57DS - 05

17 7 10
                                    

"Sama si Kafka."

Plakk

Satu pukulan mendarat mulus di lengan Ria gara-gara ia mengatakan hal itu pada Viola.

"Sakit, Vi," ringis Ria.

"Siapa suruh lo ngomong kayak gitu," kesal Viola.
Ria cengengesan karena puas saat melihat ekspresi kesal Viola.

Sejak awal pertemuan antara Kafka dan Viola, Ria sudah melihat kecocokan antara mereka. Bahkan, Ria sempat memiliki feeling kalau mereka berdua sama-sama jatuh cinta pada pandangan pertama. Namun, keduanya sama-sama gengsi untuk mengakui.

Ada satu fakta yang membuat Ria merasa kesal, yaitu saat tadi sore ia bertemu dengan adik kelasnya yang ternyata sedang makan berdua dengan Kafka. Padahal, Ria ingin sekali menjodohkan lelaki itu dengan temannya yang satu ini.

"Vi."

"Ri."

Keduanya saling memanggil secara bersamaan. Akhirnya, Viola pun mengalah dan mempersilahkan Ria untuk berbicara terlebih dahulu.

"Lo mau gak gue bantu dekat sama Kafka," ucap Ria yang langsung membuat Viola menatapnya penuh makna.

Baru saja Viola ingin menceritakan tentang Kafka pada Ria, tetapi ternyata Ria juga memiliki pemikiran yang hampir sama dengan dirinya.

"Gak, ah. Malas gue," elak Viola.

"Vi, kita ini bukan baru kenal kemarin sore. Gue udah kenal lo sejak lama ...." Ria menggantung kata-katanya.

"Gue tau kalau waktu pertama lo ketemu sama Kafka, tatapan lo udah kelihatan beda, Vi," lanjut Ria.

Viola bungkam mendengar ucapan temannya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Ria.
Sejak pertemuan pertama, lelaki itu mampu terlihat beda di mata seorang Viola. Sorot matanya yang mungkin biasa saja, tapi terlihat indah dan teduh bagi Viola.
Bahkan, senyum kecilnya mampu menyentuh hati mungil Viola.

"Gue juga bingung sama perasaan gue sendiri, Ri." Viola mulai membuka suara dan menceritakan tentang laki-laki yang baru saja ia temui beberapa hari lalu.

Sebenarnya, Viola dan Kafka adalah murid satu angkatan. Namun, tak pernah ada interaksi antara mereka berdua selama dua tahun lalu. Tahun ke tiga inilah interaksi pertama antara mereka berdua, itupun hanya sebatas kata maaf dan perkenalan singkat.

"Jujur, Vi. Lo suka sama dia?" tanya Ria.

"Gue gak tau, Ri. Gue bingung. Tatapan dia ke gue ...." Viola menggantung ucapannya.

"Tatapan itu gak pernah gue lihat pada diri orang lain. Gue merasa nyaman sama tatapan itu, Ri," lanjutnya.

Semakin diteruskan, Ria juga semakin ikut bingung dengan perasaan temannya ini.

"Gue juga gak bisa segampang itu buat suka sama Kafka--"

"Karena tadi lo lihat dia makan bareng sama Lidya?" tanya Ria yang memotong ucapan Viola.

"Eh bentar, Vi. Kayaknya kita ngelupain sesuatu, deh," ucap Ria yang membuat Viola menaikkan sebelah alisnya dan mengernyit bingung.

"Apa?"

"Lo lupa waktu itu kita pernah dengar kalau Kafka sama Lidya itu masih PDKT. Jadi, masih ada kesempatan buat lo dekatin Kafka." Viola mendelik mendengar ucapan terakhir gadis itu.

"Hah? Gue dekatin Kafka? Heh, sorry banget, meskipun gue suka sama Kafka gue gak bakal dekatin dia dulu, gengsi banget, anjir." Vioal menyahutinya dengan kesal.

Setelah cukup lama mereka menceritakan tentang Kafka, akhirnya rasa kantuk pun mulai menyerang, dan membuat mereka tertidur lelap saat waktu sudah menunjukkan pukul 22.00.

Di sisi lain, sosok laki-laki dengan jaket dan celana hitamnya, terlihat sedang merapikan rambutnya di depan cermin sebelum ia benar-benar keluar dari rumahnya.

"Kenapa gue jadi kepikiran sama cewek itu, ya?" tanya Kafka pada dirinya sendiri.

Malam ini, Kafka bersiap untuk pergi ke arena dan melakukan balap liar seperti biasanya.
Sebenarnya Kafka tahu kalau hal itu dilarang, tetapi bukan Kafka namanya jika menuruti larangan itu.

Setampan-tampannya Kafka, tetapi lelaki itu masih jauh dari kata good boy.
Balapan, merokok, bahkan mabuk sudah seperti sebuah rutinitas bagi seorang Kafka.

Setiap malam saat bertemu dengan teman-temannya, setelah selesai balapan, mereka selalu membeli minuman keras dan meminumnya bahkan ada yang sampai tidak sadarkan diri.

Keluarga?

Tidak, keluarga Kafka tidak seindah keluarga lainnya. Mungkin itulah salah satu alasan seorang Kafka menjadi seperti ini.

Meskipun begitu, tetapi Kafka sangat beruntung dalam hal pertemanan. Banyak teman-temannya yang selalu mendukung dan selalu ada bagi Kafka. Bahkan, saat Kafka baru mengenal seseorang di arena balap, mereka bisa akrab dengan cepat. Itu semua karena Kafka terlihat asik untuk diajak berteman.

"Kamu mau kemana, nak?" tanya seorang wanita paruh baya yang ternyata itu adalah mama Kafka. Lebih tepatnya mama tiri Kafka.

"Bukan urusan tante," sahut Kafka tanpa menoleh sedikitpun.

Bagi Kafka, tak ada seorang pun yang bisa menggantikan mamanya.
Dulu, Kafka sempat melarang papanya untuk menikah lagi, tetapi sang papah terus memaksa dengan alasan demi kebaikan Kafka.
Kata sang papa, hidup Kafka akan menjadi lebih damai karena ia mendapat mama baru yang bisa memasakkan sarapan untuknya, bahkan membersihkan seisi rumah.

Namun, ingatlah kalau Kafka ini juga keras kepala. Jadi, seperti apapun rayuan papanya, Kafka tidak akan pernah luluh dan tidak akan pernah menerima perempuan asing itu.

"Kamu bisa gak, sih, jangan suka keluar malam. Kamu itu harusnya--"

"Bacot." Umpat Kafka memotong pembicaraan mama tirinya.

Dengan segera, Kafka melangkah keluar dari rumahnya dan bergegas menuju sebuah tempat yang sudah diberitahukan oleh teman-temannya untuk mereka berkumpul dan pergi ke arena bersama-sama.

57 Days Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang