Hovel

72 12 0
                                    

Azalea kena marah Yaya lagi. Kali ini karena ketahuan mengikuti ekstrakulikuler bela diri di sekolahnya, padahal Yaya sudah melarang. Yaya lebih suka Lea belajar tata krama dan budaya Neotherland.

"Lihat ini! Lebam dimana-mana!" Omel Yaya, melihat lengan dan paha Lea.

"Tidak apa-apa, Yaya. Ini karena aku baru pemula," jawab Lea, agak mengeluh. Dia memang baru saja memulai ikut pelatihan bela diri setelah kejadian terakhir yang menimpanya. Kalau saja pemuda yang mengaku sebagai putra mahkota itu tidak menolong, mungkin sekarang Lea tidak bisa bertemu neneknya lagi.

"Kenapa tiba-tiba kamu suka beladiri?" Yaya bertanya dengan nada menuduh. Lea tidak menyahut, lebih memilih untuk buru-buru pergi.

"Yaya, aku harus pergi ke masjid sekarang. Kakek Miftah pasti sudah menunggu!" Pamit Lea, nyengir saat neneknya tampak semakin kesal.

Dalam perjalanan menuju masjid tempatnya belajar ilmu agama yang lebih dalam, Lea melewati sebuah jalan sepi yang ada sebuah gubuk tidak berpenghuni di salah satu sisinya. Karena biasanya jalan itu sunyi, Lea jadi agak kaget saat mendengar suara dari gubuk kosong itu.

Suara benda jatuh, dan juga... Teriakan?

Lea bergegas mendekat, tidak berpikir bahwa dia hanya seorang remaja dua belas tahun tanpa senjata. Tidak, Lea bahkan tidak berpikir sama sekali. Semakin dekat, suara yang terdengar justru semakin banyak.

Dari yang Lea dengar, ada suara dua lelaki yang saling berbisik dan seorang perempuan? Lea tidak yakin dengan suara perempuan itu sebelum bisik-bisik kedua lelaki tersebut juga sampai di telinganya.

"Biarkan aku dulu yang mencobanya!" seseorang dari mereka berbicara.
"Dimana sopan santunmu? Aku ini seniormu!" Yang lain menyahut, sementara suara yang di redam semakin kuat mencoba memberontak.

Lea mendengus dan menuju pintu depan yang awalnya tertutup. Agak mengejutkan karena pintu tersebut ternyata mudah di buka, mungkin orang-orang yang ada di dalam sana sama sekali tidak berpikir akan ada yang memergoki mereka.

Lea langsung menuju ke sumber suara, menemukan dua orang dewasa yang memakai seragam militer tengah berdiri di depan seorang gadis yang terikat dan mulut tersumpal kain. Penampilan perempuan yang mungkin seusia Lea itu sangat berantakan; blus pendek putih dan rok panjang biru tuanya sudah kotor dengan tanah, sementara rambutnya sudah acak-acakan ditambah raut wajahnya yang menangis ketakutan.

"Siapa kamu?" Salah seorang militer itu menghardik Lea setelah pulih dari rasa kagetnya.

"Yang seharusnya bertanya begitu, kan, aku!" Sahut Lea, mengerutkan kening kesal. Seragam yang militer itu pakai, mengingatkan Lea pada sosok militer asing yang pernah di temuinya ketika kecil.

Salah satu dari militer itu meraih lengan Lea dan menariknya kasar.
"Bagus! Dengan kamu disini, kami tidak perlu berdebat tentang siapa yang lebih dulu!" Katanya, mata lelaki yang memegang lengan Lea itu tampak berbinar-binar. "Kamu cantik sekali!" Pujinya, membelai pipi Lea dan membuatnya geli.

"Wajahmu tampak menjijikkan," ucap Lea sengit, menjauhkan wajahnya dari militer itu. Wajah orang itu berubah kaku sebelum dengan kasar mendorong tubuh Lea hingga menghantam dinding.

"Kurang ajar!" Serunya menggelegar, sementara Lea mengaduh kesakitan.
"Aku akan menghabisimu lebih dulu, Bocah!"

Militer itu bergerak mendekat lagi, tapi kali ini Lea sudah siap. Saat lengan pria itu terulur ke arahnya, Lea lebih dulu menangkap dan membanting balik tubuh besar itu ke lantai.

Selama beberapa detik, hanya terdengar suara pria itu mengerang kesakitan. Hal tersebut di manfaatkan Lea untuk meraih pistol yang tersarung di pinggang orang yang lebih dulu menyerangnya itu.

Lea harus melempar pistol yang di pegangnya ketika moncong pistol lain  telah menempel di kepalanya.
"Jangan harap kamu bisa hidup setelah ini!" Geram militer yang lain, teman pria yang kini bangkit dari lantai masih sambil mengaduh.

"Bukankah kalian yang lebih dulu mulai?" Jawab Lea, menatap perempuan lain selain dirinya di ruangan itu sambil tersenyum miring.

"Jangan! Jangan dulu! Aku tidak mau bersenang-senang dengan mayat!" Pria yang tadi dibanting Lea ke lantai kini sudah sepenuhnya berdiri. "Lagipula, aku lebih suka dia karena memberontak dengan hebat! Dia menantang!"

Teman pria itu mendecih, menjauhkan pistolnya dari kepala Lea meski masih melotot waspada.
"Terserah padamu," katanya.

"Nah, bocah! Bagaimana kalau kita berolahraga lebih dulu? Kamu berhasil menyerangku karena aku belum siap. Sekarang, ayo, majulah!" Militer itu tersenyum menantang.

Lea tau, dia akan kalah begitu menerima tantangan tentara itu, jadi dia menoleh ke arah perempuan yang tidak dia kenal.
"Kamu tau? Kamu boleh membunuh mereka yang telah melecehkanmu. Tidak ada dosa bagimu," ucap Lea tersenyum sedikit.

Tampaknya, hal tersebut membuat kedua militer itu marah hingga menyerang Lea bersama-sama. Tentu saja Lea tidak berdaya menghadapi dua tentara laki-laki yang jauh lebih besar dan lebih kuat darinya. Melepaskan diri dari cengkraman tangan mereka saja Lea tidak mampu.

Ketakutannya siap berubah menjadi tangisan seperti perempuan tadi, tapi kemudian terdengar suara tembakan. Salah satu tentara itu mengaduh dan melepaskan Lea. Tidak berselang lama, terdengar tembakan lain dan tentara yang satu lagi juga menjauh dari tubuh Lea.

"Kurang ajar! Dasar bocah rendahan!" Tentara yang masih memiliki pistol meraih pistolnya. Tapi, tangan gemetar dari perempuan yang hendak Lea selamatkan lebih cepat bergerak karena panik. Kali ini, pelurunya tepat mengenai jantung hingga tentara itu mati.

"Bobby!" Temannya berseru, syok melihat temannya mati begitu saja setelah di tembak oleh korban mereka. Tentara itu hendak mendekati mayat temannya, tapi kembali kena tembak di bagian kaki.

Lea melirik perempuan yang tangannya masih terikat itu, tampak gemetar panik dan takut pada saat yang bersamaan. Setelah menarik napas panjang sekali, Lea mengabaikan rintihan tentara itu dan mendekati si perempuan.

"Kalau kamu mau bunuh dia, bunuh saja," kata Lea, duduk di samping perempuan itu sambil mengamati tentara yang masih merintih. Perempuan itu tidak menyahuti, tapi tangannya yang gemetar, setengah mati ingin menembak kepala tentara yang masih hidup.

Lea mengulurkan tangan dan membatu perempuan itu untuk memfokuskan target.

"Tembak," perintah Lea dengan nada pelan. Lea kira, satu lagi tembakan hingga tentara itu mati sudah cukup, tapi ternyata perempuan itu terus menembak hingga peluru di pistolnya habis.

"Tidakkah kematian mereka sudah cukup?" Tanya Lea, sempat bertanya setelah melepaskan ikatan tangan dan mulut perempuan itu.

"Tidak bolehkah aku menembaki mereka sebanyak mereka melecehkanku?" Sahut perempuan itu yang kemudian tidak Lea jawab.

"Kalau kamu sudah puas, mari pergi" Lea bergerak ke mayat-mayat tentara itu untuk merogoh saku mereka. Setelah menemukan beberapa lembar uang, Lea segera beranjak keluar.

"Kamu merampok mereka?" Pertanyaan bernada tidak percaya itu membuat Lea menoleh dengan satu alis terangkat tinggi.

"Ya? Kamu punya uang untuk biaya berobat dan pulang atau menghubungi keluargamu?" Sahut Lea. "Karena aku tidak punya!"

###

The Crown PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang