57DS - 04

12 8 14
                                    

Pagi ini, semua murid menjalani pagi seperti biasanya. Di mana mereka harus masuk ke dalam kelas saat bel berbunyi, lalu ada jam untuk istirahat, melanjutkan pembelajaran, dan saatnya untuk pulang.

"Vi," panggil sebuah suara yang membuat Viola langsung menghentikan langkahnya.

Yah, saat ini adalah waktu pulang sekolah telah tiba. Seorang gadis bernama Luna, yang juga teman kecil Viola, kini terlihat berlari kecil ke arah Viola.

"Jangan lupa, hari Minggu tanggal 8 kita diundang ke acara pernikahan Pak Yuda."

Selain guru matematika di kelas Viola, Pak Yuda juga seorang pembina di ekskul PMR. Di pernikahannya tanggal 8 Oktober itu, ia memutuskan untuk mengundang semua anak PMR agar datang ke pernikahannya. Namun, ternyata tidak semua bisa hadir. Jadi, mungkin hanya beberapa siswa yang menjadi perwakilan saja yang bisa hadis ke pesta pernikahan Pak Yuda.

"Jam berapa?" tanya Viola.

"Untuk jamnya nanti kita diskusikan lagi di grub," sahut gadis itu yang langsung mendapatkan anggukan kepala dari Viola.

Setelah selesai, Viola pun pamit untuk pulang terlebih dahulu. Sementara Luna, gadis itu masih akan memberitahu teman-teman lainnya tentang undangan dari Pak Yuda itu.

Sementara di sisi lain, seorang laki-laki tengah asik bersantai sambil memainkan hp dan sebatang rokoknya yang hampir habis.
Di saat teman-temannya yang lain sedang asik berbicara, lelaki itu justru memilih untuk tetap fokus dengan hp nya sendiri.

"Woy, udah main hp nya," ucap salah satu temannya.

Kafka memang tidak menjawab ucapan itu, tetapi seketika ia langsung mematikan hp nya dan ikut bergabung dengan pembicaraan teman-temannya.

"Gimana sama cewek itu, Ka?" tanya salah satu di antara mereka.

"Dia kemarin tiba-tiba nanyain tentang hubungan kita, dan gue juga sempat bingung mau jawab gimana." Kafka menceritakan saat-saat di mana kemarin Lidya menanyakan tentang kejelasan hubungannya.

"Ya udah, tembak aja buruan. Lo kan jomblo," komentar lainnya.

Kafka berfikir sejenak. Memang benar dirinya ini sedang sendiri tanpa sosok pendamping. Namun, kedekatannya dengan Lidya saat ini belum bisa membuat dirinya memiliki rasa cinta pada gadis itu.
Mana mungkin Kafka mau menjadikan Lidya pacarnya, sementara perasaan Kafka pada Lidya pun masih bisa di bilang biasa saja.

"Tapi gue gak cinta sama dia," jawab Kafka yang mampu membuat beberapa temannya terkejut. Ingat hanya beberapa yang terkejut, sementara lainnya hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Kafka.

Mereka sudah tahu bagaimana Kafka sebenarnya. Lelaki itu bisa saja membuat nyaman seorang perempuan, atau bahkan berpura-pura mencintainya. Namun, kenyataan yang terjadi, Kafka justru tidak ada rasa sedikitpun pada gadis itu.

"Mumpung lagi jomblo, Ka. Yakin lo mau jomblo lama-lama." Kafka mengangguk setuju dengan ucapan itu.

Ia terlihat berfikir sejenak sebelum akhirnya Kafka kembali membuat hp nya dan mengirimkan pesan WhatsApp pada nomor seseorang.

"Lihat aja paling lama lusa, pasti status jomblo gue akan lenyap," ucap Kafka dengan senyum penuh arti.

Apakah Kafka memainkan hati perempuan? Yah, jika memang itu yang ingin dilakukan oleh Kafka, kita juga tidak bisa melarang. Toh, teman-teman dekatnya justru mendukung laki-laki itu.

Apakah ini jahat? Yah, Kafka tahu kalau perbuatannya ini termasuk jahat dan bisa menyakiti hati orang lain. Namun, kata Kafka inilah caranya untuk mencari gadis yang tepat.
Kafka pernah berfikir, kalau ada sosok perempuan yang tidak mudah tertarik, atau bahkan merasa risih karena gombalan maut yang sering Kafka keluarkan, maka Kafka akan terus memperjuangkan gadis itu hingga ia mendapatkannya. Karena itulah gadis yang dicari oleh Kafka.
Gadis yang tidak mudah luluh hanya karena ucapan manis laki-laki. Namun, sampai saat ini Kafka masih belum menemukan yang seperti itu.

"Widih, gila temen gue. Langsung sat set aja," goda salah satu teman Kafka.

Sementara di sisi lain, kini terlihat Viola dan Ria yang mulai melangkahkan kakinya memasuki sebuah rumah yang sama.
Saat ini, Ria akan menginap satu malam di rumah Viola. Sebenarnya Ria tak ingin melakukan itu jika bukan paksaan dari temannya yang satu itu.

Viola sengaja menyuruh Ria untuk menginap di rumahnya karena malam ini orang tua Viola tak ada di rumah. Mereka pergi ke luar kota selama 3 hari dan katanya untuk menyelesaikan pekerjaan.

Viola bukannya tidak berani di rumah sendiri. Namun, karena ia merasa ingin menceritakan banyak hal pada Ria, mungkin ini kesempatan yang tepat bagi dirinya. Apalagi tidak ada orang tuanya di rumah, jadi Viola bisa semakin leluasa untuk bercerita di mana saja.

"Gue mandi dulu, ya. Habis itu gantian lo," ucap Viola yang kemudian langsung melangkah memasuki kamar mandi.

Sementara Ria, gadis itu masih terus melihat-lihat deretan foto keluarga yang tersusun rapi di ruang tamu.
Banyak sekali foto Vioala dengan kedua orang tuanya. Foto sejak Viola kecil sampai beranjak dewasa seperti sekarang ini.

Perasaan iri mulai muncul di hati Ria. Sejak kecil, ia jarang sekali mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Papa dan mamanya yang sering bertengkar sampai-sampai mereka tak ada waktu untuk putri sulungnya itu.

"Ri, udah buruan mandi." Tanpa terasa, ternyata Rua cukup lama memandangi foto-foto itu, bahkan sampai Viola selesai mandi.

"I-iya, Vi," jawab Ria gugup.

"Lo kenapa, Ri?" tanya Viola seakan paham bahwa Ria sedang tidak baik-baik saja.

"Gue iri sama lo, Vi. Kapan ya keluarga gue bisa kayak gini?" tanya Ria sambil terus menatap foto keluarga Vioala yang terlihat bahagia.

Karena tak tega melihat temannya sedih, akhirnya Vioala pun memberi pelukan hangat pada Ria dan membantu gadis itu untuk sedikit meredakan perasaan sedihnya.

"Udah sana buruan mandi, bau nih," goda Viola yang mampu membuat Ria tertawa meskipun hanya tawa kecil.

"Apaan, sih," sahut Ria kesal.

"Eh, Vi."

"Hmm?"

"Lo tadi dicariin tau."

"Sama siapa?"

"Sama si Kafka, hahaha."

57 Days Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang