Saat upacara bendera sedang berlangsung, tiba-tiba sorot mata Viola dan Kafka saling bertemu.
Mereka memang tidak berada dalam satu barisan yang sama, tetapi masih ada sela untuk mereka saling melihat satu sama lain.Barisan Kafka berada di sebelah kiri Viola dan dibagian yang lebih depan dari gadis itu. Saat ia menoleh, disitulah tatapannya bertemu dengan Viola.
Viola yang terkejut pun langsung mengalihkan pandangannya dengan cepat. "Lo kenapa, Vi?" tanya Ria saat melihat Viola yang tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Anu-- gapapa, kok." Viola memilih untuk tidak memberi tahu Ria kalau dirinya baru saja kontak mata dengan Kafka.
Setelah beberapa menit berlalu, dan pelaksanaan upacara telah selesai, seluruh murid pun kembali ke kelasnya masing-masing dan menunggu guru mata pelajaran pertama memasuki kelas.
Tanpa disadari, Viola berjalan beriringan dengan Kafka saat menuju kelasnya. Kelas mereka memang bersebelahan, tetapi tak pernah sekalipun Viola beriringan dengan Kafka seperti ini.
Sebenarnya hal ini bisa dianggap biasa saja, tetapi tidak bagi Viola. Ada perasaan yang berbeda saat ia berada di samping Kafka."Gue duluan, Vi," ucap Kafka seraya melewati ruang kelas Viola.
Viola yang masih terkejut pun tak sempat menjawab ucapan lelaki itu. Ia masih terus memandangi Kafka dari belakangnya yang secara perlahan mulai memasuki kelas.
Bahkan, Viola juga tak sadar kalau ternyata Ria sudah tidak berada di sampingnya saat ini."Kemana tuh anak?" monolog Viola sambil celingukan mencari keberadaan Ria.
Dari arah yang berbeda, Ria datang dengan senyum yang lebih lebar dari tadi. Bahkan, mata gadis itu terlihat berbinar-binar.
"Lo masih sehat kan, Ri?" Bukannya menjawab pertanyaan Viola, Ria justru nyelonong masuk kelas sambil meloncat-loncat bahagia seperti anak kecil yang baru diajak memborong permen.
Viola yang bingung pun hanya menggelengkan kepalanya dan ikut berjalan memasuki kelas.
Bahkan, saat jam pembelajaran dimulai sampai pulang sekolah, Ria terus saja senyum-senyum tanpa menjelaskan alasannya pada Viola.
Plakk
Saking kesalnya, Viola memukul gadis itu yang dari tadi asik tersenyum sendiri. "Aww ... Sakit, Vi," keluhnya.
"Siapa suruh lo dari tadi senyum-senyum sendiri. Gak cerita sama gue lagi," kesal Viola.
"Lo tau gak, sih ...."
Ah, sepertinya Viola harus mencari tempat yang nyaman dan mengajak Ria bercerita di tempat itu saja. Karena, Viola memiliki feeling kalau cerita Ria ini akan lebih panjang dari biasa.
Toh, Viola juga ada sesuatu hal yang ingin dia ceritakan.Akhirnya, setelah berdebat antara pergi ke cafe atau ke rumah Ria, mereka pun memutuskan untuk membeli minuman dingin di Indomaret dan melanjutkan bercerita di rumah Ria.
"Lo tau gak, sih? Aknsjsjdjd." Lagi-lagi Ria hanya menunjukkan rasa saltingnya tanpa menceritakan alasannya terlebih dahulu.
"Jangan bikin gue ikutan gila," Ri," kesal Viola yang sudah tak sabar mendengarkan cerita Ria.
"Tadi, waktu selesai upacara, tiba-tiba topi gue jatuh." Saking gembiranya, Ria sampai lupa menyuruh Viola duduk dan menawarkan minuman pada gadis itu.
"Terus, awalnya gue gak sadar kalau topi gue jatuh. Sampai akhirnya, dia bantu ambilin dan ngasih topi itu ke gua. Dia juga ngingetin supaya gue lebih hati-hati. Karena kalau topinya ditemukan oleh siswa lain, mungkin tadika akan kembali pada pemiliknya." Ria menyelesaikan ceritanya seraya melemparkan barang-barang bawaannya ke kursi.
Hal itu membuat Viola merasa bingung.
Menurutnya, hanya bantuan kecil darinya pun mampu membuat Ria brutal seperti ini."Lo kenapa? Kelihatan gak bersembagat banget," protes Ria saat melihat respon Viola yang kurang heboh seperti biasanya.
Sementara Viola hanya menggeleng kecil sebagai jawaban. Viola menggeleng bukan tanda bahwa gadis itu baik-baik saja. Namun, karena Viola bingung bagaimana caranya saat ia. harus kembali menceritakan hal yang sama lagi.
Bayangan dimana Lidya mengatakan yang sebenarnya tentang hubungannya dengan Kafka, bahkan sampai tadi padi saat sepasang kekasih itu terlihat sangat romantis, hal itulah yang terus berputar dan berulang di pikiran Viola.
Sebenernya, tak ada yang mau memikirkannya hal seperti itu. Untuk apa pula sibuk memikirkan tentang hubungan orang lain.
Namun, Viola juga tidak bisa menghapus pikiran yang tiba-tiba datang itu."Lo masih kepikiran soal Lidya sama Kafka." Belum juga Viola bercerita, tetapi Ria sudah bisa paham dari raut wajah Viola yang tampak tak bersahabat itu.
Lagi-lagi Viola menggeleng membalas ucapan Ria.
"Kenapa rasanya jadi kayak gini, ya?" tanya Viola pada dirinya sendiri.
Karena tak tahu harus melakukan apa lagi, Ria pun memutuskan untuk mandi terlebih dahulu dan meninggalkan Viola yang masih sibuk berperang melawan apa yang ada di pikirannya sendiri.
"Oh iya, Vi. Lo tidur di rumah gue aja, ya?" tanya Ria.
"Tapi gue belum izin sama orang tua gue. Gak ada juga yang gue bawa buat baju ganti," celetuk Viola.
"Udah, tenanng aja. Nanti gue yang izinin lo, dan untuk masalah pakaian, lo bisa pakai punya gue. Oke, bye." Tanpa menunggu balasan dari Viola, Ria bergegas lari ke kamar mandi.
Setelah pintu tertutup, mulailah terdengar suara Ria yang bernyanyi di dalam kamar mandi. Seperti konser dadakan.
Namun, sepertinya memang itulah hal yang biasa dilakukan oleh kebanyakan perempuan saat ia akan mandi.
Untuk mengalihkan pikirannya agar tidak lagi memikirkan hubungan orang lain, Viola pun memutuskan untuk bermain hp dan menunggu Ria selesai mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
57 Days Story (END)
Fiksi RemajaAku menemukannya diantara banyaknya laki-laki yang ku kenal waktu itu. Kedatangannya yang begitu sederhana, mampu memberikan seribu rasa nyaman yang tak pernah nampak pada diri orang lain. Merangkai cerita dengannya adalah hal yang paling berwarna...