Bab 5

31 5 9
                                    

Seminggu berlalu.

Kadavi sudah mulai masuk sekolah dari dua hari yang lalu. Namun aku merasa ada sedikit perubahan dari Kadavi. Sepertinya bukan aku saja, Ananta juga merasakan hal yang serupa.

Dan itu terbukti ketika kami sedang makan bersama di kantin sewaktu istirahat.

Dengan kerutan di dahi, Ananta membuka pembicaraan.

"Hape lo ke mana, Dav?"

Nah, itu yang hilang dari Kadavi. Sejak kemarin aku tak melihat Kadavi dengan ponselnya itu. Hal yang sangat mustahil. Bukan apa, pasalnya Kadavi dan ponsel sudah seperti manusia dengan oksigen. Begitu rumit dipisahkan.

Aku dan Ananta sama-sama menantikan jawaban apa yang akan keluar dari mulut Kadavi.

Apakah ponselnya rusak? Atau disita oleh orang tuanya?

"Hape gue disita sama Mama gue." ternyata dugaan keduaku tepat sasaran.

"Mampus." tentu saja Ananta merasa senang akan itu. Sebabnya, setiap kali mereka bersama, Ananta merasa dirinya diduakan oleh sebuah ponsel––ini menurut Ananta sendiri. "Lagian, lo juga sih main hape nggak kenal waktu. Di rumah hape, di sekolah hape, hape terus. Bisa-bisa nanti lo mati malah minta wasiat buat dikubur bareng hape."

Aku terkekeh mendengar kalimat terakhir Ananta.

"Berarti sekarang lo udah nggak maen mobile legends lagi dong, Dav?" Ananta bertanya setelah menelan makanannya sekali.

"Hm."

"Terus lo ngapain sekarang?"

"Nggak ngapa-ngapain."

"Jadi beban keluarga?"

"Itu lo."

Ananta mendengus. "Sialan lo."

Lagi, aku terkekeh karena melihat interaksi antara mereka. Ananta dan Kadavi itu memiliki sifat yang berkebalikan. Ananta yang suka bicara sana-sini sementara Kadavi selalu menanggapi seadanya.

Anehnya mereka bisa berteman.

Lima menit berlalu, kami segera beranjak untuk pergi ke kelas masing-masing setelah pengumuman bahwa waktu istirahat telah habis.

Untuk pelajaran selanjutnya di kelasku adalah matematika wajib yang di mana Pak Gavin si Guru muda itu yang akan mengajarnya.

Tentu, siang-siang begini diajar oleh Guru tampan membuat semangat teman cewek sekelasku semakin meletup-letup. Candaan dan gombalan sudah sejak awal  dilemparkan oleh beberapa temanku dari Guru muda itu melangkah masuk.

Gila, memang.

Aku ikut tertawa mendengar ocehan-ocehan teman sekelasku. Tapi, kenapa aku merasa risih, ya? Seolah-olah ada yang memperhatikanku diam-diam. Atau hanya firasatku saja?

Aku merinding tatkala tak sengaja bersitatapan dengan Pak Gavin. Aku tak tahu kenapa aku merasa seperti itu. Rasanya seperti ... entahlah, sulit untuk menjabarkannya. Menghindar dari tatapannya, aku memilih menunduk dan berpura-pura sibuk mengerjakan sesuatu.

Sesa pernah berkata jika insting perempuan tidak pernah salah.

_____

Pulang sekolah tiba, aku mulai melupakan perasaan tadi. Mungkin itu hanya firasatku saja. Tidak mungkin Pak Gavin seperti itu. Lagipula semua orang tahu jika beliau begitu ramah pada siapa pun. Dan mungkin saja mengenai kejadian tadi Pak Gavin tak sengaja bertatapan oleh mataku.

Lupakan masalah itu, lanjut ke masa kini. Sekarang aku masih berada di kelas bersama Sesa. Menunggu gadis itu menyalin catatan kimiaku, karena sewaktu pelajaran itu Sesa memilih tidur daripada mendengarkan Bu Tria menjelaskan materinya.

"Akhirnya selesai." katanya seraya menutup buku juga meregangkan kedua tangan. "Makasih ya, Han."

Aku mengangguk.

"Iya, Sa."

Aku dan Sesa kompak keluar kelas setelahnya. Selama berjalan, Sesa yang lebih dominan bercerita, entah apa pun itu. Aku hanya menyimak dan menanggapi sesekali.

Namun, ketika hendak melewati lapangan sekolah langkahku tepat berhenti.

Kali ini aku benar-benar yakin bahwa mataku tidak mungkin salah melihat. Di sana, ada Kadavi yang sedang bermain basket dengan seorang gadis. Untuk pertama kalinya aku melihat raut wajah cowok itu yang begitu serius selain bermain game-nya.

"Han, kenapa berhenti?"

Aku tidak membalas pertanyaan Sesa.

Tatapanku menjurus memandang dua orang yang tengah bermain bersama. Hanya ada mereka di sana. Tak lama kemudian, Kadavi berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring.

Dia tertawa.

Benar-benar tertawa.

Kemudian menghampiri lawan mainnya itu dan mengacak-acak rambut gadis itu dengan gemas.

"Nggak apa-apa, Sa."

Dadaku terasa nyeri.

Melihatnya tertawa bukan denganmu ternyata sesakit ini, ya?

_____

Tbc.

PLAYERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang