57DS - 20

3 2 0
                                    

Satu Minggu telah berlalu semenjak kepulangan Viola dari rumah sakit.
Sejak itu pula, kedekatannya dengan Kafka semakin menjadi-jadi. Suatu ketika, Viola sempat sadar bahwa seharusnya ia tidak boleh se-dekat ini dengan Kafka. Karena ia tahu, jika Lidya mengetahui kedekatan ini, pasti gadis itu akan sakit hati.

Namun, Viola juga gadis biasa yang bisa merasa nyaman dan jatuh cinta.
Saat teman-teman Viola kembali mengejeknya karena ulah Arga, Kafka-lah yang saat itu benar-benar selalu ada untuk Viola.
Ia menemani bahkan memberi dukungan pada Viola. Kafka juga mengatakan agar Viola tidak terlalu mendengarkan ejekan teman-temannya.

Sebenarnya, ada Ria juga yang bisa menjadi tempat ceritanya. Namun, Viola tahu kalau Ria juga banyak di ejek oleh teman-temannya, seperti yang Viola alami. Jadi, Viola tidak mungkin 24 jam mengeluarkan segala keluh kesahnya pada Ria.

Bahkan, saat waktu pulang sekolah, Kafka yang biasanya selalu menjemput Lidya terlebih dahulu di kelasnya, lalu mengajak kekasihnya itu pulang bersama, kini sudah tidak pernah lagi seperti itu.

Justru, Kafka lebih sering mengejar Viola agar ia bisa memiliki waktu lebih untuk dekat dengan Viola.

"Ka," panggil Viola saat kini mereka berjalan beriringan untuk menuju parkiran motor.

"Oh, iya, Vi ... Nanti sore gua mau tanding futsal, lo mau ikut gak?" Kafka menoleh karena panggilan Viola, dan langsung mengatakan hal tersebut pada Viola.

Sebenarnya, ada sebuah hal cukup serius yang ingin gadis itu bicarakan, tetapi karena sore nanti Kafka akan mengikuti pertandingan futsal, jadi Viola tak mau membuat pikiran lelaki terbebani dengan pertanyaannya.

"Ikut kemana?" Viola mengurungkan pertanyaan yang dari tadi ada dipikirannya. Ia memutuskan untuk menanyakan hal lain, yang sekiranya tidak menjadi beban pikiran Kafka.

"Ya ikut ke lapangan, lah, Vi," sahut Kafka.

"Ngapain?"

"Mmm ... Kasih semangat sekalian temenin gue tanding." Viola terdiam. Di dalam hatinya, sebenarnya ia ingin sekali ikut dan menemani Kafka sampai ia selesai bertanding.
Namun, bagaimana perasaan Lidya jika ia mengetahui ini semua.

Viola tahu, bahwa memang kurang lebih sudah satu Minggu ini dirinya kembali merasa nyaman pada Kafka. Bahkan, mereka sering bercanda tawa melalui chat.
Viola juga sering mengatakan pada Kafka untuk menghentikan komunikasinya yang terlalu berlebihan itu, karena itu membuat Viola menjadi terus kepikiran dengan perasaan Lidya.

Mengapa Viola menyebutnya berlebihan?
Yah, karena memang Kafka selalu memberikan perhatian-perhatian lebih yang biasanya tidak diberikan jika mereka hanya seorang teman.

Bahkan, Kafka juga selalu memberi kabar pada Viola kemanapun ia pergi.
Itulah sebabnya rasa nyaman Viola pada Kafka semakin kuat.

"Vi?" Viola tersadar dari diamnya saat Kafka memanggil sekaligus menyentuh tangannya.

"Eh, iya?" sahut Viola.

"Gimana, lo mau gak ikut gue nanti?" Kafka kembali menanyakan pertanyaan yang tadi belum sempat dijawab oleh Viola.

Tidak menemukan rangkaian kata yang tepat untuk menolak ajakan Kafka, akhirnya Viola hanya bisa menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Terlihat raut wajah Kafka yang berubah lesu. Hal itu membuat Viola merasa bersalah, tetapi sepertinya ini adalah pilihan yang tepat.
Viola tidak ingin ikut bukan karena ia malas, tetapi karena ia masih tak enak dengan pandangan orang sekitar.
Pasti akan banyak omongan negatif jika nanti ada yang melihat Viola ikut menemani Kafka ke pertandingan. Bahkan, tidak sedikit pula yang akan bertanya-tanya mengapa Kafka tidak pergi dengan kekasihnya, justru pergi dengan perempuan lain.
Bisa jadi, mereka juga akan berfikir kalau Viola adalah seorang perebutan.

57 Days Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang