
Aku membeku sepersekian detik sebelum bersikap seolah-olah tidak mendengar kalimat tersebut dan memilih masuk ke dalam ruangan.
Dadaku terasa berdebar.
Satu pertanyaan terlintas di benakku begitu saja.
Apa mungkin Sam menyukaiku?
_____
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYER
Teen FictionTangan Kadavi memegang salah satu pipi Hani dengan lembut. Ditatapnya gadis itu hangat seraya tersenyum ketika mengucapkan sesuatu. "Senyum lo cantik gue suka." --- Jatuh cinta dengan Kadavi adalah rencana yang tidak pernah disangka-sangka oleh Han...