Bab 22

11 4 0
                                    

"Hani? Kamu ngelamun?" tegur Ayah sambil menjentikkan jarinya di depan wajahku. Mataku mengerjap lalu memandang Ayah. Ah, tak sadar aku tengah melamun barusan.

"Enggak Yah, ada apa?"

"Pulang sana, udah sore ini nanti kemaleman kamu sampenya."

"Hani beneran nggak boleh nginep Yah?" bujukku bersikeras.

Ayah menggeleng. "Enggak, enggak. Tetep nggak boleh."

"Tapi besok, kan, Hani libur," Melihat raut Ayah yang berubah sedikit dingin buru-buru aku meralat ucapanku. "Ya udah, Hani pulang dulu." Aku menyalimi tangan Ayah lalu menyeret kakiku keluar dari ruangan dengan enggan.

Aku sudah memesan ojek online lima menit yang lalu dan sekarang sedang menunggu di depan rumah sakit. Ekor mataku melirik beberapa orang yang berlalu lalang masuk dan keluar. Cahaya jingga di atas sana perlahan memudar digantikan biru yang temaram. Senja telah pergi, malam telah datang.

Aku mengangguk pada pengendara motor yang mendekat. Ojek online pesananku sudah tiba. Semenit kemudian, aku telah masuk ke dalam arus hiruk pikuknya kemacetan jalan. Suara klakson dan asap knalpot mengepul di udara bersama, menciptakan harmoni bising.

Aku menghela napas sejenak.

Pikiranku ditarik kembali di beberapa jam yang lalu, saat di sekolah.

"Sa, dengerin gue dulu," pintaku saat Sesa memasuki kelas sebelum pelajaran pertama di mulai. Ia tak acuh dan melengos melewatiku begitu saja. Kakiku bergegas mengikuti langkahnya––yang ternyata bukan berjalan ke bangku kami. Sesa berhenti di depan meja teman kelasku yang lain, Adisti.

"Dis, tukeran tempat duduk yuk!" Itu kata Sesa yang kontan membuat bola mataku sedikit membesar.

"Loh, emang lo kenapa Sa?" balas Adisti dengan kernyitan di dahi.

"Mata gue minus ternyata, agak burem kalo ngeliat dari jauh. Mau ya?" Sesa benar-benar mengacuhkanku. Dan aku yakin seribu persen jika ucapannya itu hanyalah alasannya untuk menjauhiku.

"Ya udah, deh." Adisti setuju. Gadis itu mengambil tasnya kemudian berdiri. Detik selanjutnya ia memandang heran kepada kami. "Kalian lagi nggak bertengkar, kan?" tanyanya.

"Eng––"

"Enggaklah!" sela Sesa, tertawa kecil. "Mata gue emang minus. Lagian, ngapain juga gue marahan sama Hani? Kayak anak kecil aja." Mendengar itu hatiku terasa tertusuk. Memang, tidak ada kata sindiran atau sebagainya namun perkataan Sesa itu ditujukkan untukku seorang.

"Sesa––"

Ucapanku terpotong oleh bel masuk. Semua teman sekelasku bergegas kembali pada tempat duduknya masing-masing. Melihat itu aku mengembuskan napas panjang sebelum duduk di bangkuku, bersama Adisti.

"Mbak? Udah sampe Mbak," ujar pengendara ojek sedikit keras.

"Ah, iya." Aku turun dari motor dan mengucapkan terima kasih. Langit sudah sepenuhnya menjelma gelap. Tak ada bintang malam ini hanya rembulan yang membagikan cahayanya untuk bumi.

Ketika aku menutup pintu dan hendak masuk ke kamar ponselku berbunyi. Ayah menelpon.

"Iya Yah kenapa? Ada yang ketinggalan?" tanyaku selepas menjawab salam Ayah.

"Tadi Ayah lupa bilang kalo udah pesenin kamu makanan. Kamu belum makan, kan?"

Aku menggeleng walau Ayah tak melihatnya. "Belum Yah."

"Mungkin––"

"Sebentar," teriakku saat mendengar suara pintu diketuk beberapa kali dari luar. "Maaf Yah barusan ada yang ketuk pintu, mungkin itu pesanan Ayah. Hani ke depan dulu ya," ucapku tanpa mematikan sambungan telepon.

Aku terkejut ketika mendapati sebuah plastik yang disodorkan kepadaku tepat membuka pintu. Di belakangnya, berdiri seseorang yang memakai pakaian serba hitam. Mulai dari jaket, celana, helm bahkan sepatunya. Aku mengernyit curiga, memang ada ya kurir makanan seperti ini?

"Pesanan atas nama Hani?" tanyaku memastikan dengan menyebut namaku.

Dibalik helm tebalnya itu orang tersebut mengangguk dua kali. Aku sedikit ragu namun tanganku menerima plastik itu. Mataku menatap orang itu yang sedang berjalan menjauh lalu plastik yang tengah kupegang.

"Kenapa Han?" tanya Ayah di seberang sana.

"Oh nggak Yah––"

"Permisi," ucapanku tersela oleh seseorang yang memasuki pekarangan rumahku. Ia memakai jaket hijau dan membawa sebuah plastik mendekatiku. "Dengan Kak Hani? Ini ada pesanan atas nama Kak Hani," beritahu orang itu.

Mulutku sedikit terbuka.

"I-iya, saya."

Tanganku yang juga sudah memegang kantung plastik kini menerima plastik itu dengan penuh kebingungan.

"Sudah dibayar ya Kak, saya permisi." Orang itu berlalu begitu saja. Meninggalkan tanya yang membesar dalam kepalaku. Apa-apaan ini? Kenapa aku malah jadi mendapat dua pesanan begini?

Apa yang terjadi?

"Hani? Ada apa? Kok kamu kedengeran kayak bingung gitu."

Aku juga bingung. Kujawab saja pertanyaan Ayah itu dengan alasan lain. Namun, ada satu hal yang dapat kukenali, wangi parfum dari orang yang pertama itu.

Tapi tidak mungkin, kan, kalau orang yang pertama itu adalah Kadavi?

_____

Tbc.

PLAYERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang