Bab 17

12 4 2
                                    

Mulanya, Sesa enggan menceritakan masalahnya padaku. Akan tetapi, setelah membiarkan tangisnya luruh sebentar, ia memutuskan menuangkan beban dipundaknya kepadaku.

Sesa menyeka air mata di ujung pelupuk, "Mungkin lo udah tau gue punya Kakak perempuan, Tira namanya. Dia udah menikah––malah udah punya anak," Sesa cukup lama terdiam usai mengatakan itu. Pandangannya kosong ke bawah seolah sangat berat menceritakannya padaku.

Aku memegang lengannya lembut. "Nggak usah cerita Sa kalo emang menyakitkan lo."

Sesa menggeleng kecil lalu melanjutkan kembali. "Dulu, sebelum menikah Kakak gue sering banget ceritain tentang calon suaminya. Yang baiklah, yang perhatianlah dan segala macem lainnya. Dari sorot matanya aja bisa disimpulin kalo Kakak gue bahagia sama pilihannya. Abis menikah Kakak gue tinggal dengan suaminya, di luar kota."

"Semenjak menikah Kak Tira jarang banget main ke rumah ditambah sekarang dia udah punya anak. Tapi,.." Aku mengusap lengan Sesa kembali tatkala melihat bendungan air mata di wajah gadis itu. Bibirnya pun kelu sekadar berbicara. "Tapi, kemarin gue nerima telepon dari rumah sakit bahwa Kak Tira melakukan percobaan bunuh diri." Air matanya turun satu per satu. Dadanya kembang-kempis sesak. Aku membisikkan kalimat-kalimat untuk menguatkannya.

"Gue kaget, bener-bener nggak percaya sama apa yang gue denger. Mana mungkin Kak Tira berani melakukan itu––lebih tepatnya apa alesannya buat melakukan itu? Dia punya suami yang baik, anak yang penurut dan gue rasa hidupnya nggak kekurangan apa pun––sempurna. Setelah gue tiba di rumah sakit, Kak Tira nggak menceritakan apa pun dia cuma diam, pandangannya kosong, kadang-kadang malah nangis sendiri. Gue sama orang tua gue bingung sebenernya apa yang terjadi sama Kak Tira?"

"Dua minggu setelah dirawat akhirnya Kak Tira cerita." Sesa memandangku pun sebaliknya. Ketika menatap lekat mata Sesa aku melihat ada sosok yang rapuh di sana sedang tertutup oleh air mata. "Suaminya selingkuh, sejak anaknya masih bayi. G-gue.. nggak habis pikir dengernya. Bukannya selama ini suaminya baik? Perhatian segala macem? Tapi ... kenapa dia lakuin itu? Apa salah Kakak gue?"

Sesa menahan napasnya, seakan siap memberitahukan hal yang lebih menyakitkan dari itu. "Terus, sebulan semenjak diperbolehkan pulang, hari ini––tadi gue dapat kabar dari orang tua gue kalo Kak Tira... Kak Tira mutusin buat bunuh diri lagi ..."

Tangisnya pecah kembali.

Buru-buru aku menarik Sesa ke dalam pelukan. Meredam tangisnya dengan kehangatan. Sungguh, bagi aku yang sekadar menjadi pendengar saja sangat menyakitkan bagaimana dengan Sesa yang harus melihat keadaannya secara langsung? Terlebih itu adalah Kakaknya sendiri.

"Nggak pa-pa Sa, ada gue di sini. Lo bisa nangis sepuasnya." bisikku pelan semakin menguatkan isaknya.

Sekuat apa pun seseorang jika yang menyakitinya adalah orang terdekatnya sendiri itu sama saja dengan memberinya trauma. Aku tahu karena aku mengalaminya sendiri. 

Waktu semakin larut dan tangis Sesa belum juga reda. Sampai Ayah pulang usai adzan maghrib berkumandang dan menanyakan ada apa melalui tatapan mata aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Ayah mengangguk dan berlalu masuk ke dalam kamar. Rupanya Ayah mengerti dan tidak mengganggu kami.

Satu jam berlalu, Sesa tertidur usai lelah mengeluarkan air mata. Aku mengambilkan selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. Tadi aku sempat meminta izin pada Ayah untuk Sesa menginap malam ini dan Ayah menyetujuinya.

Aku menghela napas panjang.

Semoga esok hari Sesa sudah baik-baik saja.

–––––

Tbc.

PLAYERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang