Aku masih ingat betul bagaimana pada malam itu Ibu memutuskan untuk meninggalkanku dengan Ayah, berdua.
Malam ditemani gerimis, Ibu menyeret kopernya keluar rumah tanpa peduli pada rengekanku sama sekali.
Waktu itu aku masih duduk di kelas tiga SD, namun sudah mengerti apa yang terjadi. Ibu dan Ayah memilih berpisah karena tuntutan Ibu yang setiap hari terus bertambah sementara penghasilan Ayah tidak cukup bagi Ibu seorang.
Tentu, aku tidak menerima keputusan itu, awalnya.
Karena sejak kepergian Ibu, sudah tidak ada lagi yang membuatkanku bekal, menyambutku tatkala pulang sekolah dan mendengarkan ceritaku usai bermain.
Tak ada.
Aku seolah hidup di dunia seorang diri.
Hari-hari aku jalani dengan menangis. Kenapa Ibu pergi? Kenapa? Sering pertanyaan itu menyerang benakku. Lalu pernah suatu kali aku bertanya kepada Ayah kapan Ibu akan pulang ke rumah? Tapi Ayah tak pernah menjawabnya. Ayah hanya akan mengelus lembut kepalaku seraya tersenyum pedih menatapku. Namun, saat itu aku belum membenci Ibu. Rasa sayangku masih begitu besar untuknya.
Beranjak kelas lima, aku mulai membenci Ibu. Dia yang tidak pernah kembali, dia yang tidak pernah melihatku lagi, dia yang tidak mendengarkan ceritaku lagi, dan dia yang membiarkan rasa benci tumbuh di hatiku begini. Karena itu aku membenci Ibu. Sederhananya, aku benci karena aku mencintainya.
Bukankah begitu?
Semakin dalam rasa cintamu maka semakin dalam pula rasa bencimu.
Lalu suatu hari, ketika aku sudah duduk di kelas delapan aku melihat Ayah menangis untuk pertama kalinya. Punggungnya yang biasa terlihat tegap itu bergetar menahan teriakan yang diredam agar tak terdengar olehku.
Ayah yang selalu tertawa dan tersenyum di depanku hanyalah palsu. Namun, aku tahu itu. Aku tahu Ayah pura-pura hebat di tengah rasa sakitnya yang begitu lebat. Selama ini aku merasa bahwa akulah yang tersakiti di sini, tapi aku salah. Karena bagaimana pun, Ayahlah yang paling terluka.
Maka dari itu, aku berharap jika Ibu jangan pernah pulang lagi.
Kalau bisa selama-lamanya.
_____
"I-ibu?"
Bagaimana bisa?
Bukannya Ibu telah pergi jauh?
Aku mematung. Masih tak percaya dengan ini. Bertahun-tahun lamanya Ibu pergi, jadi kenapa dia datang kembali? Tuhan, ada apa dengan ini?
Ibu tampak sama terkejutnya denganku. Dia kikuk sesaat.
"Kamu kenal dia?"
Aku kontan menoleh ke seseorang yang berada di samping Ibu---seorang pria dewasa.
"Ah, eng--gak, Mas. Mungkin salah orang." Itu balasan Ibu yang membuat dadaku terasa sesak entah karena alasan apa. Mataku menatap Ibu dengan sorot tidak percaya. "Ini sudah siang Mas, yuk pergi sekarang nanti kita telat." sambung Ibu sebelum berlalu pergi bersama orang itu begitu saja.
Lengang.
Aku masih mematung di tempatku berdiri. Pikiranku sibuk akan sesuatu yang pasti kamu ketahui.
Cukup lama aku berdiri sampai tanpa terasa ada air mata yang mengalir di pipi. Aku menangis, tapi kenapa? Kenapa air mataku ini keluar? Apa alasannya? Bukankah sudah dari lama perasaan benciku mati rasa kepada Ibu? Seharusnya aku biasa-biasa saja bertemu dengannya. Seharusnya.
Tapi, kenapa air mataku malah semakin deras?
Kenapa?
Ya, Tuhan aku tidak paham dengan diriku sendiri.
"Loh Hani? Lo belum pulang?"
Buru-buru aku menyeka air mata dengan kasar. Berusaha menarik sudut bibir ketika melihat Khansa menyapaku tuk kedua kalinya hari ini.
"Eh, iya. Gue lagi ... nunggu angkot, makanya agak lama." jawabku sekenanya.
Khansa menatapku tak berkedip seolah tidak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. "Oh, mau pulang bareng gue? Gue bawa motor kok."
Aku berkedip sekali. "Enggak usah, gue bisa sendiri kok," aku tersenyum kecil. "Makasih ya." Bersamaan dengan itu angkutan umum dari kanan datang bak penyelamat bagiku. Segera aku melambaikan tangan guna memberhentikannya.
Aku menoleh ke Khansa. "Gue duluan ya."
Khansa tidak menjawab selain mengangguk singkat.
Angkutan umum mulai melaju semenit kemudian. Beruntung, penumpangnya hanya ada tiga orang termasuk diriku. Jadi, tidak ada yang begitu memperhatikan ketika aku mengusap air mata di pojokkan.
Aku melamun seraya menunduk.
Sebenarnya jika boleh jujur dalam lubuk hatiku yang terdalam aku masih menyayangi Ibu.
Meski hanya sebagian kecil diriku yang mengakui itu.
_____
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYER
Teen FictionTangan Kadavi memegang salah satu pipi Hani dengan lembut. Ditatapnya gadis itu hangat seraya tersenyum ketika mengucapkan sesuatu. "Senyum lo cantik gue suka." --- Jatuh cinta dengan Kadavi adalah rencana yang tidak pernah disangka-sangka oleh Han...