Senyap.
Tak ada percakapan selain kepulan asap dari dua cangkir teh yang tersaji di atas meja, hembusan napas masing-masing dan ketukan langkah di lantai oleh pelayan cafe.
Sesuai kataku kemarin hari ini aku menemui Ibu. Bertemu di cafe samping toko buku.
"Ada apa mau temui Ibu?"
Dulu sekali aku sangat menyukai suara itu. Ketika aku berada di pangkuannya dan mendengarkan sejuta kisah dari bibirnya pada malam hari. Juga tangannya yang mengusap lembut kepalaku.
Tapi sekarang bahkan aku lupa di mana letak hangatnya suara itu.
"Hani cuma mau mastiin sesuatu sama Ibu," jawabku menatap matanya. Kedua mata yang dulu selalu memandang sayang kepadaku. "Kenapa Ibu ninggalin Hani?" Suaraku bergetar. Padahal sejak semalam aku sudah berlatih mengatakannya dengan biasa tapi tetap saja gagal.
Ibu tak langsung menjawab.
Lengang sepersekian detik.
Sampai kulihat Ibu menghela napas panjang. "Bukannya kamu sudah tau alasan Ibu pergi?" tanyanya balik tidak memandangku melainkan memandang keluar cafe.
"Hani mau mulut Ibu sendiri yang bicara biar Hani merasa lega karena tau alesannya bukan cuma dari prasangka, asumsi atau dugaan Hani sendiri."
"Yah, mungkin aja semua dugaan kamu selama ini benar. Ibu pergi karena sudah nggak kuat lagi dengan Ayahmu."
"Kenapa?"
Ibu mengedikan bahu. "Sejak awal menikah, Ibu sudah bilang kalau Ibu adalah tipe yang boros dan Ayahmu menyanggupinya. Yah, meski akhirnya penghasilan Ayahmu nggak cukup untuk Ibu seorang. Jadi, daripada terus bertengkar tiap hari karena masalah yang sama Ibu memilih untuk pergi."
Hatiku sakit mendengarnya.
Aku menggigit bibir untuk menyalurkan rasa sakit. "Apa selama ini Ibu nggak pernah mikirin Hani?"
Bibir Ibu terkatup rapat.
Ibu menghela napas lagi. "Nggak mungkin Ibu nggak pernah mikirin kamu. Cuma kamu anak Ibu satu-satunya."
"Terus kenapa Ibu tinggalin Hani?" Pertahananku mulai roboh. Sekuat tenaga aku menahan aliran bening yang ingin meluncur bebas di pipi.
"Karena Ibu nggak punya pilihan lain. Saat itu Ibu juga sangat ingin membawa kamu pergi tapi Ayahmu itu malah melarangnya keras."
"Apa Ibu sayang Hani?"
Itu adalah pertanyaan yang paling ingin kutanyakan selama aku hidup. Tetapi Ibu malah memilih diam kembali. Begitu terlihat enggan sekadar menjawab.
Aku tersenyum miris. Sesusah itukah menjawabnya?
Satu air mata berhasil lolos.
"Ibu sayang kamu."
Mataku membesar tatkala mendengarnya. Oksigen seakan menipis seketika. Itu ... tidak mungkin, kan? Ibu sedang bohong, kan? Bagaimana mungkin ia sayang kepadaku jika ia bisa meninggalkanku begitu saja?
Aku terkekeh sejenak.
"Terus kenapa Ibu tinggalin Hani kalo sayang?" tanyaku dalam benak. Mana berani aku menanyakan itu secara langsung. Hatiku (takut) tak siap mendengar jawaban Ibu. Lebih baik aku tidak mendengarnya daripada harus merasakan sakit.
"Maaf Ibu nggak bisa lebih lama lagi karena ada beberapa urusan," ujarnya sambil melihat jam tangannya. Ia merapikan penampilannya sejenak dan meminum tehnya sedikit. Lalu berdiri dan berlalu pergi.
Setelah mengucapkan, "Maafkan Ibu Hani."
Aku tersenyum miris.
Tidak semua maaf dapat diterima. Tidak semua perbuatan dapat dimaafkan. Mungkin memang benar kadangkala waktu dapat menyembuhkan tetapi ada beberapa luka yang tak kunjung sembuh oleh waktu.
Rasa sakit waktu Ibu meninggalkanku takkan pernah hilang. Walau aku coba melupakan, menerima atau mengikhlaskannya rasa sakit itu tetap saja ada di sudut hatiku yang rapuh.
Dan aku memilih untuk tidak memaafkan Ibu. Aku membencinya sedalam rasa sayangku kepadanya.
Bukankah aku pernah berkata, "Tapi mungkin emang harus begini jalannya. Aku tau Tuhan itu baik dan Dia pasti bakal kasih yang terindah buatku nantinya. Meski belum rela sepenuhnya aku berusaha buat menerima apa yang udah terjadi."
Itu benar.
Tuhan itu baik.
Mungkin Ibu memang pergi meninggalkanku tetapi Tuhan itu ada dan mengirimiku orang-orang baik sebagai penggantinya.
Kadavi, Sesa, Ananta bahkan Khansa.
Aku sangat bersyukur atas kehadiran mereka semua.
"Lo nangis?" tanya Kadavi waktu melihatku keluar dari cafe dengan menghapus air mata. Aku ke sini memang dengan dirinya.
Aku tersenyum seraya menggeleng. "Nggak ini cuma kelilipan kok," jawabku memberi alasan bodoh seperti kepada Khansa kemarin.
Tentu, mana mungkin Kadavi percaya. "Lo beneran nggak apa-apa?"
Aku mengangguk. "Iyaaa, aku beneran nggak apa-apa Dav." Lucu rasanya melihat Kadavi bersikap seperti ini kepadaku. Jika mengingat sikapnya yang dulu begitu asing terhadapku kadang-kadang aku senyum-senyum sendiri. Kini perjuanganku meluluhkan hatinya sudah sepenuhnya terbayar.
Ia telah membalas perasaanku.
"Jangan nangis," katanya sambil menyeka jejak air mata di wajahku.
Tuhkan apa kubilang!
Aku terkekeh kecil lalu memukul lengannya pelan. "Apaan sih dikata aku nggak nangis juga."
Kadavi mengangkat bahunya tak peduli. Sedetik kemudian ia mengulurkan tangannya kepadaku.
Aku tersenyum lebih lebar dan membalas uluran tangannya yang besar itu. Sekarang tangan kami sudah sempurna saling menggenggam.
Kami berjalan bersama.
Di masa depan nanti mungkin akan semakin banyak air mata yang terkuras juga masalah yang tak kunjung selesai. Tetapi, aku tidak akan pernah melarikan diri. Takkan pernah lagi.
Aku menoleh memandang Kadavi.
Yang bisa kukatakan sekarang adalah bahwa aku bahagia.
Dan berharap selamanya bisa bahagia.
_____
Tbc.
Last epilog yah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYER
Teen FictionTangan Kadavi memegang salah satu pipi Hani dengan lembut. Ditatapnya gadis itu hangat seraya tersenyum ketika mengucapkan sesuatu. "Senyum lo cantik gue suka." --- Jatuh cinta dengan Kadavi adalah rencana yang tidak pernah disangka-sangka oleh Han...