Bab 8

23 5 5
                                    

Ini mimpi.

Pasti mimpi.

Namun ketika mataku memandang sebuah jaket yang di gantung pada pintu lemari, aku sadar bahwa kejadian sewaktu hujan tadi adalah kenyataan.

Harum jaket itu masih melekat di ujung hidungku.

Bibirku berkedut menahan senyum. Rasanya pegal menguasai pipiku karena terlalu banyak tersenyum. Di dalam sana, sesuatu terasa menggelitik perutku. Seakan-akan ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan dengan indah.

"Rumah lo di mana? Ayo gue antar pulang."

Suara Kadavi kembali terngiang di benakku. Buru-buru aku menyembunyikan wajah dibalik bantal juga senyum yang terus-menerus merekah lebar.

Waktu semakin malam dan aku semakin gila hanya karena Kadavi.

_____

Langkahku terasa ringan sekali waktu berjalan.

"Lo kenapa sih Han?" Sesa bertanya dengan kening yang berkerut. "Kemarin keliatan kayak hidup lo berat banget banyak beban sekarang malah jadi kayak orang paling bahagia di dunia." katanya sangat hiperbola. "Aneh banget lo."

Aku tertawa mendengar Sesa.

"Gue nggak apa-apa kali, Sa. Kemaren emang lagi ada masalah tapi sekarang udah selesai kok."

Sesa berdeham malas mendengarnya. Sekarang ini sedang waktunya istirahat. Aku dan Sesa hendak pergi ke kantin guna mengisi perut yang lapar sebelum kembali belajar. Selain membawa lunch bag, hari ini aku juga membawa jaket yang kemarin Kadavi pinjamkan padaku di sebuah paper bag. Hendaknya aku mengembalikan jaket itu ke pemiliknya.

Tiba di kantin, seperti biasa aku melihat tiga orang yang tengah duduk di meja yang sama. Tidak perlu lagi aku sebutkan siapa karena kalian pasti sudah tahu sendiri.

Aku meneguk ludah.

Kali ini aku tidak berniat untuk mundur. Semalam aku sudah memutuskan untuk menghadapi semuanya walau berakhir menyakiti diri sendiri.

Aku berjalan menuju meja mereka tanpa keraguan sedikit pun.

Ananta yang pertama kali menyadari keberadaanku, karena memang posisi dia yang sedang menghadap ke arahku sementara Kadavi dan gadis itu berada di depan Ananta, membelakangiku. Aku tersenyum ketika mata kami bersitatap sebelum duduk di sampingnya.

Kadavi tidak terkejut sama sekali sedangkan gadis itu tampak terkejut selama sepersekian detik.

"Lo kemaren ke mana Han? Tumben banget nggak ke kantin." heran Ananta. "Kangen tau gue." lanjutnya.

Aku terkekeh mendengarnya. Bisa kutebak jika cowok itu sengaja berbicara demikian untuk menggoda Kadavi––entah apa tujuannya.

"Apa sih, Ta. Lebay banget lo." balasku meredakan tawa.

"Tapi serius gue nanya. Kemaren lo ke mana?"

Aku menipiskan bibir. Melirik sebentar ke arah Kadavi yang tengah menikmati semangkuk mi ayam.

"Nggak ke mana-mana. Pas aja kemaren gue ada urusan, jadi ya gitu, nggak sempat ke kantin."

Tak lama kemudian Sesa datang setelah membeli siomay lalu langsung duduk di sebelahku. For you information, temanku ini sangat menyukai jajanan khas kota Bandung itu.

"Oh, jadi ini?" suara itu baru pertama kali kudengar. Kepalaku terangkat dan mendapati bahwa gadis di sebelah Kadavi yang berbicara. "Yang katanya suka sama Kadavi?" tanyanya seraya menatapku lekat.

Eh?

Kenapa aku merasa seperti sedang dilabrak, ya?

Saat sedang bertatapan itu aku sempat-sempatnya memperhatikan struktur wajah gadis itu. Namun, harus kuakui bahwa gadis itu memanglah cantik.

Kulitnya tidak seputih kulitku, karena memang dia lebih terkesan ke hitam manis. Rambutnya yang panjang bergelombang sedang digerai olehnya. Bibirnya tipis berwarna pink cerah serta memiliki bola mata yang jernih dengan bulu mata yang lentik. Di tambah dengan tahi lalat kecil di pipi kirinya, gadis itu malah semakin terlihat manis.

Begitu serasi jika disandingkan dengan Kadavi.

Tiba-tiba gadis itu tersenyum kepadaku lalu mengulurkan tangannya.

"Kenalin, gue Khansa pacarnya Kadavi."

_____

Tbc.

PLAYERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang