57DS - 14

4 2 0
                                    

"Jangan lupa kalau Kafka itu pacar orang. Jadi, lo jangan sampai kelewatan." Ucapan Ria benar-benar memberi tamparan pada Viola.

Namun, ingin mengelak pun tidak bisa. Karena apa yang dikatakan oleh Ria itu memanglah benar.
Bodohnya, Viola sempat melupakan kenyataan itu. Ia benar-benar larut dengan kedekatannya dengan Kafka pagi ini.

"Vi," panggilnya berusaha membuyarkan lamunan Viola.

Yang dipanggil hanya menoleh seraya tersenyum hambar. "Sabar," ucap Ria menenangkan.

"Bantuin gue, ya, Ri." Ekspresi wajah Viola terlihat serius dan penuh arti.

"Bantuin apa?" tanya Ria.

"Bantuin gue biar bisa jauh dari Kafka. Gue takut kejadian pagi ini terulang lagi, Ri. Gue juga takut kalau sampai Lidya lihat itu semua," jelas Viola.

Ria menepuk pundak gadis itu. "Semua itu tergantung sama niat lo, Vi. Kalau lo--" Ria menghentikan ucapannya saat tiba-tiba disela oleh Viola.

"Gue udah niat, Ri. Tapi entah kenapa sorot mata Kafka terlihat bener-bener indah buat gue, dan itu mampu membuat gue lupa dengan niat gue sendiri," keluh Viola.

Tak mau melihat temannya terus galau seperti ini, Ria pun memutuskan untuk membantu Viola sebisa mungkin.
Dengan cara apapun itu.

"Coba lagi, Vi. Gue akan bantuin lo," finish Ria.

"Thanks, Ri." Ria tersenyum menanggapi ucapan Viola.

•••

Waktu demi waktu terus berjalan, dan dua Minggu telah berlalu.
Selama dua Minggu ini, Viola berhasil menghindari Kafka secara perlahan.

Bahkan, seiring berjalannya waktu, Kafka juga sudah mulai jarang menggoda Viola.
Viola pikir, lelaki itu sudah bahagia dengan Lidya, dan mungkin ini saatnya untuk Viola benar-benar melupakan lelaki itu.

Namun, jarak antara mereka berdua hanya berjalan selama dua Minggu.
Sore ini, tiba-tiba Viola harus memulai pembicaraan lagi dengan Kafka, bahkan sampai harus saling mengirim dan membalas pesan WhatsApp satu sama lain.

Viola terpaksa melakukan itu.

Semua bermula saat tiba-tiba Arthur, Kakak Viola, menyuruh adiknya itu untuk mengirim pesan pada seorang laki-laki bernama Kafka.
Viola pikir Kafka yang dimaksud oleh Arthur bukanlah Kafka yang ia kenal.
Namun, ternyata dugaannya salah. Kafka yang dimaksud oleh Arthur adalah Kafka yang Viola kenal dan pernah ia kagumi.

Arthur menyuruh Viola untuk mengirimkan pesan penting pada Kafka dan mengatakan kalau itu dari Arthur, tetapi menggunakan nomor hp Viola.

Awalnya Viola sempat menolak dan menyuruh Arthur untuk minta tolong pada teman-teman lainnya saja. Namun, Arthur menolak dan terus memaksa agar Viola-lah yang membantunya mengirim pesan pada Kafka menggunakan nomornya.

Sebenarnya Arthur bisa menghubungi Kafka sendiri jika hp nya sedang baik-baik saja. Namun, sayangnya hp lelaki itu tiba-tiba rusak sore ini.

"Kak, aku gak mau," keluh Viola.

"Jangan pelit lo sama gue," sahut Arthur yang membuat Viola semakin kesal.

Akhirnya, dengan terpaksa Viola menuruti kemauan Kakaknya.
Setelah Arthur menyebutkan nomor Kafka, Viola pun segera menyimpannya dan mengirim pesan sesuai perintah Kakaknya.

Kafka

Viola: P

Kafka: siapa?

Viola: gw Viola

Kafka: Viola sp?


"Dih, sok cuek banget, sih, jadi orang," batin Viola saat membaca typing Kafka yang terkesan cuek.

Viola: Viola kls 12, yg kls nya di sbelah kls lo

Tak mau kalah dengan Kafka, Viola pun juga mulai mempersingkat typingnya pada Kafka.

Kafka: Viola kls sblah gue?

Viola: Y

Kafka: astaga Olalaaa

Viola: nama gw Viola bkan Olala!

Kafka: astagaaa Olalaa

Kafka: Sv nomor gue yaa

Viola sadar, jika ia terus meladeni Kafka, maka niat awalnya untuk melupakan lelaki itu seutuhnya akan gagal. Jadi, Viola pun memutuskan untuk langsung menekan tombol telepon agar Kakaknya bisa segera berbicara dengan Kafka.

"Halo, Kaf. Gue Arthur." Suara Arthur mulai menyapa Kafka yang berada di seberang sana.


"Kaf, nanti malam ...."

Karena tak mau terus mendengarkan pembicaraan antara Kakaknya dan Kafka, Viola pun memutuskan untuk pergi dari hadapan Kakaknya dan menuju ke dapur untuk membuat roti bakar dengan slay blueberry kesukaannya.

Saat pertama, aku melihat dirinya ....

Sambil membuat roti bakar, Viola mulai menyanyikan sebuah lagu random yang ada dipikirannya.

Meskipun bukan murid yang mengikuti ekskul musik, tetapi suara Viola juga tak kalah bagusnya dengan mereka yang mengikuti ekskul musik dan sudah sering sekali latihan.

Tatapan matanya indah, inikah jatuh cinta ....

Viola menyambung lirik lagu yang ia nyanyikan.

Ternyata dia, dia teman sekolah. Baper aku dibuatnya saat--

"Ehh?" Viola berhenti menyanyikan lagunya saat lirik itu tiba-tiba membuatnya teringat pada seseorang.

Yah, itu adalah Kafka. Bayangan dimana awal pertemuan antara dirinya dan Kafka, bahkan dua Minggu lalu disaat ia merasa benar-benar dekat dengan Kafka, semuanya kembali memenuhi ruang pikirannya.

Tanpa disadari, Viola tersenyum-senyum sendiri mengingat hal itu.
Dari arah belakang, Arthur datang dengan wajah bingung karena melihat adiknya yang senyum-senyum sendiri, bahkan lupa kalau dia sedang membakar roti.

"Viola," teriak Arthur seraya menepuk pundak Viola hingga membuat gadis itu tersadarkan.

"I-iya, Kak. Udah selesai telfonnya?"

Bukannya menjawab pertanyaan Viola, Arthur justru memberi isyarat pada Viola bahwa roti bakarnya sudah tak seperti roti lagi.

"Astaga, roti gue," heboh Viola.

Gadis itu bergegas mengangkat rotinya.
Arthur tertawa terbahak-bahak saat melihat wajah lesu Viola yang disebabkan karena rotinya yang sudah gosong. Warnanya benar-benar hitam dan sudah tak layak lagi untuk dimakan.

"Jangan ketawa, Kak. Kalau gini, kan, Viola gak jadi makan," celoteh Viola sambil melemparkan roti gosong itu ke atas piring.

"Siapa suruh lo ngelamun waktu lagi bakar roti. Makan, tuh, roti gosong." Tanpa rasa kasihan, Arthur masih terus tertawa meninggalkan Viola begitu saja setelah ia mengembalikan hp milik adiknya.

57 Days Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang