Bab 20

12 4 2
                                    

"Ayah lo kecelakaan?!" tanya Sesa, terkejut.

Aku mengangguk kemudian menjelaskan kronologi kecelakaan Ayah. Ini sedang istirahat. Kami tengah berjalan menuju kantin, seperti biasa.

Sesa menghela napas pendek lalu menepuk pundakku. "Semoga Ayah lo lekas sembuh ya Han."

Aku tersenyum kecil. Mengaminkannya dalam hati.

"Oh ya, Ayah lo dirawat di mana?"

Aku menyebutkan nama rumah sakit tempat Ayah dirawat. Sesa sedikit membulatkan matanya ketika mendengar penuturanku.

"Kakak gue juga dirawat disitu!" serunya.

Kali ini aku terkejut. "Iya?!"

Sesa mengangguk. "Iya! Gimana nanti pas pulang kita bareng aja? Sekalian gue jenguk Ayah lo Han."

"Boleh," jawabku mempersilakan.

Tiba di kantin, kami duduk di meja yang sama dengan orang-orang yang sama seperti kemarin-kemarin. Kadavi, Ananta dan sekarang ditambah dengan Khansa.

"Ayah lo nggak pa-pa, kan, Han?" Ananta yang mulai percakapan.

"Nggak pa-pa, cuma kakinya harus di gips sama dirawat beberapa hari di rumah sakit," Aku menatap Ananta. "Btw, makasih ya perihal yang kemarin Nan."

Terlihat Ananta sedikit menyunggingkan senyumnya.

"Santai aja."

Kami terlibat percakapan hangat beberapa saat. Lebih tepatnya Ananta dan Khansa yang mengemudikan obrolan. Aku dan Sesa sesekali menimpali dan Kadavi sama sekali tidak bersuara. Ia menjadi pendengar setia. Tak berapa lama kemudian bel masuk berbunyi. Kami bangkit dan bergegas membubarkan diri lalu masuk ke dalam kelas masing-masing.

Perihal kemarin, sewaktu Kadavi mengantarku pulang aku sendiri bingung kenapa. Apa mungkin dari Ananta? Hanya itu satu-satunya alasan yang kupunya.

Entah aku bahagia atau tidak Kadavi mengantarku. Rasanya malah terasa ganjil. Aku pun tidak berani menanyakan alasannya kepada Kadavi langsung. Cowok itu malah tampak biasa-biasa saja usai mengantarku. Berbanding terbalik dengan pikiranku yang memikirkan segala alasannya.

"Makasih ya, Dav," kataku saat tiba di depan rumah kemarin.

Cowok itu mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.

Aku bergerak kikuk. Sangat canggung. "Mau mampir dulu?" tanyaku ragu-ragu.

Kadavi menggeleng. Ia menutup helm full-face-nya dan memandangku. "Gue pulang." Hanya itu sebelum dirinya berlalu meninggalkanku sendiri dengan tanda tanya yang bersarang sampai sekarang.

"Hani, coba kamu maju dan kerjakan soal nomor 3."

Aku mengerjapkan mata. Tersadar jika barusan aku tengah melamun. "Uhm, apa Pak?" tanyaku pelan pada Pak Gavin yang memang sedang mengajar kelasku.

Guru muda itu memandangku dari jauh. "Coba kamu kerjakan nomor 3 di papan tulis," suruhnya seraya membenarkan letak kacamatanya sejenak.

Aku mengangguk lalu maju ke depan. Juga mengembuskan napas lega ketika memahami materi apa yang berada di soal. Saat aku ingin mengambil spidol yang disodorkan oleh Pak Gavin, dengan sangat jelas guru muda itu malah menyentuh tanganku. Benar-benar menyentuh.

Aku merinding, tapi tidak mengatakan apa-apa.

Ditambah dengan Pak Gavin yang menarik sudut bibirnya kecil.

Kali ini harus kuakui jika sekarang aku benar-benar tidak nyaman dengan Pak Gavin.

_____

Waktu pulang berbunyi.

Aku dan Sesa sudah berada di perjalanan menuju rumah sakit. Setibanya di sana, Sesa buru-buru memarkirkan motornya.

"Ayah lo di lantai berapa Han?"

"Lantai tiga, kalo Kakak lo?" Aku melirik Sesa.

"Kakak gue di lantai satu."

"Sa kalo––"

Ucapanku terhenti tatkala melihat Sesa terdiam. Raut wajah gadis itu terkejut. Dengan netra matanya yang berkedut seolah tak percaya. Apa yang terjadi dengan Sesa?

"Sa lo kenapa––"

Lagi, ucapanku terpotong ketika melihat Sesa berlari penuh emosi menghampiri dua orang yang sedang berjalan menuju ke sebuah mobil.

Di belakangnya, aku mengikuti.

"Sa, ada apa––"

Plak!

Aku terkejut. Kedua orang itu terkejut. Semuanya terkejut dengan apa yang dilakukan Sesa. Barusan ... gadis itu menampar satu di antara orang itu!

Aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi.

"Puas lo? Puas udah buat Kakak gue menderita?!" kelakar Sesa. Matanya menatap tajam ke seorang pria dewasa. "Sebenernya apa sih salah Kakak gue?! Apa salahnya sama lo?! Selama ini dia selalu banggain lo ke mana-mana! Bilang lo yang perhatianlah, yang baiklah, yang ..." Sesa menggelengkan kepalanya keras. Suaranya tercekat. "Seberharga itu lo buat dia, tapi apa? Lo malah menghancurkannya!"

Wajah Sesa memerah. Terlarut dalam amarah. Aku segera mendekatinya dan berusaha membuatnya tenang. Namun, yang membuatku sangat terkejut hari ini adalah, ternyata aku pernah bertemu dengan kedua orang itu.

Satu di antaranya malah sangat amat kukenal.

Ibu.

Yang juga menatap terkejut padaku.

"Dan lo," Sesa menatap Ibu sengit. "Lo selingkuhannya? Apa lo tau kalo pria ini udah menikah? Udah punya anak?" Sesa memandang rendah Ibu. "Dasar cewek murahan."

"Jaga ya mulut kamu!" Ibu berseru tak terima.

"Apa?! Harusnya lo yang jaga kelakuan!"

Sebelum masalahnya semakin tambah runyam ada dua satpam yang akhirnya turun tangan dan memisahkan Sesa. Beberapa orang yang menonton dari kejauhan pun ikut membubarkan diri.

Aku mengelus pundak Sesa agar menenangkan gadis itu.

Ibu pergi dengan pria tersebut.

Aku menghela napas melihat mobil yang ditumpangi Ibu pergi dari pelataran rumah sakit. Aku benar-benar berharap jika apa yang kutakutkan takkan pernah diketahui oleh Sesa.

Bahwa aku adalah anak dari selingkuhan suami Kakaknya.

_____

Tbc.

PLAYERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang