"Dengan keluarga pasien?" tanya sang dokter sambil menatap mereka satu persatu.
"Kita semua keluarganya," sahut Arthur dengan cepat.
"Bagiamana keadaan Kafka?"
"Dia baik-baik aja, kan?"
"Bang Kafka gak kenapa-napa, kan, Dok?"
Dokter itu langsung diserbu oleh banyaknya pertanyaan dari teman-teman Kafka. Bahkan, sang dokter pun melihat wajah penuh harap mereka akan keselamatan Kafka.
"Dok?" Kini giliran Arthur yang bersuara.
Ia ikut bertanya karena cukup lama sang dokter tidak menjawab pertanyaan teman-temannya.Tubuh mereka terasa lemas saat sang dokter menggeleng dengan menundukkan kepalanya.
"Maaf ...."
Beberapa diantara mereka mulai limbung dan terperosok ke lantai. Sementara yang lainnya masih berusaha kuat dan berfikir positif. Sebelum sang dokter menyelesaikan kata-katanya, mereka masih memiliki harapan bahwa tidak terjadi apa-apa pada Kafka.
Meskipun ... Kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan harapan baik mereka.
"Maaf. Tapi, Tuhan lebih sayang dengan pasien."
"Dia ...."
"Telah meninggal dunia."
Degg
Tak ada lagi semangat pada diri mereka untuk mendapatkan kabar baik dari sang dokter.
Semuanya telah terjadi.Kafka ....
Laki-laki itu telah pergi meninggalkan teman-temannya, termasuk meninggalkan gadis yang ia sayang dan juga menyayanginya."Bang, mau kemana?" tanya mereka saat melihat kepergian Arthur.
Arthur pergi dengan membawa setangkai bunga mawar dan cincin yang tersisa tadi.
Lelaki itu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi dan air mata yang terus mengalir deras.Terlihat sangat jelas jika kepergian Kafka membuat luka yang sangat dalam bagi Arthur, hingga lelaki itu menangis sehebat ini.
Sesampainya lelaki itu di rumah, ia langsung berteriak mencari adiknya.
"Vi ... Viola ...."
"Apaan, sih, Kak? Jangan--"
Grepp
Belum sempat Viola menyelesaikan ucapannya, tetapi Arthur langsung limbung ke dalam pelukannya dan menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan sang adik.
Sebelum Arthur menguatkan Viola nanti, ia ingin terlebih dahulu menenangkan dirinya di dalam pelukan sang adik saat ini.
"K-kakak kenapa?" tanya Viola dengan gugup.
Setelah sedikit tenang, Arthur melepaskan pelukan itu, lalu memberikan setangkai mawar dan cincin yang ia bawa tadi.
Terdapat darah yang terciprat pada kotak cincin berwarna putih dan tangkai hijau bunga mawar itu."I-ini apa, Kak?"
Ingin sekali rasanya Arthur menjawab pertanyaan adiknya. Namun, sungguh ia tidak akan tega melihat hancurnya Viola setelah mengetahui fakta yang sebenarnya nanti.
"Itu ...."
"Apa, Kak?" tanya Viola pada Arthur yang menggantung kata-katanya.
"Itu bunga dan cincin dari Kafka." Akhirnya, dengan berat hati Arthur bisa mengatakan hal itu pada Viola.
Namun, ada beberapa hal yang membuat Viola semakin bingung.
Mengapa Arthur pulang ke rumah dengan keadaan menangis seperti ini? Masalah apa yang menimpa lelaki itu?

KAMU SEDANG MEMBACA
57 Days Story (END)
Fiksi RemajaAku menemukannya diantara banyaknya laki-laki yang ku kenal waktu itu. Kedatangannya yang begitu sederhana, mampu memberikan seribu rasa nyaman yang tak pernah nampak pada diri orang lain. Merangkai cerita dengannya adalah hal yang paling berwarna...