57DS - 16

2 2 0
                                    

"AAAAAAAAAA ...."

"KAKAKKKK ...."

Plakk

Dughh

Astaga, siapa sangka kalau ternyata itu semua adalah ulah Arthur. Lelaki itu sampai izin pada temannya untuk datang terlambat, hanya untuk menjahili adiknya terlebih dahulu.

Bahkan, suara tawa yang menyeramkan dan ketukan pintu yang dari tadi didengar oleh Viola, itu semua adalah bagian dari skenario Arthur.
Arthur sengaja melakukan hal itu untuk mengetahui seberapa berani adiknya ini ia tinggal sendirian di rumah. Toh, menurut Arthur, Viola juga sangat lucu jika sedang ketakutan.

"Aduh ... Sakit, Dek," rintih Arthur sambil memegang pipi kanannya yang baru saja ditampar oleh adiknya sendiri.

Setelah membuka pintu tadi, Viola langsung dikejutkan dengan penampakan Kakak nya dengan selimut yang menutupi wajahnya.
Setelah selimut itu dibuka, tanpa sadar Viola langsung menampar Arthur dan menendangnya hingga lelaki itu terlilit oleh selimut dan terjatuh.

Untuk saat ini, masih belum ada rasa bersalah pada diri Viola karena telah main fisik pada Kakak nya. Lagian, siapa suruh menjahili adiknya yang sudah jelas-jelas penakut akan hal seperti itu.

"Rasain! Siapa suruh Kakak ngelakuin hal kayak gitu?" tanya Viola sambil melotot tajam pada Arthur.

"Tapi, kan, gak seharusnya lo nendang gue kayak tadi." Arthur masih terus memegangi pipinya dan menahan rasa nyeri akibat tubuhnya yang menghantam lantai tadi.

Tanpa menjawab ucapan Arthur, Viola langsung berbalik badan dan berjalan menuju kasur.

"Heh! Mau kemana lo?" tanya Arthur seraya menahan tangan adiknya.

"Mau berubah jadi hantu. Ya, mau tidur lah, Kak. Udah jelas-jelas gue jalan ke arah kasur." Saking kesal dan marahnya Viola, ucapan gadis itu sampai ngelantur kemana-mana.

Setelah melepaskan tangannya dari genggaman Arthur, Viola berjalan menuju kasur dengan perasaan yang masih kesal dan kaki yang dihentak-hentakkan.

"Haha, dasar kunti bogel," ejek Arthur yang untungnya tidak terdengar oleh Viola.

Jika adiknya itu sampai mendengar ejekan itu, bisa-bisa bukan boneka lagi yang melayang ke wajah Arthur, melainkan kasur yang cukup besar itu akan menghantam seluruh tubuh laki-laki itu.

Setelah puas menjahili adiknya, Arthur pun kini benar-benar pergi ke arena karena semua teman-temannya sudah berkumpul di sana.

"Gue keluar dulu, ya. Dada, penakut." Tak henti-hentinya Arthur meledek Viola.

Arthur langsung pergi meskipun tak mendapatkan jawaban satu katapun dari Viola.
Ia tahu kalau adiknya ini penakut. Jadi, Arthur tidak akan benar-benar pulang besok pagi. Mungkin, setelah balapan nanti selesai, dan tahu siapa yang menang, siapa yang kalah, maka Arthur akan langsung pulang untuk menemani adik penakutnya itu.

Seperti biasa, Arthur melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tidak peduli jika jalanan masih ramai ataupun sudah sepi, asalkan Arthur merasa puas dan ia tidak melukai siapapun.

Tak butuh waktu lama untuk Arthur sampai di lokasi dan langsung bergabung bersama teman-temannya.

"Belum mulai?" tanya Arthur pada Kafka yang sudah berada di atas motornya.

"Bentar lagi, Bang," sahut Kafka.

"Semangat, Bro. Gue yakin si songong itu pasti kalah sama lo," ucap salah satu dari mereka sambil melirik ke arah laki-laki yang malam ini menjadi lawan Kafka.

"Semangat, Ka. Lo pasti menang." Beberapa teman lainnya juga tak lupa memberi semangat pada lelaki itu sebelum bertanding.

Pertandingan akan segera dimulai saat terlihat seorang gadis yang hanya mengenakan rok pendek, yang bahkan tidak bisa menutupi seluruh pahanya. Dengan tambahan atasan yang kata Kafka 'pakaian kekurangan bahan'.

"Cih, modelannya kayak gitu banget," ucap Kafka seraya memberi tatapan tak enak pada gadis itu.

Gadis itu mengangkat salah satu tangannya sambil menghitung mundur.

"3 ... 2 ... 1 ..."

"Go ...."

Saat bendera merah dikibarkan, keduanya langsung menarik gas dan berebut mencari posisi paling depan.

Dengan lihainya, Kafka mampu menghindari serangan licik yang hampir saja dilakukan oleh lawannya.
Lawannya sudah menjulurkan kaki dan berniat menendang motor Kafka, tetapi karena Kafka mampu menghindar, justru sang pelaku sendiri yang menjadi oleng dan hampir saja jatuh karena kehilangan keseimbangan.

"Bangsat!" umpat lawan Kafka.

Sedangkan Kafka tersenyum puas di balik helm full face nya. Dengan waktu yang singkat, Kafka mampu meninggalkan lawannya jauh dibelakang, dan langsung mengalahkannya.

"Sialan, tuh, cowok." Lawan Kafka melepas dan membanting helm nya karena marah dan tak terima dengan kekalahannya.

Sementara di sisi lain, Kafka, Arthur, dan teman-temannya bersorak gembira atas kemenangan itu. Mereka saling melakukan tos, dan tak lupa mengucapkan kata selamat pada Kafka.

"Gak salah lagi, nih. Lo sama Arthur emang jagoan kita semua," ucap salah satu dari mereka membanggakan Arthur dan Kafka.

Arthur juga tak kalah hebatnya dengan Kafka. Justru Arthur-lah yang mengajari Kafka agar lebih lihai saat mengendalikan motornya.
Karena beberapa hari lalu Arthur sudah bertanding, maka malam ini giliran Kafka yang bertanding.
Mungkin jika besok ada balapan lagi, maka giliran Arthur-lah yang turun ke arena.

"Ke tempat biasa, yuk," ajak salah satu dari mereka.

"Kalian mau minum?" tanya Arthur yang langsung dibalas anggukan oleh mereka semua, termasuk Kafka.

Mereka memang tidak minum setiap hari. Namun, hal itu sudah tidak asing untuk mereka lakukan.
Sesuai dengan yang diketahui oleh Viola tadi, bahwa mereka suka balapan, mabuk, bahkan keroyokan.

Begitupun Kafka yang masih SMK, ia tak pernah takut untuk melakukan hal itu. Menurutnya tak masalah selagi tidak mengganggu hidup orang lain.

"Lo ikut kan, Bang?" tanya Kafka yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Arthur.

Meskipun mereka saling berteman, tetapi usia mereka berbeda-beda. Arthur adalah seorang mahasiswa semester 3, dan ada beberapa temannya lagi yang masih semester 2, atau bahkan sudah memasuki semester 5.

Namun, ada juga yang masih SMK / SMA seperti Arthur, dan banyak lagi lainnya.
Perbedaan itu sama sekali tidak menjadi maslaah dalam persahabatan mereka.

"Tumben, kenapa?" tanya Kafka.

"Gue mau langsung balik aja, adik gue sendirian di rumah," sahut Kafka.

Mendengar kata adik, Kafka langsung teringat dengan nomor yang tadi menghubunginya, dan ternyata itu adalah nomor adiknya Arthur, sekaligus teman sekolah Kafka.

"Kok gue gak pernah tau kalau adik lo itu Viola, Bang?" tanya Kafka.

"Gimana mau tau, kalau main ke rumah gue aja lo jarang banget ikut. Sekalinya ikut, pasti Viola lagi gak ada di rumah," jelas Arthur.

"Kok lo gak pernah cerita?"

Mereka sontak tertawa mendengar pertanyaan Kafka.
Bagaimana tidak tertawa, kalau sebenarnya saja Arthur sudah pernah menceritakan tentang adik perempuan, yah, meskipun tidak terlalu sering.

Namun, sepertinya Kafka jarang sekali mendengarkan cerita itu.
Yah, Kafka memang tidak akan terlalu memperhatikan hal-hal yang menurutnya tidak begitu penting.

57 Days Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang