57DS - 09

18 9 34
                                    

"Tapi apa?" tanya Ria saat melihat perubahan ekspresi wajah Viola yang awalnya terlihat sumringah, kini berubah menjadi lesu.

"Tapi kayaknya gue bakal berusaha buat menghapus perasaan ini secepatnya."

Dengan sekuat tenaga, Ria memukul lengan Viola bahkan menyubit pipi gadis itu. Viola meringis kesakitan saat Ria melakukan dua kekerasan sekaligus pada dirinya.

"Apaan, sih, Ri?" tanya Viola dengan kesal.

"Lo gila apa? Ngapain lo mau menghapus perasaan itu?" tanya Ria yang juga tak kalah kesalnya.

Ria bingung dengan temannya yang satu ini. Bisa-bisanya ia ingin menghapus perasaan yang baru saja timbul di hatinya.
Namun, Ria juga sempat berfikir kalau laki-laki yang ia sukai saat ini sudah ada gadis lain yang juga dekat dengannya. Mungkin, itulah salah satu alasan mengapa Viola ingin menghapus perasaannya.

"Gue gak bisa, Ri. Gue gak mungkin suka sama dia, sementara dia udah dekat sama Lidya." Ria terdiam mendengar jawaban Viola. Ternyata benar dugaannya, Viola tak mau mengambil Kafka dari Lidya yang sudah lama menyukainya.

Keduanya terdiam. Ria terlihat sedang berfikir keras, mencari cara agar Viola tidak memaksakan diri untuk menghapus perasaan itu, yang akhirnya juga akan membuat dirinya sendiri sakit hati.
Namun, Ria juga tak ingin kalau temannya dituduh sebagai 'gadis perebut' karena ia terus berusaha mendapatkan Kafka yang sudah cukup lama dekat dengan adik kelasnya.

Tak ada banyak waktu untuk mereka memikirkan hal seperti itu. Banyak hal-hal lain yang harus mereka lakukan sebelum deadline tiba.

Jadi, mereka memutuskan untuk menyingkirkan masalah itu sesaat.

Malam ini, karena ternyata jadwal pulang orang tua Viola diundur, akhirnya ia mengajak Ria untuk menginap di rumahnya lagi. Untungnya, Ria menerima ajakan itu dengan senang hati.

Drrtt drrtt

Baru saja duduk dan ingin merebahkan tubuhnya, tiba-tiba handphone Viola yang ada di meja bergetar beberapa kali.
Viola segera mengambil handphone nya dan menerima panggilan dari seseorang yang ternyata orang itu adalah Lidya.

"Halo, iya, Lid?"

"Kak, Vi. Besok jadi berangkat bareng aku, kan?" tanya Lidya di seberang telepon sana.

"Eee ... I-iya, Vi. Besok jemput gue ya."

"Siap, Kak. Ya udah gitu aja, ya. Dah ...."

Tutt

Setelah panggilan berakhir, Viola kembali meletakkan hp nya di atas meja, dan merebahkan tubuhnya sejenak seraya menunggu Ria selesai mandi.

Semua hal yang bersangkutan dengan perasaannya pada Kafka, kini kembali muncul pada pikirannya. Ia masih mencoba memikirkan hal apa yang membuatnya menaruh rasa pada Kafka.

"Udah, Vi," ucap Ria setelah gadis itu keluar dari kamar mandi.

Setelahnya, giliran Viola yang masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dari keringat dan kotoran yang menempel pada dirinya.

Sebenarnya, Viola ingin bercerita pada Ria. Namun, karena hari mulai petang, dan Viola sudah merasa lelah bahkan sampai rasa kantuknya terus menyerang. Akhirnya, gadis itu memilih untuk tidur lebih awal.
Tidak peduli meskipun sempat mendapat celotehan dari Ria karena Viola meninggalkannya sendiri.

Karena tak ada teman bergurau, seiring berjalannya waktu pun Ria mulai merasa ngantuk dan tertidur di kamar itu.

•••

Keesokan harinya, terlihat seorang gadis dengan gaun merah mudah dan rambut yang ia urai hingga membuat aura kecantikannya semakin bertambah.

Dia adalah Viola.

Yah, sesuai janji dengan teman-teman PMR nya bahwa hari ini setelah pulang sekolah, semua harus segera bersiap dan kembali berkumpul di depan gerbang sekolah, lalu berangkat bersama-sama mendatangi undangan pernikahan dari Pak Yuda.

Karena Viola malas membawa motor sendiri, akhirnya ia memutuskan untuk naik di boncengan Lidya saja. Itupun juga karena Lidya yang pernah memintanya.

"Happy Wedding, Pak."

"Selamat menempuh hidup baru, Pak Yuda dan istri."

"Di tunggu debay kembarnya, ya, Pak."

Begitulah kurang lebih celotehan para anak PMR saat telah sampai di pesta pernikahan pembinanya, yaitu Pak Yuda.

Setelah selesai melakukan sesi foto bersama, makan hidangan yang telah tersedia, lalu berbincang-bincang singkat dengan Pak Yuda dan istrinya, akhirnya inilah saatnya mereka untuk pulang.

"Pamit, dulu ya, Pak. Sekali lagi Happy Wedding," ucap salah satu dari mereka yang mewakili teman-teman lainnya.

Di perjalanan pulang, Viola dan Lidya saling bercerita tentang seseorang yang mereka sukai.

Bodohnya, Viola sempat tidak sadar bahwa laki-laki yang diceritakan oleh Lidya ini adalah Kafka. Laki-laki yang juga ia kagumi.

"Aku udah jadian sama Kak Kafka."

Degg

Tuhan, fakta menyakitkan apa ini.

Viola tak pernah berfikir sejauh ini. Ia tak pernah mengira kalau hubungan Kafka dan Lidya akan sejauh ini.
Viola pikir, ia masih memiliki hak untuk menyukai Kafka, bahkan membuat Kafka suka balik pada dirinya selagi hubungan Lidya dan Kafka masih sebatas adik dan kakak kelas.

Namun, semuanya berbeda sekarang. Mereka telah resmi menjadi sepasang kekasih. Salah besar jika Viola terus memaksakan perasaannya pada Kafka. Namun, menjadi sosok Viola juga tidak semudah itu.

"Kak," panggil Lidya saat ia tak mendengar jawaban apapun dari Viola.

"Eh, iya. Sejak kapan, Lid?" tanya Viola.

"Hari Jum'at, tanggal 6 Oktober, kemarin lusa ini, Kak." Suara Lidya terdengar sangat bersemangat saat menjawab pertanyaan itu.

Namun, berbeda lagi dengan isi hati Viola yang semakin tak karuan.

Lidya dan Kafka resmi menjalin hubungan pada hari Jum'at 6 Oktober.
Lalu, Viola mulai mengakui perasaannya pada Kafka sejak hari Sabtu 7 Oktober.
Yang terakhir, Viola mengetahui fakta menyakitkan bahwa Lidya dan Kafka telah resmi menjadi sepasang kekasih, pada hari Minggu 8 Oktober.

"Haha, gue suka sama cowok yang baru aja jadian sama adik kelasnya sendiri?"

"Sakit juga ternyata rasanya."

57 Days Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang