Bab 18

10 3 4
                                    

"Berarti semuanya udah selesai ya?" kata Kak Ralin. Hari ini aku memang sedang berdiskusi tentang video promosi sekolah. Semuanya mengangguk menjawab pertanyaan Kak Ralin.

Kak Hega yang tengah menonton hasil video promosi sekolah menatap Kak Ralin lalu mengangguk. "Menurut gue ini udah bagus, paling tinggal di edit beberapa bagian aja."

Setelah membahas beberapa hal yang diperlukan akhirnya pertemuan ditutup oleh Kak Hega.

Dengan tas tersampir di bahu aku pamit keluar terlebih dahulu pada yang lain. Kakiku melangkah sendiri di sepanjang koridor sekolah. Tidak ada Sesa karena hari ini gadis itu tidak masuk sekolah. Ia jatuh sakit.

Di pertengahan jalan, aku melihat Pak Gavin dari arah berlawanan. Seperti biasa ia sedang membawa tumpukan buku di kedua tangannya. Langkahku menjadi pelan. Mau menyapa tapi enggan, namun tidak menyapa takut dicap tidak sopan. Beberapa detik pikiranku bergelut antara mau menyapa atau tidak.

Sejujurnya, entah mulai kapan aku mulai merasa risi––atau tepatnya tidak nyaman terhadap Pak Gavin. Aku juga bingung kenapa merasa begitu kepada guruku sendiri.

Saat aku ragu, dari belakang ada seseorang yang menyapaku.

"Loh Han? Lo kenapa diem aja?" Aku mengembuskan napas lega karena itu adalah Ananta.

Aku menoleh padanya. "Nggak pa-pa, tadi gue sempat mikirin sesuatu." jawabku tidak terus terang namun jujur.

Ananta tersenyum jail.

"Mikirin Kadavi ya?"

"Bukan, ada beberapa hal aja yang lagi gue pikirin." Aku memandang Ananta sebentar. "Emangnya pikiran gue cuma ada Kadavi? Ya, enggak, kan?"

Aku dan Ananta berjalan bersama.

"Kirain, kan."

Kami berpapasan dengan Pak Gavin. Saling menyapa dan melempar senyum satu sama lain. Pak Gavin menolak ketika Ananta hendak membawakan buku yang sedang dibawanya. Beberapa detik kemudian, kami sama-sama berlalu.

Aku tidak tahu ini sekadar perasaanku saja atau bukan, tapi saat tadi Ananta menawari bantuan kepada Pak Gavin, guru muda itu menjawabnya sedikit ketus. Raut wajahnya juga terlihat tidak senang. Dan tatapannya terarah tajam padaku beberapa detik.

Aku merinding, tapi tidak mengatakan apa pun kepada Ananta. Sepertinya, cowok itu juga tidak menyadari apa-apa.

"Lo pulang naik apa Han?" tanya Ananta sewaktu kami ingin tiba di area parkiran.

"Angkot."

"Bareng gue aja."

Aku menggeleng. "Nggak usah, nggak enak gue."

"Yaelah, udah kayak sama siapa aja lo. Lagian rumah kita searah ini."

Aku menimang ajakan Ananta sebentar sebelum menghela napas pendek. "Ya udah, gue bareng. Sori ya ngerepotin."

Saat aku dan Ananta tiba di parkiran cowok itu membuka topik lain. "Han, lo ngerasa nggak sih Pak Gavin kayak lagi marah gitu?" Ternyata Ananta menyadarinya.

Aku mengangkat bahu, enggan berkata jujur. "Enggak, mungkin lagi pusing karena banyak pikiran."

"Apa gue buat salah ya sama Pak Gavin?" lanjut cowok itu beropini. Sedetik kemudian mengangkat bahu. "Taulah, gue juga pusing."

Ananta mengeluarkan motor dan menyalakannya bertepatan dengan panggilan masuk di ponselku. Aku mengernyit karena mendapati nomor tidak dikenal yang terpampang di sana.

Meski ragu aku tetap mengangkat panggilan itu. "Halo," ucapku awalnya.

"Dengan saudari Haniara?" sambung seseorang di seberang sana.

"Ya, saya sendiri." Tiba-tiba saja perasaanku jadi tidak mengenakan. Pikiranku pun menjadi resah tak keruan.

Seseorang di seberang sana kembali melanjutkan perkataannya. Aku mendengarkan dengan seksama sampai pada sebuah kalimat yang seolah menghantam dadaku begitu keras. Semuanya terasa hening seketika. Aku tidak melihat apa pun selain linangan air mata yang mulai berkeliaran di mataku.

Sampai ketika aku membalas ucapan orang itu,

"A-apa? Ayah saya kecelakaan?"

–––––

Tbc.

PLAYERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang