1

172 18 2
                                    

Jalanan di daerah pasar Mairi, selalu ramai saat malam hari. Banyaknya lampu-lampu penerangan baik dari jalanan maupun kios-kios penjual membuat tak seorang pun dari pejalan kaki merasa was-was.

Seorang perempuan berumur 24 tahun, yang menggendong tas besar di punggungnya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang berdesak-desakkan. Wajah cantiknya yang tertutup masker, membuat mata lebar dari seorang Azalea Zahra Autumn tampak semakin memikat.

Lea, begitu dia disapa, bergegas mendekati sebuah gerai yang menjual shawarma sebelum antrean menjadi semakin panjang.
"Shawarma isi daging kambing 1, dan isi daging ayam 2," ucapnya pada penjual yang sudah menghapalnya.

"Ah, halo, Lea! Kamu baru saja pulang? Aku kira hari ini kamu tidak akan datang," ucap Si Penjual, lelaki paruh baya yang berkumis tebal.

"Ya, Paman. Aku baru pulang kuliah. Apakah kakek sudah lewat?" Sahut Lea, balik bertanya.

"Belum--Nah! Itu dia!" Lea mengikuti jari telunjuk penjual shawarma, dan menemukan seorang kakek sedang menarik gerobak sampah. Senyum Lea muncul.

"Kalau begitu, cepat bikinkan pesananku!" Pinta Lea, dengan mata yang semakin melebar karena senang.

"Aku sudah membuatkan shawarma isi ayam karena kamu selalu memesannya. Bagaimana kalau kamu memberikannya ke kakek itu dulu? Aku akan membuatkan yang isi daging kambing!" Saran penjual shawarma.

"Paman, kamu yang terbaik!" Puji Lea, menerima plastik berisi dua buah shawarma lalu berlari membelah keramaian menuju seseorang yang dicarinya.

Kakek yang tampak telah berusia tujuh puluh tahunan itu sempat berhenti di pertengahan jalannya untuk beristirahat sejenak. Lea bergegas mendekat dan menyapanya.
"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam," kakek itu menjawab dan mendongak untuk melihat Lea. "Nona Lea?"

"Wah, apa benar penglihatan kakek memburuk? Kakek langsung mengenaliku padahal matahari sudah terbenam sejak tadi," ucap Lea, dengan nada bercanda. Kakek itu tertawa keras.

"Tentu saja. Bagaimana tidak, kalau setiap hari aku mendengar suaramu? Apa kamu baru saja pulang?" Kakek itu kembali bertanya.

"Betul. Kakek sudah makan? Aku membeli shawarma terlalu banyak. Kakek bisa membawanya untuk nenek di rumah," ucap Lea, mengulurkan barang yang dibawanya pada kakek itu.

"Alhamdulillah, hari ini kakek dapat rejeki lagi," Sahut kakek itu, tidak menjelaskan lebih panjang, dan hanya tersenyum penuh terimakasih pada Lea.

"Alhamdulillah! Apakah nenek sehat? Aku ingin sekali main ke rumah kakek lagi, tapi akhir-akhir ini aku sedang sibuk sekali," ucap Lea, agak menggerutu.

"Alhamdulillah," sekali lagi kakek hanya menjawab demikian. "Kakek doakan, semoga semua urusan Nona Lea dilancarkan dan dimudahkan oleh Allah SWT."

"Aamiin Ya Allah, Ya Rabb!" Sahut Lea, sepenuh hati. "Kakek dan nenek harus jaga kesehatan, ya? Jangan memaksakan diri."

"Tidak apa-apa. Selama masih mampu, kakek akan tetap berusaha dalam kondisi apapun." Nada getir dalam suara kakek membuat Lea juga terdiam. Tanpa bercerita pun Lea mengetahui dilema yang kakek dan sebagian orang alami. Tuntutan pekerjaan yang semakin gila dengan jumlah upah yang tidak sebanding membuat mereka tidak berkutik. Tidak ada pilihan lain, selain tetap bekerja meskipun keringat sudah menjadi darah.

"Miris sekali, padahal negara kita terkenal sebagai negara terkaya di dunia. Tapi bahkan untuk mendapat akses kesehatan, pendidikan dan jumlah upah masyarakatnya masih banyak yang kesusahan. Sebenarnya, apa yang dilakukan pemerintah dan keluarga kerajaan?" gumam Lea menggerutu.

"Kita doakan saja, supaya pemimpin kita tidak dzalim, dan selalu berada dalam perlindungan Allah," kata kakek sambil tersenyum menatap Lea dengan lembut.

###

Dalam perjalanannya menuju apartemen, Lea selalu melewati sebuah bangunan bernama Sonapur yang terkenal sebagai kawasan kumuh. Disana, banyak dihuni oleh imigran dari berbagai negara yang menyambangi Dobuski untuk mengadu nasib. Sayangnya, mereka tidak seberuntung beberapa yang lain.

Selain gaji yang tidak seberapa, keadaan di dalam pun tidak bisa dikatakan layak. Lea pernah sekali masuk ke sana karena penasaran. Orang-orang yang menginap disana bahkan harus mencari pekerjaan lain supaya bisa terus menyambung hidup.

Keadaan mereka semakin membuat Lea marah pada para penguasa negeri, namun perempuan itu sadar bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa. Akhirnya hal tersebut hanya menjadi sebuah pengetahuan yang selalu diingatnya.

Perempuan itu menatap sedih bangunan Sonapur dari jendela dapurnya. Seperti biasa, lampu-lampu di setiap unit dari bangunan tersebut masih menyala terang. Mungkin akan tetap begitu hingga lewat tengah malam andai tidak ada peraturan mengenai penggunaan listrik dan penerangan di daerah mereka.

Apakah akan ada masanya dimana orang-orang yang dikenalnya mendapat hidup yang lebih baik? Setidaknya, mereka mendapat hak yang mereka pantas dapatkan. Lea ingin melakukan sesuatu, tapi dia tidak tau apa yang mesti dia lakukan.

"AHH!" Lea menjerit saat tangannya secara tidak sengaja menyentuh panci panas yang sedang dia pakai untuk memasak air. "Astaghfirullah, Ya Allah!"

Lea buru-buru mematikan kompor dan membasuh tangannya dengan air mengalir. Setelah perih ditangannya bisa di atasi, Lea segera menuangkan air panasnya ke mangkuk berisi mie instan.

Perempuan itu menghela napas lesu. Yah, dia harus memikirkan dirinya sendiri dulu sebelum memikirkan orang lain. Lea menatap makan malamnya dengan lesu.

Ponsel yang berdering membuat perhatian Lea teralih. Perempuan itu mengerang mendapat pemberitahuan mengenai biaya semester. Yaya pasti sudah mendapat uang yang cukup karena masih ada uang tunjangan dan uang pensiun dari orangtuanya. Namun, tetap saja Lea merasa tidak enak.

"Assalamualaikum, Mina?" Lea menelepon salah satu sahabatnya dengan nada lesu.

"Waalaikumsalam, Lea. Kenapa?" Mina menjawab dengan nada tenangnya.

"Apa benar aku terdaftar beasiswa? Kenapa biaya semesterku masih banyak?" Tanyanya, menggerutu.

"Mengenai hal itu lagi? Bukankah kamu sudah mengurusnya di TU semester lalu?" Mina menyahut.

"Ya, tapi nominalnya masih membuatku ingin menangis," jawab Lea jujur. "Apa yang harus aku lakukan?"

"Bagaimana kalau kamu mencari pekerjaan part time saja?" Usul Mina. "Aku bisa mengenalkanmu pada beberapa perusahaan jurnalistik. Mungkin gajinya tidak banyak, tapi sepertinya bisa membantu."

"Ya, tolong bantu aku. Aku yakin Yaya sudah punya uang, tapi aku tidak enak meminta padanya," kata Lea.

"Aku mengerti. Aku akan memberimu informasinya besok, bagaimana?"

"Perfect! Terimakasih, ya!"

###

Udah kerasa belum kondisi Leanya?

The Crown PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang