57DS - 18

3 2 0
                                    

"Adik gue ...."

"Adik gue ketusuk pecahan kaca."

Baik Kafka, Farhan maupun Faris, mereka sama-sama terkejut mendengar jawaban Arthur.

"Maksudnya Viola, Bang?" tanya Kafka.

Melihat Arthur mengangguk, tiba-tiba rasa panik Kafka semakin bertambah. Bahkan ia sempat ingin mencari tahu apa penyebab dari kejadian ini.

"Kok bisa?" tanya Kafka.

"Waktu gue pulang tadi, gue lihat ada cowok pakai jaket hitam yang berdiri tepat di depan rumah gue. Dan dia kelihatan senang banget waktu berhasil bikin kaca jendela kamar Viola pecah. Akhirnya, pecahan kaca itulah yang menancap di tangan Viola," jelas Arthur panjang lebar.

Suasana menjadi hening setelah Arthur menjelaskan hal tersebut. Mereka tak berani menjawab karena takut menambah beban pikiran Arthur. Dari sorot matanya saja, sudah terlihat bahwa pikiran laki-laki itu sedang kacau saat ini.
Pikiran itu akan kembali baik-baik saja jika ia sudah mendapat kabar bahwa Viola tidak apa-apa.

"Permisi, dengan keluarga pasien?" Semua menoleh saat seorang dokter keluar dari ruang rawat Viola.

"Saya! Saya Kakak nya," jawab Arthur dengan antusias.

"Alhamdulillah ... Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari keadaan pasien. Semua sudah baik-baik saja, kita hanya tinggal menunggu pasien sadar." Semua bernafas lega mendengar penjelasan dokter.

"Makasih, dok," ucap Arthur yang dibalas anggukan oleh dokter itu.

Sang dokter pun pergi dari hadapan mereka. Kini, wajah Arthur terlihat lebih tenang. Bisa dilihat juga, bahwa rasa khawatir Arthur sudah mulai berkurang karena ia telah mendapat kabar bahwa adiknya baik-baik saja.

"Gue ke dalam dulu, ya," pamit Arthur pada teman-temannya.

Malam ini, karena Arthur menjaga Viola di dalam, maka Farhan, Faris dan Kafka pun memutuskan untuk ikut menjaga Viola, tetapi dari luar.
Karena mereka tahu, kalau sepertinya saat ini mereka sedang tidak aman.

Sebenarnya mereka tidak sedang ada masalah dengan siapapun. Namun, siapa tahu ini semua adalah ulah seseorang yang benci pada salah satu dari mereka.

Namun, pikiran Farhan, Faris dan Kafka hanya tertuju pada musuh Kafka yang kalah tadi. Bisa saja lelaki itu tak terima dengan kekalahannya, dan berakhir balas dendam pada orang terdekat salah satu diantara mereka, seperti Viola yang statusnya adalah adik dari Arthur.

"Kak ...." Arthur yang awalnya tertunduk, kini mulai mendongak karena mendengar suara panggil dari adiknya.

"Vi, lo udah sadar, Vi?" tanya Arthur yang masih tak percaya.

Viola mengangguk pelan menjawab pertanyaan Kakak nya.
Sementara Arthur, saking senangnya lelaki itu, ia sampai tak tahan untuk tidak memeluk adiknya. Namun, Arthur juga tahu kalau ada bagian tangan Viola yang tidak boleh disentuh sembarang karena lukanya yang masih basah.

"Kak, sakit ..." rintih Viola.

"Masih sakit? Hmm?" tanya Arthur.

"Dikit," sahutnya.

Karena hari sudah malam, Arthur pun menyuruh Viola untuk segera makan dan meminum obatnya lalu tidur.

"Gue suapin, ya," tawar Arthur dengan lembut.

"Gak mau, Kak. Aku masih kenyang." Viola terus saja menolak hingga membuat Arthur mulai merasa kesal.

Namun, Arthur juga paham akan kondisi. Ia tahu bahwa orang sakit memang susah di suruh makan, bisa jadi karena tidak nafsu, atau mungkin karena mulutnya yang tidak enak untuk makan.
Jadi, tidak seharusnya Arthur marah karena Viola yang harus memberontak.

"Viola, makan, ya ... Biar lo bisa cepat sembuh." Dengan kesabarannya, Arthur terus membujuk sang adik agar mau makan meskipun hanya tiga sampai lima suap saja.

Di sinilah Viola melihat perbedaan sikap Arthur pada dirinya.
Saat di rumah, Arthur senang sekali menjahili Viola. Namun, saat dalam keadaan seperti ini, Arthur tetap sabar menasehati dan menjaga adiknya.

"Udah." Baru dua sendok yang masuk ke dalam mulutnya, Viola sudah tidak mau makan lagi.

"Tiga sendok lagi, Dek," ucap Arthur.

"Gak mau, Kak. Makanannya gak enak, hambar," ucap Viola dengan suara yang cukup lantang.

"Makanan di rumah sakit emang gitu, dek. Kan buat orang sakit, jadi makanannya gak boleh terlalu berasa." Bukan Arthur yang menjawab, tetapi dokter yang baru saja masuk membawakan obat dan tak sengaja mendengar ucapan Viola.

"Hehe ... Iya, Dok," sahut Viola yang merasa malu.

Akhirnya, dengan terpaksa Viola pun melanjutkan makannya, tetapi tetap disuapi oleh Arthur.

"Setelah makan, obatnya langsung diminum, lalu tidur, ya. Istirahat," ucap sang dokter yang dibalas anggukan oleh Arthur dan Viola.

"Makasih, Dok," ucap Arthur sebelum dokter itu benar-benar keluar dari ruangan.

"Sama-sama. Cepat sembuh, ya." Viola tersenyum manis saat dokter itu memberinya semangat.

Setelah lima suapan, Viola benar-benar tak mau lagi membuka mulutnya untuk memakan makanan itu.

"Dikit lagi, Dek," ucap Arthur yang berusaha membujuk Viola.

"Gak mau, Kak. Tadi, kan, katanya lima suap aja gapapa, kok sekarang malah nambah, sih. Udah pokoknya aku gak mau lagi." Arthur menghembuskan nafas pasrah mendengar jawaban panjang Viola.

Setelahnya, Arthur segera memberikan obat yang tadi dibawakan oleh dokter.

"Nih, minum," ujar Arthur seraya memberikan obatnya pada Viola.

"Ihh, banyak banget obatnya. Gimana kalau Kakak aja yang minum," ucap Viola yang membuat Arthur kebingungan.

"Kan, yang sakit lo. Kok malah gue yang di suruh minum obat, sih," sahut Arthur.

Arthur masih belum paham dengan alasan Viola yang justru menyuruh dirinya saja yang meminum obat itu.

"Jadi, Kakak yang minum obat, terus nanti aku yang sembuh, deh." Arthur semakin tak paham dengan arah pembicaraan adiknya yang semakin tak karuan.

"Kan kita sedarah, Kak. Aku lahir dari rahimnya Mama, Kakak juga lahir dari rahimnya Mama. Kita itu satu pabrik." Dengan polosnya Viola mengatakan hal seperti itu.

"Jadi, mungkin aja, kan, obat yang Kakak minum itu bisa mengalir ke darah aku juga, dan akhirnya aku sembuh, deh. Ingat, Kak, kita kan sedarah."

Arthur benar-benar tak mampu menahan tawanya setelah paham dengan maksud pembicaraan Viola.

"Ya, gak bisa gitu, lah," kekeh Arthur.

"Tapi kena--"

"Udah, jangan banyak omong! Cepat minum obatnya, habis itu tidur." Belum sempat Vioal menyelesaikan ucapannya, tetapi Arthur sudah memotongnya begitu saja.

Mau tak mau, Viola harus meminum semua obat itu.
Untungnya, ada efek mengantuk dari obat itu yang membuat Viola sudah tertidur lelap saat ini.
Arthur bersyukur karena adiknya bisa tidur dan tidak menyeloteh lagi di malam ini.

57 Days Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang