Bab 7

24 5 1
                                    

Aku pernah merasakan sakit seperti ini.

Dulu sewaktu Ibu memilih untuk pergi dan meninggalkanku bersama Ayah untuk memulai hidup barunya sendiri.

Rasanya sama. Sakit, perih. Seolah dadaku baru saja tertikam oleh tombak berkali-kali.

Kenapa orang lain begitu hebat dalam menghancurkan hati orang lain?

Aku mendongak, menghalau air mata yang hendak jatuh di pelupuk mata. Jangan menangis, Hani. Jangan menangis, bisikku berusaha menguatkan hati.

Percuma.

Satu bulir air mata berhasil lolos dan mengalir di pipi kiriku yang langsung aku seka dengan kasar. Aku menggigit bibir bagian bawah kuat-kuat. Berteriak sekeras mungkin dalam isi pikiranku sendiri. Kenapa aku malah jadi semakin ingin menangis begini?

Suara guntur dan awan kelabu tampak penuh menghiasi langit. Aku mendongak, tersenyum miris. Ternyata semesta pun tahu jika ada seseorang yang sedang bersedih di sini.

Kepalaku menoleh ke sisi jalan, tepatnya di toko buku yang dulu sering kudatangi bersama Ayah. Bahkan aku tidak sadar ketika berjalan dan berhenti di tempat ini. 

Kudorong pintu toko buku itu lalu masuk ke dalam. Wangi buku dan suasana di dalamnya berhasil membuatku sedikit merasa tenang tatkala kakiku menginjak dan berjalan di dalamnya.

Aku menyusuri rak demi rak hanya untuk melihat. Tempat ini sudah begitu banyak perubahan. Namun, aku masih ingat betul ketika pertama kali Ayah mengajakku ke sini dulu.

Pandanganku menerawang. Di sudut ruangan itu bayang-bayang nostalgia tampak sekelebat terlintas di pelupuk mataku. Bagaimana Ayah dengan sabarnya membujukku untuk pulang karena waktu sudah berganti malam.

Aku tersenyum kecil.

Lalu berjalan menuju rak yang lainnya.

Dan seketika itu juga aku mau mengutuk semesta yang begitu jahat kepadaku. Kenapa di antara banyaknya kebetulan harus ini yang menjadi nyata?

Di depan sana, ada Kadavi dan gadis itu yang tengah memilih buku.

Rasa sakit itu datang kembali. Namun yang ini lebih besar dari yang pertama kali.

Aku tertawa miris sembari menggeleng pelan. Kepalaku tertunduk. Tak sanggup melihat mereka saat kedua orang itu berjalan ke arahku. Buru-buru tanganku mengambil buku acak dari rak untuk berpura-pura membacanya.

Mereka sudah lalu. Tapi rasa sakitnya masih tertinggal.

Kadavi tidak menyapaku. Sedetik kemudian, aku tersenyum pahit. Memangnya siapa aku mengharapkan itu? Aku adalah asing bagi Kadavi. Asing yang terus berusaha masuk di kehidupannya namun selalu ditolak.

Aku menarik napas lalu memilih untuk keluar dari toko buku.

Hujan.

Sempurna sekali.

Sepertinya semesta memang sedang bermain denganku. Menurunkan hujan agar aku tetap terjebak di sini bersama dua orang itu.

Aku mendongak, berharap hujan untuk berhenti. Aku ingin segera pergi dari tempat ini. Namun semenit berlalu. Tiga menit. Lima menit. Sampai lima belas menit, hujan tak kunjung reda juga.

Aku memejamkan mata.

Tetapi, tawa Kadavi dan gadis itu yang terlintas di kepalaku. Sial.

Aku sudah tidak tahan di sini. Setelah menarik napas panjang aku memutuskan untuk berlari menembus hujan. Membiarkan air mataku turun bersama dengan tangis semesta.

Baru saja kakiku melangkah sekali seseorang langsung menarik pergelangan tanganku ke arahnya.

Mataku membulat.

Rasanya begitu terkejut dan terasa mustahil.

"Lo mau ngapain? Hujan-hujanan?" suara orang itu terdengar menyapa telingaku. Di tengah hujan yang turun deras entah kenapa suaranya jadi terdengar begitu jelas. "Nggak takut sakit lo? Tunggu aja, nanti juga reda. Ngapain hujan-hujanan segala."

Aku menunduk.

Satu per satu air mataku mulai turun membasahi wajah.

Dan tangisku semakin pecah ketika orang itu menyampirkan jaketnya kepadaku. Memberiku rasa hangat melalui aromanya yang nyaman.

Bagaimana aku bisa membencimu, Kadavi. Jika satu tindakanmu saja sudah menggugurkan segala benciku.

_____

Tbc.

PLAYERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang