57DS - Prolog

80 20 52
                                    

Dari sekian banyaknya manusia di dunia ini pasti pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Jatuh cinta memanglah hal yang wajar bagi manusia.
Sepertinya, siklus cinta yang indah adalah bertemu, saling memiliki rasa, dan akhirnya menjalin hubungan spesial antara pihak satu dan pihak dua yang sama-sama mencintai.

Namun, tidak dengan laki-laki yang bernama Kafka ini. Ia sudah memiliki kekasih, tetapi tiba-tiba perasaannya terbagi setelah beberapa hari lalu ia bertemu dengan sosok gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Saat pertama kali Kafka bertemu dengan gadis itu, sorot mata indahnya mampu mengubah dunia Kafka sesaat.

"Kak Kafka," teriak seorang gadis yang mampu membayarkan lamunan Kafka. "Hai, Kak," sapa Lidya seraya berlari kecil ke arah Kafka. Senyum gadis itu terus mengembang dan tak memudar sedikitpun sampai ia benar-benar berada di hadapan Kafka saat ini.

"Surprise." Kafka tersenyum kecut kala melihat kekasihnya membawakan sebuah kue coklat yang terlihat begitu menggiurkan.

"Kakak ingat kue coklat yang waktu itu Kakak suka banget? Nah, malam ini aku sengaja bawain Kakak kue ini, dan aku baru aja beliin Hoodie terbaru, loh. Kakak suka gak?" Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Kafka.

"Kak? Kok ekspresinya gitu? Kakak gak suka, ya?" tanya Lidya.

"Gue mau ngomong, Lid," ujar Kafka yang membuat Lidya sangat amat terkejut. Gadis itu langsung meletakkan kue dan hadiah yang ia bawa di atas meja.

Yah, malam ini Lidya memang sengaja mengajak Kafka untuk bertemu di cafe. Namun, Lidya tak memberi tahu kalau ia akan membawakan sebuah kue yang sudah lama di inginkan oleh Kafka.
Gadis itu hanya berkata kalau ia hanya ingin dinner berdua bersama kekasihnya.

"K-kita pesan makanan dulu aja, Kak." Suara Lidya terdengar gugup dan bergetar. Siapapun yang mendengarnya pasti akan merasakan itu.

Lidya mulai memikirkan hal-hal yang berbobot. Itu semua karena perubahan panggilan dari Kafka untuk dirinya. Sejak awal menjalin hubungan, Kafka tak pernah memanggil gadis itu menggunakan nama. Selalu ada tambahan embel-embel 'sayang', 'cantik', atau panggilan romantis lainnya.

Namun, di hari spesial Kafka malam ini, lelaki itu justru membuat Lidya berpikir berat.

"Kakak mau pesan apa?" tanya Lidya sambil memaksakan senyumnya agar tidak memudar di hadapan Kafka.

"Samain aja kayak lo." Bahkan nada bicara Kafka terdengar sangat datar.
Lidya paham kalau Kafka adalah sosok laki-laki yang juga memiliki sifat dingin dan cuek seperti beberapa laki-laki lainnya. Bahkan, Kafka juga pernah bersikap cuek dan tidak memperdulikan Lidya.

Namun, semenjak tanggal 6 Oktober 2023 waktu itu, sikap Kafka mulai berbeda pada Lidya. Karena hari itu adalah hari di mana mereka yang semula hanya sebatas kakak kelas dan adik kelas, kini telah menjadi sosok dua insan yang mempunyai hubungan spesial, lebih dari teman maupun sahabat.
Mereka telah menjadi sepasang kekasih.

"Silahkan."

"Makasih," ucap Lidya lembut pada pelayanan Cafe yang baru saja mengantarkan pesanannya.

"Dimakan dulu, Kak," ujar Lidya yang hanya dibalas anggukan kecil oleh Kafka.

Lelaki itu bahkan tak memperhatikan Lidya sedikitpun. Ia justru memakan hidangan di hadapannya seraya bermain hp.
Sementara Lidya, gadis itu berusaha untuk terus mempertahankan senyumnya dan berfikir positif. Mungkin saja, mood Kafka sedang tidak begitu baik malam ini.

"Udah selesai makannya? Gue mau ngomong." Bahkan disaat Lidya belum selesai makan, Kafka terlihat sangat buru-buru untuk menyampaikan apa yang dari tadi ingin ia sampaikan.

"Ngomong aja, Kak," sahut Lidya. Melihat gerak-gerik Kafka, sepertinya lelaki itu ingin berbicara serius. Jadi, Lidya memutuskan untuk berhenti makan dan memperhatikan Kafka terlebih dahulu.

"Makasih." Satu kata yang keluar dari mulut Kafka membuat Lidya mengernyit bingung.

"Kenapa tiba-tiba makasih?" batin Lidya.

"Terimakasih atas waktunya selama ini. Makasih juga karena lo udah effort bawain gue kue coklat dan beli Hoodie buat gue." Kafka masih menjeda ucapannya. Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Ia tahu kalau ini egois. Namun, Kafka juga tidak bisa untuk terus memaksakan perasaannya.

"Gue mau kita putus, Lid."

"Maaf ...."

Degg

Jantung gadis itu terasa berhenti berdetak dalam sesaat. Ia benar-benar terpaku setelah mendengar ucapan Kafka.

Sepertinya, malam ini akan menjadi malam yang buruk bagi gadis itu.
Laki-laki yang sudah sejak lama ia cintai dan baru saja bisa ia miliki selama 25 hari, tiba-tiba memutuskannya begitu saja tanpa alasan yang jelas.

"Tapi kenapa, Kak? Aku salah apa?" lirih Lidya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Apa Kakak masih marah sama aku karena kejadian tiga hari yang lalu?"

"Oke, aku salah, Kak. Tapi tolong maafn aku. Tolong kasih aku kesempatan kedua, Kak."

Kafka kebingungan, entah bagaimana rangkaian kata yang akan ia gunakan untuk membalas semua ucapan Lidya.

Kafka tau ini menyakitkan bagi Lidya. Tetapi, sekali lagi Kafka juga tidak bisa untuk terus memaksakan perasaannya.
Jadi, ia rasa ini adalah keputusan yang baik.

"Maaf, Lid." Hanya kata maaf yang saat ini ingin ia ucapkan pada Lidya.

Kafka tahu seberapa besar dan dalamnya cinta gadis itu pada dirinya. Namun, untuk apa dilanjutkan jika yang memiliki rasa hanya salah satu pihak. Itu akan menyakitkan nantinya.

"Kenapa, Kak?" tanya Lidya yang suaranya terdengar bergetar.

"Gue gak bisa jelasin semuanya, Lid. Tapi gue yakin, secara perlahan lo pasti tau apa alasan gue ngelakuin ini," jelas Kafka.

Tidak mungkin juga Kafka menjelaskan semuanya pada Lidya saat ini. Ia tidak ingin membuka gadis itu semakin merasa hancur.

"Apa ini semua ada hubungannya sama Kak Viola?"

57 Days Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang