57DS - 08

17 9 40
                                    

Keesokan harinya, Ria dan Viola terburu-buru menyiapkan diri untuk segera berangkat ke sekolah.
Karena kemarin malam mereka baru tidur saat waktu sudah menunjukkan pukul 02.00, hal itu menyebabkan mereka bangun kesiangan pagi ini.

"Vi, kaos kaki gue mana?" teriak Ria sambil kelimpungan mencari kaos kakinya.

"Mana gue tau, anjir," sahut Viola kesal.

Keduanya berlarian mencari barang-barang, bahkan juga menyiapkan bekal karena mereka tak sempat untuk sarapan.

"Ri, cari Taxi." Saat Viola menyadari bahwa Ria telah selesai menyiapkan semuanya, ia pun segera menyuruh gadis itu memesan Taxi untuk mengantar mereka ke sekolah.

"Nah, udah. Yuk, buruan keluar." Setelah Viola siap, keduanya segera berlari keluar dan menunggu taxi pesanannya datang.

Mereka semakin gelisah saat waktu sudah menunjukkan pukul 06.45, lima belas menit lagi bel masuk akan berbunyi, sementara mereka masih baru saja keluar dari dalam rumah.

Untungnya, tak butuh waktu yang terlalu lama untuk Taxi pesanannya itu datang.
Mereka pun segera berlari memasukinya Taxi itu dan menyuruh sang sopir untuk menambah laju kecepatan mobilnya.

"Ri, lima menit lagi." Viola benar-benar gelisah saat ia melihat jam tangannya yang ternyata waktu terus berjalan dan lima menit lagi gerbang akan tertutup rapat.

"Ini, Pak. Makasih." Setelah memberikan uang pada supir Taxi itu, Viola dan Ria berlari sekencang-kencangnya.

Kringg kringg

Syukurlah. Suara bel berbunyi tidak mendahului langkah kaki mereka untuk memasuki gerbang.
Mereka bernafas lega karena saat gerbang tertutup, mereka telah berhasil berada di dalamnya.

"Aduh ...."

Karena tak memperhatikan jalan, Viola pun akhirnya menabrak dada bidang seorang laki-laki.

"Hati-hati dong, cantik." Suara berat milik laki-laki itu membuat Viola mendongak dan hampir saja memarahinya.

Namun, setelah ia berhasil menatap mata laki-laki itu, tubuhnya terdiam membeku, tatapan matanya berhenti di satu titik yang sama dengan tatapan laki-laki itu. Kata-kata 'cantik' yang diucapkan olehnya kembali terngiang di telinga Viola.

"Halo ...." Panggilan itu mampu membuyarkan lamunan Viola.

"Lo ...."

"Viola," sahut Ria. Saat melihat Kafka yang seperti sedang menebak-nebak nama gadis di hadapannya, tetapi dengan sigap Ria langsung menyebutkan nama Viola, dan Kafka menganggukkan kepalanya seraya tersenyum senang.

"Ri," kesal Viola.

"Namanya Viola." Ria kembali memperjelas ucapannya. Kafka yang sudah tahu pun hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.

Tanpa berkata-kata lagi, Viola langsung melenceng pergi dari hadapan Kafka. Hal itu seketika membuat Ria terkejut sekaligus bingung karena tingkah Viola yang tiba-tiba.

"Teman lo kenapa?" Ria menaikkan bahunya menjawab pertanyaan Kafka.

"Gue nyusul Viola dulu, ya." Tanpa menunggu balasan dari Kafka, Ria langsung berlari mengikuti arah Viola berjalan tadi.

"Vi," teriak Ria saat berhasil melihat punggung temannya.

Viola menoleh tanpa ekspresi. "Lo kenapa tiba-tiba kabur, sih?" Pertanyaan Ria membuat Viola bingung harus menjawab apa.

Sebenarnya ia sengaja pergi dari hadapan Kafka, karena ia tak mau kalau harus terlihat salah tingkah di hadapan Kafka.

