Semakin aku memikirkannya, hatiku semakin terluka dibuatnya.
Sampai detik ini, aku tidak tahu siapa gadis itu, juga hubungannya dengan Kadavi. Mungkinkah temannya? Saudaranya? Atau ... seseorang yang spesial?
Aku menutup mata lantas menghembuskan napas kasar.
Ini sudah larut malam dan aku tidak bisa tidur karena memikirkan banyak kemungkinan yang ada.
Satu di antaranya seakan membuat hatiku tercabik-cabik.
Mungkin saja Kadavi menyukai gadis itu.
_____
Suara Guru yang tengah menjelaskan materi di depan sana terdengar samar-samar di telingaku.
Kepalaku tenggelam di antara lipatan tangan di atas meja. Aku menghela napas panjang. Sekeras apa pun aku mencoba melupakan, pikiranku malah semakin kuat untuk mengingatnya.
Tentang Kadavi dan gadis itu.
"Lo nggak istirahat Han?" pertanyaan Sesa itu kudengar samar.
"Udah istirahat emangnya?"
Sesa terdengar menghela napas.
"Dari tadi Han, malah udah sepuluh menit."
Bahkan suara bel istirahat pun aku tidak mendengarnya. Aku menegakkan tubuh, menatap Sesa.
"Ya udah, mau ke kantin?"
Sesa mengangguk.
Kami berjalan menuju kantin dengan aku yang membawa lunch bag seperti biasa.
"Nanti pulang sekolah jadi beli bahan-bahan buat praktek besok Han?"
"Jadi Sa, tapi lo tau, kan beli bahannya di mana aja?"
Sesa mengangguk.
"Tau."
Kami sudah tiba di kantin.
Aku menoleh ke kanan-kiri guna mencari tempat duduk. Hari ini kantin terasa begitu ramai. Lalu secara tidak sengaja, dari kejauhan tempat aku berdiri, mataku menangkap tiga figur yang berada di satu meja yang sama.
Kadavi, Ananta dan juga ... gadis itu.
Dadaku terasa nyeri kembali. Tersengat oleh sesuatu yang tampak tak kasat mata. Begitu menusuk, sangat sakit.
"Belum dapet tempat duduk juga Han?" Sesa datang setelah membeli siomay kesukaannya.
Aku menggeleng lemah lalu memandang Sesa.
"Gue," ekor mataku sempat melirik ke arah meja mereka sebentar. Kulihat Kadavi yang tengah tertawa di sana. "Udah kenyang, Sa."
Kemudian segera aku membawa kakiku pergi dan meninggalkan Sesa yang berteriak memanggil namaku berkali-kali.
_____
"Tadi lo kenapa sih Han?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Sesa.
"Han?"
Aku berdeham seadanya. Sibuk dengan isi pikiranku sendiri. Tenggelam oleh berbagai perasaan buruk yang semakin bersarang lebat.
"Haniara!" panggil Sesa serius.
Aku menoleh ke Sesa.
"Kenapa sih, Sa?"
"'Kenapa?' Lo yang kenapa! Dari awal masuk kelas lo melamun terus. Guru ngejelasin lo tidur, gue panggil nggak pernah denger. Sebenarnya lo kenapa sih, Han? Kalo ada masalah itu cerita sama gue! Jangan lo pendam sendiri!"
"Gue nggak apa-apa."
"Bullshit, Han! Lo itu––"
"Udah sore Sa, sekarang aja yuk kita beli bahan buat praktek besok." selaku langsung. Tidak mau membuat Sesa semakin mencecarku seperti ini.
"Tapi lo––"
"Gue nggak apa-apa, Sa."
"Jangan––"
"Beneran! Liat gue, gue nggak apa-apa, kan?" aku berusaha menarik sudut bibir agar terlihat baik-baik saja.
Sesa tentu saja tidak percaya. Kedua alisnya saling menukik tajam satu sama lain. Raut wajahnya seakan mengetahui bahwa aku berbohong kepadanya.
Tapi kemudian Sesa menghela napas dan berbalik pergi.
"Ya udah ayo cepet entar tokonya keburu tutup."
Kali ini senyum terbit di wajahku tanpa paksaan. Sesa selalu saja mengerti kondisiku.
Aku dan Sesa berjalan menuju parkiran dengan keheningan panjang. Tidak ada yang berbicara. Tak seperti biasanya.
Kami tiba di parkiran.
Sesa hendak mengeluarkan motornya ketika aku melihat dua orang yang baru saja tiba di sini. Dua orang itu berjalan ke sebuah motor yang sudah kuhapal di luar kepala. Aku melihat gadis itu memukul pundak lelaki di depannya seraya tertawa kecil.
Sungguh menggemaskan.
Aku mengangkat ponsel di telinga.
"Halo Yah, ada apa? Hani masih di sekolah sekarang." aku berbicara pada ponsel yang mati. Tidak ada panggilan di sana. "Apa?! Iya-iya, Hani pulang sekarang."
Dengan penuh sandiwara aku berkata pada Sesa, "Sa, maaf banget gue nggak bisa temenin lo beli bahannya. Ayah gue barusan telepon katanya ada masalah di rumah." aku memberi Sesa uang lembaran berwarna biru. "Gue kasih duitnya ya. Maaf banget gue nggak bisa temenin."
"Loh Hani––"
Aku segera berlari dari parkiran. Bersamaan dengan motor yang ditumpangi oleh Kadavi dan gadis itu melintas di depanku.
Ada suara patah dalam hatiku.
Seharusnya sejak awal aku tahu jika Kadavi tidak pernah menganggapku ada.
_____
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYER
Teen FictionTangan Kadavi memegang salah satu pipi Hani dengan lembut. Ditatapnya gadis itu hangat seraya tersenyum ketika mengucapkan sesuatu. "Senyum lo cantik gue suka." --- Jatuh cinta dengan Kadavi adalah rencana yang tidak pernah disangka-sangka oleh Han...