Depressive Episode

67 11 3
                                    

"Apakah itu cincin dari Pangeran Azzam untuk mengikatmu?" Suara lembut Yaya membuat Lea menoleh dari kegiatannya memasak makan malam. Hari ini, seperti akhir pekan biasanya, dia pulang ke rumah untuk menemani neneknya itu.

Lea mengulurkan tangannya yang memakai cincin berukiran bunga, kembali tersenyum tipis mengingat bagaimana Pangeran Azzam memberikan cincin itu padanya beberapa hari yang lalu.

"Benar! Apa menurut Yaya, cincinnya bagus?" Sahut Lea.

"Apa kamu menyukainya?" Lea balik bertanya, sambil tersenyum.

"Tentu saja!" Jawab Lea tegas. Lea menyicipi masakannya sekali lagi, mematikan kompor dan menghidangkan masakan itu di atas meja. "Aku sendiri yang memilih ini!"

"Tapi, Yaya tidak tau kamu menyukai bunga? Kamu selalu mengomel tentang bunga yang Yaya tanam," balas Yaya lagi.

Lea merengut, tapi tidak menyahut. Lea bukan membenci bunga, tapi sebagain besar bunga yang ditanam neneknya di depan rumah berwarna merah atau berjenis Azalea. Mungkin itu sebagai lambang betapa Yaya menyayangi Lea, tapi perempuan itu masih sering merasa sesak napas karena hal itu.

"Aku tidak akan mengomel jika itu adalah hal yang aku pilih, Yaya. Aku akan tetap menjaganya, walau banyak orang yang bilang pilihanku buruk," gerutu Lea. Perempuan itu mulai melahap makanannya setelah menjawab sang nenek.

"Begitu juga dengan Pangeran Azzam?" Yaya tersenyum, menyentuh sendoknya, tapi tidak makan.

"Maksudnya?" Lea bertanya heran.

"Kamu tau, manusia banyak kekurangan. Entah dari pribadinya, maupun lingkungannya. Kamu akan tetap menjaga hubunganmu dengan Pangeran Azzam apapun yang terjadi, kan?" Tanya Yaya lagi.

"Tentu saja! Kenapa Yaya bertanya hal seperti itu?" Jawab Lea, masih tidak mengerti.

"Karena, begitu kamu menikah dengan Pangeran Azzam, pasti banyak hal yang akan berubah, banyak hal yang akan terjadi, baik yang kamu suka maupun kamu benci. Yaya hanya ingin memastikan, bahwa kamu mengerti kalau pernikahan bukan hanya tentang hal yang kamu suka," jawab Yaya.

"Yaya mengkhawatirkan hal yang tidak perlu," balas Lea, memutar bola mata. "Aku bisa menangani hal itu. Yaya kan tau, aku bukan orang yang mudah di tindas!"

"Tapi kamu tidak tahan dengan tekanan," Yaya mengingatkan. "Yaya harap, ketika kamu merasa tidak kuat lagi terhadap tuntutan orang-orang, kamu akan mengingat bahwa yang perlu kamu prioritaskan adalah Allah SWT"

"Aku mengerti. Yaya kan bisa mengomel kalau hal itu terjadi. Tidak perlu overthinking begitu," gerutu Lea lagi. "Aku sudah meminta tempat yang dekat untuk Yaya pada Pangeran Azzam, jadi--"

"Lea..." Yaya memotong ucapan Lea dengan lembut. "Yaya tidak akan pindah dari sini" katanya.

"Kenapa? Yaya bisa mendapat rumah yang lebih baik, dan lingkungan yang lebih baik--"

"Yaya lebih nyaman disini. Toh, Yaya sudah tua--terlalu melelahkan untuk pindah ke tempat yang jauh," jawab Yaya.

"Yaya tidak perlu melakukan apapun selain duduk dalam perjalan," janji Lea.

"Bisa melihatmu menikah saja, sudah cukup bagi Yaya," gumam Yaya pelan.

"Kalau yang itu, wajib! Apa Yaya tega melihatku menikah seorang diri?" Protes Lea.

###

Rasanya, seseorang sedang menghujani seluruh tubuhnya dengan jarum-jarum tajam hingga rasa sakitnya tak tertahankan. Dadanya terasa sesak, hingga keinginan menghujamnya dengan benda tajam terasa menggiurkan. Mencekik lehernya juga terdengar tidak buruk. Apapun untuk melegakan perasaan-perasaan samar itu dari tubuhnya saat ini.

Lea menatap kosong makam Yaya yang baru tertutup sehari yang lalu. Lea yakin sekali, belum dua puluh empat jam berlalu sejak mereka makan malam dan mengobrol. Lea yakin, masih bisa melihat dan berbicara pada neneknya lagi hari ini. Sebelum kemarin pagi, Yaya telah kembali ke sisi Allah. Yaya tidak pernah bangun dari tidurnya lagi.

Ah, episode ini lagi, batin Lea, mengenali perasaan yang menyiksanya dalam diam. Biasanya, Lea akan menyibukkan diri hingga perasaan depresi itu tidak terasa, tapi tubuhnya masih terpaku di dekat makan neneknya. Satu-satunya keluarganya telah pergi dan menyisakan dirinya seorang diri.

"Maaf aku datang terlambat. Tidak kusangka Yaya akan pergi secepat ini," suara Pangeran Azzam membuat Lea sedikit terseret ke alam nyata.

"Tidak apa-apa," jawab Lea pendek. Memang apalagi yang bisa dia katakan? Kalau pun ada, saat ini Lea tidak ingin bicara.

"Kamu baik-baik saja?" mata Pangeran Azzam berkelebat ke wajah Lea, tampak khawatir. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Batin Lea, tapi tetap menyunggingkan senyum lemah.

"Ya," jawab perempuan itu singkat. Lea berusaha terlihat baik-baik saja, dan sebenarnya itu mudah di lakukan kalau dia sedang tidak berada di fase terburuk depresinya.

"Kamu akan tetap disini?" Lagi-lagi Pangeran Azzam bertanya, seperti memancing Lea untuk bicara lebih banyak.

"Aku sudah ijin untuk tidak masuk ke kampus selama seminggu. Banyak hal yang harus aku urus disini," jawab Lea menjelaskan. Pangeran Azzam pun menganggukkan kepala dan kembali memandang ke makam Yaya.

"Yaya, aku berjanji akan melaksanakan amanahmu dengan sebaik-baiknya," katanya.

Lea membuang muka ke arah lain saat Pangeran Azzam mengatakan hal itu. Ketika itu lah Lea menyadari kalau Pangeran Azzam datang seorang diri. Darimana lelaki itu tau tempat tinggalnya?

"Ayo? Aku antar kamu pulang," ajak Pangeran Azzam lembut. Lelaki itu bangkit berdiri dan menunggu Lea.

Kaki Lea terasa lemah sekali, bahkan untuk menyangga tubuhnya, hingga dia sempat limbung kalau tangan Pangeran Azzam tidak menahannya.

"Kamu yakin, kamu baik-baik saja? Kapan terakhir kali kamu makan?" Cerca lelaki itu, cemas.

"Eh, entah?" Jawab Lea, tidak yakin. Makanan yang terakhir dia ingat adalah makan malamnya dengan yaya kemarin lusa.

Pangeran Azzam menghela napas panjang sebelum membantu Lea berjalan menuju mobilnya yang terparkir di depan pemakaman.
"Ada sesuatu yang ingin kamu makan?" Pangeran Azzam bertanya.

"Aku akan makan, nanti. Aku yakin kamu pasti sibuk sekali," sahut Lea, mengusir dengan cara halus. Pangeran Azzam, terdiam ragu.

"Apa aku minta Mama Zulaikha untuk menemanimu saja? Mungkin beberapa orang untuk membantu juga?" Tawar Pangeran Azzam lagi, kali ini membuat Lea mengulum senyum.

"Tidak perlu, sungguh! Aku akan makan, setelah mengurus beberapa hal nanti. Terimakasih sudah khawatir," ucapnya, lebih tulus.

Pangeran Azzam masih tampak tidak yakin, tapi akhirnya mengalah. Dia tidak bisa memaksa, karena belum berhak untuk mengurusi hidup Lea. Selain itu, kegiatan pribadinya mengurus negara juga cukup menyita waktu.

"Aku akan mengabarimu begitu aku kembali ke ibukota," ucap Lea, mencoba meyakinkan.

Kali ini Pangeran Azzam mengembangkan senyum dan mengangguk.
"Baiklah kalau begitu, aku akan pamit sekarang," katanya menimpali.

Lea balas mengangguk, menunggui mobil Pangeran Azzam menjauh, sebelum berbalik dan menghela napas jengah.

"Janji lagi," gumamnya pada diri sendiri, menyesal dengan tindakannya menenangkan Pangeran Azzam. Sekarang, dia harus berusaha bertahan, yang mana itu sangat sulit!

###

Ada yang nunggu?

The Crown PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang