57DS - 07

21 11 49
                                    

"AAAA ... RIAA TOLONG ...."

"HATI GUE ...."

Bughh

"Aduh ...." Saking brutalnya Viola, gadis itu berlari tanpa melihat sekitarnya hingga ia tersandung kaki meja dan jatuh tepat di hadapan Ria.

Ria tak lagi mampu menahan tawanya saat melihat wajah polos Viola. Bisa-bisanya setelah terjatuh gadis itu tidak langsung berdiri, tetapi justru mendongak dan menatap Ria dengan wajah melas.

"Kenapa, sih, Vi? Lo dikejar setan?" tanya Ria dengan sisa-sisa tawanya.

Setelah meraih tasnya, Viola langsung berdiri sambil meringis karena merasakan sakit pada bagian kakinya.

"Udah jangan ketawa terus, Ri." Wajah Viola terlihat merah menahan malu.

"Lagian lo, sih, malam-malam ngapain heboh gitu?" tanya Ria.

Bukannya menjawab, Viola justru langsung menarik tangan Ria dan mengajaknya ke kamar. "Lo tunggu sini dulu," ucapnya.

Setelah menyuruh Ria untuk menunggu di kamar, Viola langsung bergegas pergi ke kamar mandi dan meninggalkan Ria yang masih kebingungan.

"Gila apa tuh anak," gerutu Ria.

Setelah sepuluh menit berlalu, Viola kembali dengan ekspresi wajah seperti orang tanpa dosa. Ia senyum-senyum tak jelas dan membuat Ria semakin jengkel karenanya.

"Apaan, sih, Vi?" kesal Ria.

"Sstt ... Lo mau dengar cerita gue gak?" tanya Viola seraya duduk di sebelah Ria.

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.45. Dua gadis yang tadi sudah tertidur, lalu terbangun karena lampu yang tiba-tiba mati. Kini, salah satu di antaranya terlihat ceria dan tak ada rasa kantuk sedikitpun pada dirinya.

"Eh bentar, deh. Kok lampunya udah nyala?" tanya Viola yang merasa heran.

Karena ia kira lampu akan mati cukup lama, itu sebabnya Viola memutuskan untuk keluar membeli lilin.
Namun, ternyata saat ia kembali rumahnya sudah terlihat terang dengan semua lampu yang sudah kembali menyala seperti semula.

"Iya, tadi waktu lo keluar lampunya udah nyala lagi. Gue udah coba telfon lo, tapi malah gak aktif," sahut Ria.
Viola mengangguk-anggukkan kepalanya paham.

"Lo mau dengar cerita gue?" tanya Viola sekali lagi.

"Gue udah ngantuk, Vi. Besok--"

"Ini tentang Kafka."

Mata Ria langsung terbuka selebar-lebarnya saat mendengar jawaban Viola yang sempat memotong ucapannya.

"Kafka?" tanya Ria dengan suara yang terdengar mulai bersemangat.

"Dih, giliran bahas Kafka aja semangat lo. Suka lo sama dia?"

Plakk

Satu pukulan yang cukup keras mendarat mulus di lengan Viola. Pukulan itu berasal dari Ria.

"Gila lo. Ya gak mungkin, lah, gue suka sama Kafka. Idaman gue tetap ayang Rio tercinta," celetuk Ria yang membuat Viola berusaha menahan tawanya.

"Ayang lo emangnya?" Pertanyaan Viola langsung membuat Ria berhenti tersenyum seketika.

"Ayang orang, sih," sahut Ria dengan lesu.

Eitss, Ria bukan seorang pelakor yang merebut Rio dari ceweknya, ya.
Sejak kelas 12 ini, perasaan itu mulai muncul pada hati Ria. Awalnya, Ria merasa memiliki kesempatan untuk bisa mendapatkan hati Rio, karena selama di sekolah, Rio terlihat friendly padanya.

Namun, ternyata Ria menemukan sebuah fakta bahwa ternyata Rio sudah memiliki seorang kekasih yang berbeda sekolah dengannya.
Meskipun begitu, rasa sukanya pada Rio tak berkurang sedikitpun. Tak ada niatan di hati Ria untuk merebut Rio dari ceweknya, tetapi tidak ada salahnya juga jiak Ria berharap hubungan mereka akan segera berakhir dengan sendirinya.

"Ria dan Rio. Nanti kalau punya anak cowok namanya Riko, terus kalau anaknya cewek namanya Rika. Jadi, Ria dan Rio punya anak namanya Riko dan Rika," celetuk Viola yang tanpa sadar membuat Ria salah tingkah sendiri.

"Udah, ya, Vi. Jangan bikin gue makin gila."

"Hahaha," tawa mereka meledak secara bersamaan.

Setelah selesai membahas Rio, kini Viola dengan semangatnya memulai cerita tentang Kafka.

"Lo tau gak, sih?"

"Enggak, lah, kan lo belum cerita," sahut Ria tiba-tiba.

"Ihh, makannya dengarin dulu, anjir," kesal Viola.

Sebelum benar-benar larut dalam cerita Viola, Ria membenarkan posisi duduknya yang sedikit kurang nyaman.

"Tadi waktu gue mau pulang, tiba-tiba ada cowok bermasker yang datang ke arah gue, terus dia--"

"Itu Kafka?" tanya Ria yang memotong pembicaraan Viola.

Viola menghembuskan nafas kasar karena ia baru saja mulai cerita, tetapi sudah dipotong begitu saja.

"Bukan. Dengar dulu sampai gue selesai cerita."

"Oke, lanjut," sahut Ria.

Viola menarik nafas dan menghembuskannya pelan sebelum ia kembali melanjutkan ceritanya. "Terus tiba-tiba tangan gue ditarik sama cowok bermasker itu."

Ria semakin memasang telinganya untuk mendengar kelanjutan cerita itu.

"Kayaknya, sih, dia orang jahat. Sialnya waktu gue teriak minta tolong, itu gak ada yang datang sama sekali. Waktu gue hampir dipukul sama tuh cowok, tiba-tiba ada yang datang nyelamatin gue." Viola menghentikan ceritanya dengan senyum yang mulai mengembang.

"Lo tau dia siapa?" Ria menggeleng tak tahu saat ditanya oleh Viola.

"Dia adalah Kafka."

Semua hening seketika. Baik Viola maupun Ria tak ada yang mengeluarkan suara lagi. Mereka masih saling menatap satu sama lain, dengan ekspresi wajah Viola yang terlihat sedang menahan senyum, dan Ria yang masih terkejut akan hal itu.

"Beneran, Vi?" tanya Ria yang membuat Viola dengan antusias menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Keheningan seketika hilang saat Viola kembali melanjutkan ceritanya. "Lo tau apa yang terjadi selanjutnya?"

"Kafka belain gue, dan berujung berantem sama tuh cowok. Awalnya gue sempat ketakutan saat Kafka hampir aja limbung karena dia kena pukul. Tapi, dengan beraninya, Kafka kembali bangkit dan menghajar cowok itu habis-habisan." Viola melanjutkan ceritanya dengan ekspresi wajah yang tak kalah excitednya.

"Asal lo tau, Kafka berdamage banget, anjir. Aaaaaaaa ...." Viola berteriak heboh di akhir ceritanya.

Ria geleng-geleng kepala saat melihat Viola yang salah tingkah. Mulai dari Viola yang melemparkan boneka-boneka pada Ria, lalu memukul-mukul lengan, mencubit pipi Ria dengan gemas, bahkan sampai meloncat-loncat di atas kasur.

Wow, sangat brutal ya satu cewek ini kalau lagi salah tingkah.

"Vi, udah astaga. Iya, gue tau Kafka berdamage, dan gue tau lo lagi salting. Tapi, jangan jadiin gue korban dari rasa salting lo, anjir. Sakit semua lengan gue lo pukul kayak gini," kesal Ria.

Sementara Viola hanya cengengesan tanpa rasa bersalah.

"Sumpah, Ri. Berdamage banget ayang gue." Viola menutup mulutnya dengan kedua tangannya saat ia menyadari bahwa ucapannya sangat di luar fakta.

"Apa? Lo bilang apa tadi? Ayang lo?" tanya Ria yang dibalas gelengan kuat oleh Viola.

"Enggak. Itu-- anu ...." Ria tertawa puas melihat temannya yang kebingungan memberi jawaban.

"Udah mulai suka sama Kafka?" tanya Ria.

Viola berusaha mencari cara untuk mengalihkan Ria dari pertanyaan itu.

"Tidur yuk, Ri. Udah malam," ucap Viola.

"Heh, jangan pindah topik, anjir. Jawab dulu." Mau tak mau, Viola harus menjawab pertanyaan Ria.
Yah, tentunya karena memang dipaksa menjawab oleh Ria

"Lo udah mulai suka sama Kafka?"

"Kayaknya sih ...."

57 Days Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang