Aku tidak tahu ke mana Kadavi akan membawaku. Sepanjang perjalanan, aku hanya menyeka air mata dan sibuk memikirkan masalah yang ada. Namun, ini sudah satu jam lebih berlalu dan Kadavi tidak menghentikan motornya.
Aku juga enggan menanyakan apa-apa pada Kadavi. Mulutku masih kelu untuk berbicara.
Perlahan, di sisi jalan yang sebelumnya penuh rumah berdekatan kini berubah menjadi rimbunan pepohonan yang menyejukkan juga damai.
Perlu tiga puluh menit bagi Kadavi untuk menghentikan motornya. Di antara pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun lebat menghujam. Ia turun dan menungguku.
Aku menghapus jejak-jejak air mata yang mungkin terlihat lalu turun dari motor Kadavi. "Ini di mana?" tanyaku penasaran seraya menyapu pandangan ke sekitar. Yang hanya melihat pohon dan rimbunan semak belukar.
"Ikut aja," balasnya tak terus terang. Ia berbalik dan berjalan lebih dulu di jalanan berbatu.
Aku ragu mengikuti langkahnya di belakang.
Butuh lima menit berjalan sampai mataku terpukau oleh sebuah pemandangan menakjubkan yang terhampar di depan. Mulutku sedikit terbuka sambil menggumamkan sesuatu; ini surga.
Di sana, ada sebuah danau jernih--cukup besar--dengan beberapa ekor angsa yang tengah berenang santai. Di sekeliling danau itu tampak pohon-pohon--seakan--berdesakan ingin melihat keindahannya. Aku berjalan maju beberapa langkah. Dan seketika terperangah takjub melihat pantulan serangkaian awan di atas air danau. Cuaca memang sedang cerah, terlebih ini masih pagi hari--yang menambah kesan keindahan semakin terasa.
Memang, indah sekali.
Aku menoleh pada Kadavi dan tersenyum tulus. Tiga detik kemudian, berjalan menghampirinya.
"Makasih ya, udah ajak aku ke sini," ucapku sangat berterima kasih. Setidaknya, berkat Kadavi aku dapat melupakan masalahku sejenak.
Kadavi mengangguk lalu duduk di atas rumput hijau. Aku mengikutinya. Kemudian sama-sama memandang keindahan danau tanpa suara. Senyap.
"Saat lagi marah atau sedih gue selalu datang ke tempat ini. Entah kapan pun waktunya. Karena cuma tempat ini yang bisa melepas emosi dan lelah gue. Ngeliat semua hal-hal yang indah di sini bener-bener buat gue jadi tenang kembali." Di keheningan yang bersua tiba-tiba Kadavi berbicara.
Aku menoleh padanya.
Dan ternyata Kadavi belum selesai, "Gue ngajak lo ke sini agar semua masalah yang lo punya bisa lo lupakan sebentar." Kadavi menoleh, membalas tatapanku. "Di sini lo bebas marah-marah atau memaki siapa pun. Nggak bakal ada yang ngelarang--termasuk gue. Dan kalo kehadiran gue buat lo nggak nyaman gue akan pergi sebentar."
Mendengar itu perasaanku menjadi rapuh. Mulainya isakan kecil lalu membesar dan banjir air mata.
Aku terisak.
Kadavi hendak beranjak pergi sebelum tanganku memegang lengannya.
"Jangan pergi, aku takut."
Kadavi kembali duduk. Tanpa mengatakan apa pun.
Aku senantiasa membuang air mata. Mengeluarkan seluruh rasa sakit yang tercekal di dada. Benar kata Kadavi, di sini aku bisa menangis sepuasnya--atau lebih tepatnya tak ada yang melihatku dalam keadaan begini, tentu saja kecuali cowok itu. Dan aku mulai biasa dengan kehadiran Kadavi karena cowok itu juga sudah sering melihatku dalam kondisi menangis.
Tangisku mereda setelah bermenit-menit kemudian. Meski belum sepenuhnya lega, aku sudah merasa lebih tenang sekarang. Semuanya berkat Kadavi. Berkat kehadiran cowok itu.
Aku menampilkan senyum kecil, menatapnya. "Aku udah lebih baik sekarang."
Kadavi mengangguk. Tak lama kemudian, ia merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau. Memandang hamparan langit biru yang dihiasi awan putih.
Lagi, aku mengikutinya. Berbaring di sebelahnya.
"Waktu aku kelas tiga SD Ibu pergi ninggalin aku dan Ayah, entah ke mana. Aku masih inget banget dulu setiap hari aku nangis dan tanya Ayah kenapa Ibu nggak balik-balik. Sampai bertahun-tahun kemudian, aku mulai biasa hidup tanpa seorang Ibu." Entah kenapa aku bercerita tentang rahasia hidupku pada Kadavi. Dan mulutku begitu lancar mengeluarkan segalanya. Aku harus sangat berterima kasih kepada Tuhan karena telah menciptakan hamparan awan yang begitu mendamaikan.
"Nggak pernah terpikir sama aku kalo Ibu bakal balik lagi ke sini--ke hidupku. Terlebih, dia datang membawa masalah buatku dan Sesa." Aku sedikit mengembuskan napas. "Sekarang Sesa bener-bener benci sama aku. Kadang aku mikir; apa seandainya kalo aku jujur sama Sesa dia nggak bakal marah? Atau seandainya Ayah nggak dirawat di rumah sakit yang sama dengan Kakaknya Sesa apa semuanya bakal tetep jadi rahasia?"
Bibirku mengulum senyum.
"Tapi mungkin emang harus begini jalannya. Aku tau Tuhan itu baik dan Dia pasti bakal kasih yang terindah buatku nantinya. Meski belum rela sepenuhnya aku berusaha buat menerima apa yang udah terjadi."
Kututup kalimat itu seraya melihat Kadavi dengan senyum setulus hati.
"Aku bener-bener makasih sama kamu untuk semua hal baik yang kamu lakuin buat aku."
Kadavi diam. Tidak menanggapi apa pun. Tapi aku tahu ia setia mendengarkan.
Sekarang saatnya memastikan sesuatu.
"Tapi, kenapa kamu mau ngelakuin semua hal itu Dav?" Bukankah setiap perempuan memang harus mendapatkan kepastian? Iya, kan?
Cukup lama Kadavi terdiam. Lalu tanpa menatapku, ia mulai bersuara.
"Dari gue kecil gue nggak pandai mengekspresikan diri. Entah gue seneng, sedih atau marah orang-orang sekitar gue bilang kalo raut wajah gue selalu sama, nggak pernah berubah. Gue setuju dengan itu karena menurut gue sendiri perasaan-perasaan semacem itu cuma bertahan sementara, nggak selamanya. Gue pernah merasa seneng dan sedih tapi nggak berapa lama kemudian gue mikir; kenapa gue merasa kayak gitu? Apa alasannya?"
Kadavi melirikku sekilas. "Sampe lo masuk ke hidup gue, mulai mengacaukan isi hati gue, dari situ pelan-pelan gue tau alasannya. Tapi sebelum lo beranjak terlalu jauh dalam hidup gue, gue sempat ngebatin; dia pasti bakal nyerah juga. Karena selama ini setiap cewek yang ngedeketin gue nggak pernah bertahan lama. Mereka bakal semangat di awal sebelum nyerah dan ngejelek-jelekin gue di belakang."
"Ternyata lo beda. Lo terus berjuang deketin gue walau tau bakal nyakitin diri lo sendiri. Entah lo naif atau apa, lo seolah nggak peduli sama semua sikap jelek gue. Dari situ gue mulai memperhatikan lo. Lo yang selalu bawa bekal ke sekolah, lo yang selalu pulang naik angkot atau lo yang ternyata suka poto langit dan kucing."
"Awalnya gue bingung kenapa gue ngerasa gini? Apa alasannya? Dan akhirnya gue tau waktu ngeliat lo nangis di toko buku. Ada suatu perasaan yang nggak pernah gue rasakan sebelumnya--rasa khawatir, cemas, nggak terima. Tapi cepet-cepet gue tepis semuanya. Nganggap kalo itu cuma perasaan sekilas aja."
"Tapi, di kedua kalinya gue liat lo nangis. Gue tau gue nggak bisa buat ngelak lagi kalo ternyata gue sayang sama lo." Kadavi memandangku lekat, mata hitamnya berembus hangat. "Setelah lamanya gue menang atas perasaan-perasaan yang berhasil gue tolak pada akhirnya gue kalah."
Untuk pertama kalinya aku mendengar Kadavi berbicara sepanjang ini. Juga pertama kalinya melihat Kadavi tersenyum seindah ini. "Selamat, lo berhasil menaklukan perasaan gue."
"M-maksudnya?" Aku mengerti tapi ingin Kadavi menjelaskan lebih.
"Apa masih kurang jelas buat lo mengerti?"
Aku mengangguk ragu pelan-pelan. Sepersekian detik lengang. Kami hanya saling diam. Mengunci tatapan satu sama lain. Di bawah langit biru dan tepi danau yang indah, aku ingin selamanya berada di detik ini. Agar seterusnya bisa melihat senyum Kadavi dari jarak paling dekat.
Tangan Kadavi terulur, menyembunyikan anakan rambutku di belakang telinga.
Senyumnya terus mengembang.
"Mulai sekarang gue akan selalu ada buat lo."
_____
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYER
Teen FictionTangan Kadavi memegang salah satu pipi Hani dengan lembut. Ditatapnya gadis itu hangat seraya tersenyum ketika mengucapkan sesuatu. "Senyum lo cantik gue suka." --- Jatuh cinta dengan Kadavi adalah rencana yang tidak pernah disangka-sangka oleh Han...