Namun, jika Viola mengatakan yang sebenarnya pada Ria, yaitu bahwa dirinya salting dengan Kafka, maka Ria akan menyimpulkan bahwa Viola benar-benar ada rasa lebih dengan lelaki itu.

"Lo salting, Vi? Kemarin waktu gue tanya, katanya lo gak suka. Kok sekarang ...." Ria menggantung ucapannya.

Bagaimana Ria tahu kalau Viola sedang salting?
Yah, bagaimana tidak tahu. Wajah dan gerak-gerik Viola sudah sangat menunjukkan bahwa gadis itu sedang menahan rasa salah tingkahnya terhadap Kafka.

"Vi?"

"Hmm?"

"Lo suka?"

"Nanti pulang sekolah mampir ke Cafe. Gue mau cerita, tapi sekarang kita ke kelas dulu." Ucapan Viola mampu membuat Ria semakin melebarkan senyumnya.

Ria yakin sekali kalau nanti saat di Cafe, Viola akan banyak menceritakan tentang Kafka. Bahkan, mungkin Ria akan segera mendapat jawaban dari pertanyaannya selama ini.

Akhirnya, baik Kafka, Viola, Ria maupun murid lainnya, mereka mengikuti pembelajaran di kelasnya masing-masing seperti biasa.

Waktu istirahat dan jam selanjutnya telah terlewatkan. Sampai tibalah waktu pulang.

Karena lokasi Cafe tidak terlalu jauh dari sekolah, Viola dan Ria pun memutuskan untuk jalan kaki saja dari sekolah ke Cafe.

Namun, ternyata di sisi lain, seorang laki-laki juga sedang menyalakan motornya dan bergegas menuju Cafe yang sama dengan yang akan dituju oleh Viola dan Ria.

Lelaki itu tak bermaksud untuk mengikuti Ria dan Viola. Namun, tanpa mereka berdua sadari, mereka akan pergi ke cafe yang sama, dan di waktu yang sama pula.

"Gimana, Vi?" Baru saja Viola duduk dan ingin meminum minuman yang telah ia beli tadi, tetapi dengan rasa tak sabarnya, Ria kembali menanyakan hal yang sama.

"Gimana apanya?" tanya Viola yang seolah tak paham dengan arah pembicaraan Ria.

"Jangan sok gak tau lo," kesal Ria. Gadis itu paham kalau Viola hanya pura-pura tidak tahu agar Ria tak lagi membahas akan hal itu.

Namun, bukan Ria jika tidak memiliki rasa penasaran yang besar. Beribu-ribu pertanyaan ia pikirkan dan ia berikan pada Viola agar gadis itu mau menceritakan yang sebenarnya ia rasakan pada Ria.

"Lo ... Suka sama Kafka?" tanya Ria yang langsung dijawab anggukan kepala oleh Viola.

Viola mengangguk bukan di luar kesadarannya. Ia sadar, ia tahu, dan ia paham dengan pertanyaan Ria.

"Vi? Lo serius?" Ria dengan antusias bertanya lagi setelah mendengar jawaban itu.
Lagi dan lagi Viola hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Ehh, sumpah? Seorang Viola jatuh cinta sama cowok yang baru aja dia kenal?" tanya Ria dengan penuh semangat dan ekspresi terkejutnya yang masih belum bilang.

"Iya, Ria. Gue akuin kalau gue suka sama Kafka. Tapi ...."

Viola menggantung ucapannya hingga membuat Ria menunggu beberapa saat. Namun, cukup lama Viola tak melanjutkan ucapannya, hingga Ria pun memutuskan untuk bertanya.

"Tapi apa?" tanya Ria. Ia juga sempat melihat perubahan ekspresi wajah Viola yang awalnya sumringah, kini berubah menjadi lesu.

"Tapi kayaknya gue bakal berusaha buat menghapus perasaan ini secepatnya."

57 Days Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang