57DS - 23

4 2 0
                                    

Seorang gadis termenung di dalam kamarnya seraya membuka room chatnya dengan Kafka.
Hubungan Viola dan Kafka memang sudah membaik semenjak dibantu oleh Arthur waktu itu.

Namun, semenjak perkelahian itu, Viola dan Kafka sudah tidak terlalu sering bertukar kabar.
Status mereka masih tetap. Meskipun tanpa adanya kata 'jadian', karena Viola tidak mau, tetapi tetap Viola milik Kafka, dan Kafka milik Viola.

Dalam tiga hari terkahir ini, Kafka hanya menanyakan sedang apa Viola saat itu, apakah sudah sholat, makan, dan istirahat. Setelahnya, tak ada lagi topik random seperti dulu.
Sungguh, Viola merindukan hal-hal random yang sering ia lakukan dengan Kafka.

Namun, di sisi lain, bukan berarti Kafka tidak rindu dengan ke-randomnya bersama Viola.
Kafka terpaksa menghilangkan kebiasaan itu karena suatu alasan.

Ada satu hal lagi yang paling di rindukan oleh Viola. Yaitu kedatangan Kafka dengan membawa satu buket bunga dan coklat kesukaan Viola.

Namun, sudah satu Minggu lamannya Kafka tidak lagi melakukan hal itu. Sampai akhirnya, tiba-tiba hp Viola bergetar dan menunjukkan nama Kafka di layar hp nya. Yah, lelaki itu menelfon Viola.

"Halo ... Iya, Ka?"

"Di rumah?"

"Iya."

"Gue ke sana sekarang."

Tutt

Belum sempat bertanya kembali, tetapi Kafka sudah mengakhiri panggilannya begitu saja.

Akhirnya, Viola pun hanya bisa menunggu kedatangan lelaki itu di halaman rumahnya.

Sudah sampai dua jam berlalu, tetapi Kafka tak kunjung datang. Ada sedikit rasa kecewa yang kembali terbesit di hati Viola. Awalnya, gadis itu sudah merasa senang karena mungkin hari ini ia akan memiliki waktu lebih banyak dengan Kafka. Namun, sepertinya semua harapan hilang begitu saja.

Viola pun masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan kecewa.

Di sisi lain, di sebuah jalan terlihat ramai sekali para warga yang berjalan mondar-mandir mencari bantuan.

Sebuah motor dengan satu pengendara yang sedang membawa satu buket bunga, coklat, dan satu kotak cincin mengalami kecelakaan.
Pengendara itu tiba-tiba merasa pusing saat di tengah jalan, hingga ia tak sadar jika ada sebuah truk yang melaju kencang ke arahnya saat ia akan menyebrang.

Truk itu pun menabrak sang pengendara hingga semua barang bawaannya terjatuh dan berserakan kemana-mana.

Beberapa tangkai bunga mawar yang awalnya tersusun indah menjadi sebuah buket, kini telah berserakan dan tersebar kemana-mana. Bunga-bunga itu hancur terlindas kendaraan yang berlalu lalang.
Merahnya bunga mawar itu, sama dengan merahnya darah yang terus mengalir dari tubuh sang pengendara.

Arthur, dengan ekspresi wajahnya yang sudah tidak dapat di artikan lagi, datang berbondong-bondong dengan semua teman-temannya dan berlari mendekati korban yang sudah di amankan oleh polisi.

Mereka semua seketika lemas setelah melihat keadaan sang korban.
Air mata yang jarang sekali keluar, kini tiba-tiba menetes begitu saja tanpa izin dari sang tuan.
Jantung mereka berdebar semakin kencang. Keringat dingin membasahi tubuh mereka.

Arthur, ada hal lain yang menjadi beban pikirannya selain tentang keselamatan sang korban. Yaitu tentang perasaan adiknya nanti saat melihat keadaan korban yang seperti ini.

Pengendara dengan sebuket mawar, coklat, dan satu kotak cincin itu adalah ....

Kafka.

Yah, lelaki itulah yang menjadi korban kecelakaan itu.
Bunga mawar, coklat dan cincin yang ia bawa itulah yang sebenarnya ingin ia berikan pada Viola.
Namun, Tuhan berkata lain. Hal buruk itu menimpa Kafka sebelum Kafka sempat bertemu Viola untuk terkahir kalinya.

Apa? Terakhir kalinya?
Apakah ini ....?

Tidak! Semoga saja tidak!

Saat ambulans tiba, Kafka segera dibawa ke rumah sakit untuk segera mendapatkan penanganan terbaik dari dokter.
Tidak tinggal diam, Arthur dan teman-temannya pun langsung mengikuti ambulans itu dan membiarkan motor Kafka di urus oleh polisi.

Tak lupa, Arthur mengambil cincin dan satu tangkai bunga mawar yang tersisa. Mungkin benda itu tidak penting bagi Arthur, tetapi sepertinya itu sangat penting untuk Viola.

Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung memberikan penanganan terbaik pada Kafka.
Sementara Arthur dan teman-temannya yang lain menunggu di luar.

Mereka semua tak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan Kafka.
Ada beberapa diantara mereka yang sudah benar-benar lemas dan hanya bisa menangis jika mengingat kembali bagaimana keadaan Kafka tadi.

"Viola udah tau, Bang?" tanya salah satu dari mereka pada Arthur.

Arthur menggeleng sebagai jawaban.
Sungguh, ia masih tidak berani untuk memberi tahu Viola. Ia bingung harus dengan cara apa memberi tahu adiknya tentang hal ini.
Arthur tahu, kalau Viola pasti akan hancur setelah mendengar kabar ini.

"Gue masih gak tau gimana caranya buat kasih tai dia. Gue takut ... Gue takut Viola gak bisa nerima ini semua," lirih Arthur.

Setelah itu, tak ada lagi yang berbicara dan suasana menjadi hening seketika.
Hanya terdengar suara jarum jam dan nafas berat mereka.

Semua mata hanya tertuju pada satu titik. Yaitu, pintu ruang rawat Kafka.
Mereka tak sabar menunggu sang dokter keluar dan memberikan kabar bahagia, bahwa Kafka baik-baik saja.

Ceklekk

Selang beberapa jam mereka menunggu, akhirnya pintu terbuka dan menampilkan seorang dokter dengan bercak merah di jas putihnya, yang sepertinya bercak merah itu adalah darah Kafka yang mengenai jas sang dokter.

57 Days Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang